Penggalan yang Hilang pada Petuah Nahkoda Phinisi di Pidato Pelantikan

Penggalan yang hilang itu adalah Komitmen kuat, nahkoda untuk die hard, berani mati bersama cita-cita mulia menggapai pulau harapan.

Selasa, 22 Oktober 2019 | 07:57 WIB
0
379
Penggalan yang Hilang pada Petuah Nahkoda Phinisi di Pidato Pelantikan
Joko Widodo dan Ma'ruf Amin (Foto: hamas.co)

Joko Widodo menyampaikan pidato kenegaraan perdana sebagai Presiden Indonesia periode 2019-2024 di hadapan sekitar 3.133 undangan resmi.

Pidato di seremoni Sidang Umum MPR pelantikan presiden-wapres di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2019) pukul 16.30 WIB, sore tadi itu, juga disiarkan serentak TV nasional, dan belasan link live streaming.

Pelantikan presiden dan wakil presiden periode 2019-2024 ini ada total 3.133 undangan.

Termasuk sejumlah jajaran mantan presiden dan wakil presiden, MPR, DPR, DPD, BPK dan ketua umum partai politik turut hadir.

Ada 711 undangan untuk 675 anggota DPR serta 136 Anggota DPD.

Serta ada 19 tamu negara yang hadir menyaksikan pelantikan.

Jokowi berpidato selama kurang lebih 14 menit 31 detik. Mulai pukul 16.25 WIB hingga pukul 16.39 menit.

Jika di pelantikan periode pertama, 20 Oktober 2014, Jokowi membacakan teks pidato, maka pada pidati periode keduanya, ini mantan Gubernur DKI Jakarta ini berpidato tanpa teks.

Pria kelahiran Solo, Jawa Tengah ini memulai pidato dengan cita-cita bangsa.

Jokowi membuka pidatonya dengan berbicara tentang mimpi 1 abad Indonesia.

“Mimpi kita, cita-cita kita di tahun 2045, pada satu abad Indonesia merdeka, mestinya, insyaallah, Indonesia telah keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah. Indonesia telah menjadi negara maju dengan pendapatan menurut hitung-hitungan Rp 320 juta per kapita per tahun atau Rp 27 juta per kapita per bulan. Itulah target kita. Target kita bersama,”

akbar faisal dan sahabatnya Tkmi Lebag sebelum pengumuhan doktor si UNM
Yang tak biasa, dia mengakhiri pidato dengan komitmen memperbaiki bangsa dan negara, dalam ungkapan bahasa Bugis.

“Mengakhiri pidato ini saya mengajak saudara-saudara sebangsa dan setanah air untuk bersama-sama berkomitmen. “

“Pura babbara’ sompekku, Pura tangkisi’ golikku”. Layarku sudah terkembang, kemudiku sudah terpasang. Kita bersama menuju Indonesia maju.”

Ungkapan nahkoda kapal Phinisi dari Tanah Bugis Makassar itu, sejatinya masih memiliki sambungan.

Ulebiirrenni telleng natowalie atau Kualleangi Tallanga’ natowalia; Aku lebih memilih tenggelam daripada kembali kedaratan.

Penggalan yang hilang itu adalah Komitmen kuat, nahkoda untuk die hard, berani mati bersama cita-cita mulia menggapai pulau harapan.

Apakah ini berarti Jokowi tak siap “‘mengarungi” ombak dari Sabang sampai Marauke?

Jangan khawatir!

Dalam pidatonya, Jokowi tak menyinggung soal strategi pemberantasan korupsi.

Padahal, dua bulan terakhir, publik banyak mempertanyakan komitmennya.

Doktor komunikasi publik dan mantan anggota DPR-RI asal Sulsel, Dr Akbar Faisal MPd, menyebut, pilihan petuah nahkoda kapal phinisi itu, adalah cerminan kesiapan dan komitmen kuat Jokowi untuk membawa kapal bernama Indonesia ini pulau harapan bernama kesejahteraan rakyat.

“Ini isyarat kuat ketegesan seorang pimpimpin, bahwa dia tak ada beban. Dia akan menempuh upaya tegas, keras dan sesuai konstitusi untuk menjalanan roda pemerintahan,” ujar Akbar, yang pada pemilu 2014 lalu terpilih ke DPR-RI dari daerah pemilihan tanah Bugis; Bone, Soppeng, Wajo, Sinjai, Bulukumba, Barru, Parepare, Pangkep dan Maros ini.

Akbar yang September 2019 lalu, resmi menjadi doktor bidang pelayanan publik di PPS UNM Makassar ini, menyebutkan, dirinya faham betul karakter Jokowi.

Saat menjadi tim sukses di periode 2014-2019 lalu serta jabatan legislatif di Komisi III DPR-RI, Akbar kerap menyaksikan sendiri bagaiman komitmen dan ketegasan Jokowi dalam mempimpin.

Secara khusu Akbar mengapresiasi poin keempat pidato dari lima poin rencana prioritas kerjanya lima tahun mendatang.

Di poin keempat itu, Jokowi menegaskan akan menyederhanakan birokrasi pemerintahan, khususnya eselonisasi jabatan.

Penyederhanaan ini untuk mengalihkan visi dan orientasi birokrasi dari struktural ke fungsional, yang menhhargai keterampilan, dan kompetensi.

Birokrasi tak ada lagi eselon III dan IV. Cukup eselon I dan II.

Akbar menyebut, saat Jokowi menjabat periode awal sebagai Walikota Solo 2005-2010, dia pernah melakukan studi analisis soal penyderhanaan layanan di 3 instasi publik di Pemkot Solo.

“Saat itu saya masih wartawan, dan datang ke Solo meliput reformasi birokrasi Pemkot Solo di PDA< PLN dan Samsat, itu sudah dillakukan disana,” kata AKbar yang pernah jadi wartawan ekonomi majalah SWA dan Jawa Pos ini.

Akbar menyelsaikan doktor dengan minor penelitian tentang studi pengisian jabatan publik hasil pemilu 1999-2019, di Program Studi Kebijakan Publik d PPS Universitas Negeri Makassar (UNM).

***