Mewaspadai Penyebaran Radikalisme di Media Sosial

Tentu saja kita semua bisa melawan penyebaran paham radikal tersebut dengan cara menguatkan nilai-nilai lokal, budaya serta kearifan lokal.

Minggu, 17 Mei 2020 | 16:34 WIB
0
182
Mewaspadai Penyebaran Radikalisme di Media Sosial
Ilustrasi radikalisme di medsos (Foto: blogger.com)

Hampir setiap masyarakat di Indonesia dapat mengakses media sosial setiap waktu, kemudahan ini lantas menjadi celah bagi kaum radikal untuk menyebarkan ideologi mereka yang bertentangan dengan Pancasila. Masyarakat pun diminta untuk mewaspadai penyebaran paham radikal tersebut di media sosial. 

Perkembangan dan inovasi dunia teknologi informasi menyediakan kemungkinan baru bagi para teroris. Ruang cyber adalah lingkungan yang serba terbuka, menjadi tempat istimewa bagi para teroris untuk menemukan sumber daya baru. Juga memungkinkan mereka menjalankan aktivitas propaganda.

Internet khususnya media sosial menawarkan akses yang relatif sederhana dan jangkauan yang tidak terbatas. Selain itu anonimitas untuk menyembunyikan identitas juga sangat mungkin untuk dilakukan, hal itu tentu saja menjadi keuntungan bagi kelompok radikal untuk melindungi identitas dirinya.

Kelompok seperti ISIS misalnya, mereka sangatlah menguasai teknologi informasi dibanding kelompok lainnya, setidaknya hampir semua kelompok radikal di Timur Tengah memiliki akun media sosial untuk propaganda.

Media sosial yang populer seperti Facebook dan Twiter, digunakan oleh ISIS untuk menyebarkan konten propaganda hingga meraup dana dari para simpatisan.

Sepak terjang ISIS ini telah menarik minat sebagaian pemuda barat untuk bergabung dan menjadi jihadis. Mereka tertarik memilih menjadi radikal karena hal tersebut dianggap sedang menjadi tren.
Sebagian besar para jihadis dari Barat ternyata memiliki latar belakang yang tenggelam dalam budaya kontemporer khas anak muda milenial. Sebut saja mereka doyan mabuk dan pergi ke klab malam.

The Guardian menyebutkan, hampir 50 persen jihadis asal Perancis memiliki sejarah kriminal kecil seperti pemakai narkoba, perkelahian jalanan dan beberapa sedikitnya terlibat perampokan bersenjata.

Latar belakang yang serupa juga ditemukan di Jerman dan Amerika Serikat. Mereka memakai pakaian bermerk, topi baseball, penutup wajah dan model pakaian streetwear lainnya yang sejatinya tidak menunjukkan identitas sebagai muslim.

Tentu saja kedua kasus tersebut tak lain dan tak bukan disebabkan oleh adanya media sosial yang menawarkan kemudahan dalam menyebarkan propaganda maupun konten radikal.

Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSBPS) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menyatakan, bahwa jejaring sosial Facebook masih menjadi media yang potensial untuk menyebarkan radikalisme.

Peneliti PSBPS Subkhi Ridho mengatakan, dari total 262 juta orang penduduk Indonesia, ada sekitar 132 juta orang merupakan pengguna internet dan sekitar 106 juta merupakan pengguna media sosial.

Dari angka tersebut, Subkhi mengatakan sekitar 60 persen merupakan produsen radikalisme dari facebook. Sementara Di Twitter, angka produsen penyebar pandangan radikalisme sebesar 39 persen.

Dalam temuannya, PSBPS menemukan latar belakang yang memproduksi dan menyebarkan pesan radikal adalah sarjana dengan dominasi Pria. Para responden diduga terpengaruh oleh buku-buku dan tokoh. Mereka menggunakan referensi sejarah, Youtube dan tokoh-tokoh agama.

Sementara peneliti lain Agus Triyono menegaskan, media sosial tidak hanya menjadi faktor kunci, tetapi juga menjadi penghubung untuk menyebarkan konten-konten dari website atau portal radikalisme.

Tentu saja keduanya baok sosial media atau website memiliki peran yang sama dalam konteks radikalisme.

Agus menjelaskan, justru website dari Ormas seperti NU dan Muhammadiyah yang menyajikan informasi kontra radikalisme tidak akan dilihat oleh generasi milenial sekarang.
Media sosial terkadang menyasar publik yang sebagian besar belum bisa membedakan informasi dan berita.

Hal ini menjadi celah bagi kelompok radikal untuk menyebarluaskan paham radikal dengan memanfaatkan fenomena hoax yang ada di masyarakat.

Tentu saja masyarakat dituntut agar lebih cerdas dalam membedakan informasi dan berita. Media massa bisa dijadikan medium untuk meningkatkan kecerdasan maupun mengedukasi masyarakat luas.

Anggota DPD asal Bengkulu Eni Khairani mengatakan, media sosial merupakan wadah yang sangat efektif untuk teroris serta radikalis guna mencuci otak para generasi muda.

Eni menuturkan, literasi perlu ditingkatkan untuk menangkal paham ideologi sesat dan pemerintah sudah sepatutnya meningkatkan pengawasan konten yang ‘berbahaya’.

Tentu saja kita semua bisa melawan penyebaran paham radikal tersebut dengan cara menguatkan nilai-nilai lokal, budaya serta kearifan lokal.

Hindari segala bentu konten yang mengarah pada ajakan intoleransi, paham radikal sangat mudah dikenali dengan kontennya yang mengajak untuk membenci negara dan menolak kebhinekaan.

***