Era millennial adalah era data bertebaran. Meski demikian, tidak semua orang mampu memilih dan mengkoneksikan hubungan antara data satu dengan lainnya.
Dalam suatu acara bedah buku, saya mendengarkan orasi yang luar biasa dari budayawan Sardono W. Kusumo.
Di abad 21 ini, kata Beliau, ada satu jenis intelektual yang sangat dibutuhkan, yaitu intelektual organik. Kecerdasan yang tumbuh karena belajar langsung dari kompleksitas budayanya.
Ini berbeda dengan intelektual yang kita kenal selama ini, yaitu intelektual 'by study' dan mempelajari ilmu-ilmu dalam ranah positivisme. Kedua intektelektual ini diperlukan dalam peradaban modern.
Proses munculnya intelektual organik ini tidak instan, melalui perjalanan panjang yang kompleks. Untuk mendapatkannya, sejak kecil seseorang menabung dalam memory-nya segala unsur budaya. Data kultural yang kompleks itu kelak membuatnya mampu berhadapan dengan masalah-masalah sosio kultural yang tak dapat dianalisis secara linear. Mengambil keputusan yang tepat dan relevant serta aktual di tengah perkembangan zaman yang cepat dan kian kompleks.
Memandang secara tak linear inilah yang membedakan para intelektual organik dengan intelektual by study, mereka yang akademik sering terbiasa menganalisis dalam kacamata rasional, sehingga terbiasa mengeliminir masalah terbatas pada variabel utama yang paling mempengaruhi.
Misalnya ketika meneliti penyebab orang makan, intelektual by study akan mengasumsikan penyebab orang makan karena lapar. Mengabaikan kemungkinan lain seperti gengsi, bagian ritual budaya atau sekadar biar bisa suap-suapan mesra saat pacaran.
Intelektual organik berpikir lebih kompleks. Memperhitungkan faktor lain seperti gaya hidup, kesehatan bahkan juga kepraktisan.
Termasuk juga kemungkinan bila kata makan tak melulu berarti memasukkan sesuatu ke mulut, mengunyah, dan menelannya... tetapi bisa berarti menipu seperti dalam frasa 'teman makan teman'.
Lanjut Mas Don, tidak heran bila kini perusahaan besar dunia seperti Microsoft, Tesla, Facebook, lebih memilih intelektual organik untuk menjadi pegawainya daripada seorang doktor. Karena terbukti, intelektual organik terbiasa berpikir dengan big data.
Era millennial adalah era data bertebaran. Meski demikian, tidak semua orang mampu memilih dan mengkoneksikan hubungan antara data satu dengan lainnya. Bahkan memilih mana yang valid dan mana yang hoax pun seringkali gagal.
Dibutuhkan kompleksitas dalam berpikir. Misalnya gagal membedakan mana pemuka agama yang betulan dalam ilmu dan spiritualitasnya dengan yang asal kenceng teriakannya, asal agamis tampilannya.
Di sinilah peran intelektual organik. Mas Don merujuk Yuval Noah Harari sebagai intelektual organik terdepan. Seseorang berbasis pendidikan sejarah, tapi kemudian berkembang menjadi mampu meramu semua informasi yang ada.
Harari sendiri berkata, di masa depan, kita perlu kembali menguatkan insting peramu, seperti masa berburu dan meramu di zaman prasejarah. Memilih dan mengkoneksikan informasi, serupa dengan manusia purba menggali informasi adanya hewan predator dari jejak yang tertinggal, atau endusan bau, bahkan dari intensitas rumput bergoyang.
Mencari relasi antara satu pengetahuan dengan pengetahuan lainnya, inilah inti intelektual organik. Dalam kacamata Jawa, intelektual organik adalah orang yang terbiasa menggunakan 'ilmu titen', selaras dengan sekitar, memilih kolaborasi daripada kompetisi. Maka semua unsur Indera digunakan, mulai dari kepekaan rasa hingga ketenangan dan kemampuan menjaga emosi. Membiasakan membaca apa saja, mulai dari text hingga lingkungan.
Demikian piwulang luar biasa dari Mas Don. Beliau sendiri hanya berijazah formal SMA, namun diangkat sebagai Guru Besar Tari di IKJ, juga di akademi-akademi seni tari di luar negeri.
Saya sendiri teringat sahabat saya yang sering mengulas tentang kecerdasan hidup, sesuatu yang sering diabaikan mereka yang pintar secara akademik, tetapi sangat berguna untuk survive di dunia nyata.
#vkd
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews