Apakah anda tahu George Carlin, seorang komedian terkenal asal Amerika Serikat? Jika belum, coba cari tahu. Gaya komedinya tidak hanya lucu, tetapi juga amat sangat mendidik. Saya teringat satu perkataannya, “Jangan remehkan kekuatan orang-orang tolol dalam jumlah besar.”
Satu orang tolol saja sudah menyusahkan banyak orang. Apalagi, jika orang-orang tolol itu berkumpul, dan menyuarakan ketololannya? Itu pasti menjadi bencana besar. Walaupun begitu, kita perlu tahu terlebih dahulu, apa itu tolol?
Ketololan adalah kebodohan yang keras kepala. Orang tak sadar, bahwa ia berpikir dengan pola yang salah, tetapi tetap ngotot merasa benar. Tidak hanya itu, ia bahkan menjadi kasar terhadap orang lain, guna membela kesalahan berpikirnya. Inilah ketololan.
Menyimak perdebatan publik di Indonesia beberapa minggu belakangan ini, entah mengapa, kata ini lalu muncul di kepala saya. Saya tidak lagi bisa berkata-kata. Gairah menulis juga menurun, karena kerap kali merasa, bahwa tulisan apapun tetap tak berguna. Walaupun begitu, ada beberapa hal tentang ketololan yang kiranya bisa dipahami lebih jauh.
Virus Ketololan
Pertama, ketololan itu merusak. Orang-orang yang terjangkit virus ketololan, atau orang-orang tolol, adalah pencipta konflik dan perang di dalam sejarah manusia. Mereka bisa saja berpendidikan tinggi. Namun, pikiran mereka lemah, dan sama sekali tidak kritis, sehingga tak mampu menata hasrat-hasrat agresif yang bercokol di dalam batinnya. Alhasil, mereka tak mampu menyelesaikan masalah dengan jalan-jalan damai, lalu kerap jatuh ke dalam konflik.
Dua, ketololan itu membuat semua hal jadi rumit. Orang-orang tolol hidup dengan semboyan, „Jika bisa sulit, mengapa harus dibuat mudah?“ Orang-orang yang berurusan dengan birokrasi pemerintah kerap kali mengalami langsung arti dari semboyan ini. Di banyak negara, birokrasi pemerintahlah yang justru menjadi penghalang kemajuan, dan pencipta kemiskinan terbesar.
Tiga, ketololan menutup semua jalan dialog. Orang-orang tolol amat sensitif. Perbedaan pendapat mengancam kepercayaan diri mereka, sehingga mereka menjadi marah dan kecewa. Jika sudah begitu, mereka dengan mudah menyerang rekan dialognya dengan kata-kata kasar, atau kekerasan fisik. Ketololan mungkin merupakan masalah terbesar di politik Indonesia sekarang ini.
Empat, ketololan itu keras kepala. Ia menolak untuk berubah. Di dalamnya bercokol ketakutan dan kemarahan yang amat dalam. Argumen yang dibangun dengan akal sehat, serta data-data terbaru, diabaikannya dengan begitu mudah, sambil terus tenggelam ke dalam arus ketololan yang ada.
Ironisnya, orang-orang tolol ini cenderung menjadi korban dari kepentingan politik dan ekonomi kotor yang lebih besar. Mereka sering disewa menjadi preman bayaran untuk menyebarkan rasa takut dan ketidakpastian di dalam masyarakat. Tidak hanya itu, mereka juga sering dimintai uang untuk mendukung kepentingan politik dan ekonomi tertentu yang biasanya bersembunyi di balik slogan-slogan agama. Memang, jadi orang tolol itu banyak ruginya.
Akar Ketololan
Mengapa orang menjadi tolol? Patut diingat, orang-orang tolol ini bisa amat cerdas secara akademik. Namun, karena miskin pemikiran kritis dan reflektif, mereka terjebak di dalam ketololan. Ada beberapa hal yang bisa dipetakan lebih jauh.
Pertama, ketololan berakar pada keenganan untuk belajar. Dunia ini memang kompleks, apalagi dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat sekarang ini. Orang harus terus belajar dalam hidupnya. Sayangnya, orang-orang tolol ini merasa minder di hadapan dunia yang kompleks ini, sehingga mereka menolak untuk membuka diri, dan untuk belajar.
Dua, ketololan berakar dalam pada rasa takut, terutama takut akan perbedaan. Orang-orang tolol hidup begitu nyaman di dalam kepompong sempit mereka. Ketika perbedaan muncul, mereka kaget, dan menjadi kasar. Padahal, perbedaan adalah hakikat kehidupan. Menolak perbedaan berarti juga menolak kehidupan itu sendiri.
Tiga, ketololan juga berakar pada ketakutan akan perubahan. Tradisi dan identitas lama terancam oleh perubahan besar yang terjadi di tingkat internasional. Orang-orang lalu memegang erat identitas lokalnya secara buta, lalu terjebak ke dalam ketololan. Sama seperti perbedaan, perubahan adalah kehidupan itu sendiri. Menolak perubahan juga berarti menolak kehidupan.
Ketololan itu merugikan, baik masyarakat secara luas, maupun pribadi yang terjebak di dalamnya. Berbagai petaka peradaban, mulai dari kemiskinan sampai dengan perang dunia, disebabkan oleh keputusan yang dibuat oleh orang-orang tolol. Sudah waktunya, ia dilepas dari kehidupan pribadi maupun bersama kita. Taruhannya terlalu besar, apalagi di tengah berbagai krisis yang melanda dunia ini, mulai dari krisis lingkungan, bencana alam terus menerus, korupsi di berbagai sektor pemerintahan sampai dengan ancaman perang besar antara Cina dan Amerika Serikat.
Jika kita tidak bisa menawarkan jalan keluar, setidaknya jangan turut memperbesar masalah yang sudah ada, apalagi menambah masalah baru. Mari kita melepaskan virus ketololan yang mungkin menjangkiti pikiran kita masing-masing.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews