Sekolah Islam Independen

Jumat, 15 Maret 2019 | 08:03 WIB
0
458
Sekolah Islam Independen
Ilustrasi Dahlan Iskan (Foto: Disway.id)

Saya ke Solo Kamis lalu. Berhadapan dengan milenial Islam. Yang lagi sekolah di SMA IT Nur Hidayah. Mereka mengadakan acara ENHAVAGANSA. Untuk ke delapan kalinya.

Ini bukan sekolah milik Muhammadiyah. Bukan pula milik NU. Pokoknya tidak bernaung di suatu organisasi Islam.

Saya menamakannya sekolah Islam independen. Sekolah seperti ini kian banyak jumlahnya. Kian tinggi mutunya. 

Dan bukan main larisnya. 

SMA Nur Hidayah ini misalnya. Tiap jenjang memiliki delapan kelas. Kelas 1 A sampai H. Padahal, sekolah jenis ini bukan main mahalnya.

Pasti tidak mudah mengelolanya. Pasti banyak juga kecaman. Saya pernah mendirikan sekolah jenis itu. Di pesantren keluarga kami. Bukan main ribetnya. Hampir saja keluarga besar kami pecah. Ada yang pro, ada pula yang kontra. Yang kontra itu benar juga: bikin sekolah Islam kok mahal. Gurunya pun di gaji besar-besar. Di mana nilai ibadahnya?

Akhirnya kami kompromi. Sekolah mahal jalan terus. Di Magetan. Sekolah gratis juga dibuat. Bagi yang ingin mengabdi dan ibadah.

Anehnya, dua-duanya maju. Alhamdulillah.

SMA Nur Hidayah di Solo ini bagus, mahal, maju. Entahlah. Maju karena mahal atau mahal karena maju.

Yang jelas pengelolanya memang istimewa. Mula-mula bikin SD. Maju. Bikin SMP. Maju. Bikin SMA maju.

Padahal lokasinya tidak jauh dari SMA Assalaam. Yang milik keluarga pengusaha besar Solo: penerbit buku Tiga Serangkai. Yang mutunya juga sangat tinggi. Dan fasilitas sekolahnya seperti kampus universitas di negara barat.

Kini begitu banyak sekolah Islam independen yang seperti itu. Mereka pun berkumpul dalam satu wadah: Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT). Organisasi ini sangat longgar. Anggotanya hanya perlu taat pada satu hal: harus mau dievaluasi kurikulumnya.

Kini anggota JSIT sudah lebih 2000 sekolah. Betapa banyak sekolah seperti itu sekarang. Tersebar di seluruh Indonesia. Bisa dibilang ini babak baru kemajuan Islam di Indonesia. Ketua JSIT yang sekarang dijabat oleh Ust Moh Zahri, pimpinan sekolah Al Hikmah Surabaya. Yang juga memiliki SD, SMP dan SMA. Majunya juga luar biasa. Yang pernah juga minta saya datang ke sana. Kebetulan tidak jauh dari rumah saya. 

Sekolah Islam independen seperti itu hampir sama: pendirinya para pribadi, para profesional di bidang masing-masing. Lalu berkolaborasi dengan intelektual pendidikan.

Nur Hidayah misalnya didirikan seorang banker dan ahli ilmu komputer. Yang banker itu sudah lama almarhum. Pernah jadi direktur Bank Bumi Daya (Bank Mandiri). Yang doktor ilmu komputer itu namanya DR. Ir. Wiranto MSc. Sekarang pejabat di UNS Solo.

Demikian juga Al Hikmah Surabaya. Pendirinya profesional di bidang teknologi. Yakni Dr. Ir. Abdul Kadir Baraja. Punya perusahaan yang bikin kockpit pesawat. Yang menggandeng ahli-ahli pendidikan dari Unesa Surabaya (d/h IKIP).

Saya masih ingat. Dulu selalu sekolah bermutu itu selalu dihubungkan dengan Katholik. Kini dominasi seperti itu tidak ada lagi. Kini sekolah-sekolah Islam sejenis Al Hikmah atau Nur Hidayah luar biasa banyaknya.

Mereka telah berhasil membuat sejarah baru. Mendirikan sekolah bermutu. Saya lihat mereka pun kini berpikir lebih jauh: bagaimana mempertahankan mutu. Untuk jangka yang panjang. Umumnya sekolah Islam independen itu bernaung di bawah yayasan. Tapi bukan yayasan keluarga. Atau yayasan milik perusahaan. Bukan pula yayasan milik organisasi.

Mereka umumnya tahu: banyak sekolah swasta maju yang akhirnya berantakan. Lantaran yayasannya dikuasai satu dua keluarga. Yang ketika jatuh ke anak-cucu sudah berbeda daya tariknya.

Model pondok modern Gontor Ponorogo tampaknya banyak jadi acuan. Untuk pemikiran ke depan itu. 

Gontor sudah membuktikannya. Umurnya hampir 100 tahun. Kualitasnya tetap terjaga. Bahkan terus berkembang. Aset tanahnya sudah lebih 1.500 hektar.

"Di Gontor itu, yayasan bukan menjadi lembaga tertinggi," ujar Dr. Abdul Hafidz Zaid Al Kindy, pimpinan pondok modern Gontor Ponorogo. Yang minggu lalu bersilaturahmi ke Al Hikmah Surabaya. Lalu mampir ke rumah saya. "Di atas yayasan itu masih ada badan wakaf," tambahnya.

Yayasan hanyalah badan pengelola. Tunduk pada badan wakaf.

Wakaf artinya berhenti. Asset wakaf adalah aset yang diberhentikan. Yang kepemilikannya tidak bisa dipindahkan. Tidak bisa dibagi. Tidak bisa dijual. Tidak bisa ditukar. Tidak bisa digunakan untuk selain maksud awal.

Seseorang yang mewakafkan hartanya untuk Gontor maksudnya jelas: untuk keperluan kemajuan lembaga pendidikan Gontor. Penerima wakaf tidak boleh menggunakan aset tersebut selain untuk itu. Berhenti di situ.

Saya yakin semua anggota JSIT akan mampu merumuskan masa depan. Mereka adalah para intelektual. Bahkan intelektual yang selalu gelisah: ingin maju, mengejar ketinggalan, ingin berkembang. Dan kini pasti ingin berkelanjutan.

Inilah generasi intelektual Islam yang tumbuh di zaman Orde Baru. Kini mereka sudah pada mekar.

Ciri mereka: cerdas, independen, ekonomi cukup, gelisah, terbuka, ingin maju dan tidak mau kalah.

Organisasi Islam yang mapan kini punya pesaing baru. Dari kalangan ini. Pesaing yang akan membuat sama-sama maju.

Dahlan Iskan

***

Catatan: Judul asli artikel ini adalah "Independen"