Belakangan, sistem imun sosial kita sebagai bangsa majemuk nampak melemah. Barangkali, musabab musim pemilu, dari Pilpres hingga Pileg yang mulai memanggang kewarasan kita.
Kini, banyak orang mudah terserang hasutan dan terjangkit iri hati, lantaran tak kuat menahan suhu pilkada yang terus memanas dan akhirnya kita "halu jamaatan" alias keder bareng. Kita, tak lagi mampu membedakan mana realitas rekaan dan mana fakta yang verifikatif.
Ribut-ribut di akar rumput (grassroots) ramai terdengar, menyoal siapa mendukung siapa. Perbincangan politik masyarakat berseliweran di ruang-ruang publik virtual (new public sphere), kisruh mewakili realitas sebenarnya. Anomali sosial pun bermunculan, ada friksi haters vs lovers, hingga tumbuh faksi-faksi ekstrimis yang cenderung memfragmentasi masyarakat secara hitam putih.
Para ulama yang semula menjadi pewarta Tuhan, malah sibuk mereportasekan pilihan-pilihan politik. Bermunculan fatwa-fatwa agama yang membentengi kekuasaan dari skeptisme dan kritisisme publik. Atau sebaliknya, ijtima ulama dijadikan legitimasi alat gebuk dalam kontestasi pemilu. Ayat-ayat Tuhan yang kudus, menjadi profan dalam penafsiran politik.
Mencemaskan! Politik kekuasaan menjelma rupa agama dan berpenampilan budaya, tampak melenggang manis di panggung pilpres dan pileg sembari menebar visi retoris. Kontestan sibuk memadu akting bak aktor-aktor kenamaan di panggung depan (front stage) dengan sajian tontonan hiperealitas yang menjebak pikiran dan keberpihakan kita.
Alhasil, kita yang turut dalam pesta demokrasi elektoral ini, sering bertikai menyoal perkara unsubstantial; agitasi seputar isu sektarian, propaganda bermateri agama, dan memblokade kewarasan tentang kontestasi sebenarnya yakni perebutan kekuasaan para elite.
Benar kata JH Robinson: Kampanye politik dirancang dan dibuat menjadi pesta pora emosional yang berusaha mengalihkan perhatian kita dari masalah-masalah esensial, dan mereka benar-benar melumpuhkan satu-satunya kekuatan yaitu pikiran yang biasa kita gunakan.
Kita sedang dalam sebuah peristiwa, dimana emosi dan kesadaran kita direkayasa secara massal oleh mesin-mesin pemenangan. Kita diajak menjauh dari masalah-masalah substansial yang semestinya menjadi pertimbangan kita memberi mandat elektoral.
Meski begitu, dari keseluruhan dinamika pemilu yang kita hadapi sekarang, patutlah kita sikapi sebagai sebuah ujian daya tahan sosial, soliditas dan solidaritas kita. Ingat, kita Indonesia, apapun pilihan kita!
Salam Indonesia.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews