Realita ini yang mesti kita sadari. Bahwa pada akhirnya kita cuma bisa berjuang seadanya. Karena kita akhirnya harus mengurus diri kita sendiri.
Insiden penusukan Pak Wiranto, penyiksaan Ninoy Karundeng di dalam Masjid, penolakan massif Somad di berbagai tempat, bisa dipandang sebagai jeda emas bagi Indonesia untuk membersihkan elemen radikalisme.
Harusnya.
Tapi terhalang...
Karena kita tidak mempunyai sistem yang kuat.
Kita hidup dalam alam demokrasi. Yang bertele-tele. Pembuatan UU begitu panjang karena pergulatan kepentingan. Semua orang ingin diperhatikan dengan berbagai cara, termasuk menginjak kepala orang. Dan juga memakai cara-cara yang penuh kemunafikan. .
Akhirnya kita mencari jalan pintas. Mencari cantolan pengharapan kepada personal. Entah itu ulama, tokoh masyarakat atau Presiden. Kepada mereka, nasib kita digantungkan. Padahal person-person itu tidaklah sempurna. Tapi kita mengharapkan mereka sempurna.
Kita mengaku nyaman dalam alam demokrasi, tapi nyatanya kita ingin hidup di zaman feodal. Dimana Sabdo Pandita Ratu ingin kita jadikan acuan dan Undang-Undang. Padahal itu cuma impian dan keinginan yang tidak wajar. Presiden dan jajaran pemerintah punya keterbatasan meski niatnya sama dengan kita.
Di satu sisi kita ingin Presiden bertindak keras yang menjurus pada tindakan ekstra judicial. Yang berbau tangan besi. Tapi tidak ada alatnya. Yakni Undang-Undang yang misalnya, membolehkan Presiden menutup masjid-masjid yang menyebarkan radikalisme. Atau menangkapi ustad-ustad dobol.
Kita juga lupa, Presiden dan semua orang yang diharapkan bisa melakukan perubahan, mempunyai masa kadaluwarsa. Mereka akan digantikan oleh orang yang lebih baik atau lebih buruk.
Dan kita cuma bisa menebak-nebak apakah orang-orang baik akan digantikan oleh orang yang baik juga.
Ini disebabkan karena kita tidak mempunyai sistem yang mencegah orang jahat mempunyai kuasa menindas, menguasai dan memperdaya orang baik. Akibatnya kita menyaksikan betapa orang jahat menggunakan orang baik untuk melaksanakan hajatnya.
Betapa sekarang ini kita melihat jiwa-jiwa yang sakit diberi wewenang untuk mewarnai negeri ini. Betapa jiwa-jiwa yang sakit menunjukkan perilaku kebinatangan mereka. Mengobarkan semangat menyakiti dan membunuh.
Dan kita akan hidup bersama mereka selepas personal yang kita harapkan bisa membuat hidup kita lebih baik , tidak menjabat lagi.
Akhirnya kita selalu berada di persimpangan jalan yang ramai dan berbahaya. Kita harus ekstra hati-hati menyeberang jalan itu, termasuk jika lampu lalu lintas sedang merah sekalipun. Karena selalu ada saja orang gila dan sok kuasa menerobos dan kita menjadi korbannya. Ini karena tidak ada sistem yang mengatur keselamatan kita dan membuat orang patuh total untuk berhenti jika lampu sedang merah.
Itulah realita hidup di Indonesia. Kita tidak punya sistem kuat dan mengakar yang menjamin setiap permasalahan selalu ada jalan yang legal dan konstitusional.
Selama tidak ada sistem kenegaraan dan perundangan yang kuat, mustahil kita bisa menyelesaikan masalah radikalisme.
Dan selama itu pula kita melihat kebijakan pemadam kebakaran akan selalu digunakan. Memadamkan di satu sisi tapi mengobarkan api ditempat lain.
Realita ini yang mesti kita sadari. Bahwa pada akhirnya kita cuma bisa berjuang seadanya. Karena kita akhirnya harus mengurus diri kita sendiri. Agar kita tidak ditabrak dan menjadi korban lemahnya sistem yang dimiliki negara ini.
And this is the time...
Untuk menyadari realita yang pahit ini..
Apa boleh buat..
Kita cuma miris dan mimpi ketika melihat tiga poster ini.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews