Bahasa Tulis [9] Fiksi Bisa Jadi Sejarah, Sejarah Bisa Jadi Fiksi

Sebaiknya, sejarah ditulis tidak terlampau jauh antara kejadian dan penulisannya agar kesenjangan (gap) atau "hermeneutic cycle" antara apa yang diketahui dan belum diketahui tidak terjadi gap.

Selasa, 14 Juli 2020 | 07:00 WIB
0
237
Bahasa Tulis [9] Fiksi Bisa Jadi Sejarah, Sejarah Bisa Jadi Fiksi
Ilustrasi penulisan sejarah (Foto: Kompas.com)

Barangkali akan ada 2, bahkan 3, tulisan terkait judul. Kita mulai saja dari yang bisa mulai ditulis. Sebab: saya tidak tahu seperti aga gagasan saya, sebelum semuanya selesai: dituangkan dalam tulisan.

Menulis sejarah: tak ubahnya main puzzle. Menyusun kepingan peristiwa yang lepas itu, menaruhnya dulu di atas meja, dilihat, diklasifikasikan, ditempatkan, sesuai tidak pada tempatnya, dibandingkan, tapi: menyertakan PENAFSIRAN juga.

Inilah yang tidak bisa dihindari. Pengalaman saya menulis sejarah asal mula subsuku Dayak di Wikipedia demikian. Saya kemudian menyadari cara kerjanya. Saya gabungkan keterangan lisan orang-orang tua atau pelaku dibandingkan dengan teks-teks/realitas yang terpotong itu.

Kemudian ada yang namanya "vorurteil", yakni apa yang menjadi asumsi/ pengetahuan dari sang penulis. Semakin ia kaya informasi, dan makin ia menguasai subjek, maka makin terjadi "fussion of horizon" (bersatunya realitas dalam satu narasi). Di sanalah seorang peneliti/ penulis mengemban tugas Hermes: menjadi jembatan antara dunia dewa (yang tidak diketahui) dan dunia manusia (yang diketahui).

Membangun sebuah narasi dengan bahan-bahan yang sudah ada. Tidak boleh ditambah ataupun dikurangi. Si peneliti/penulis hanya membersihkan debu-debu saja agar sejarah itu: bersih dari tempelan yang tidak perlu.

Pada akhirnya, yang disebut SEJARAH adalah teks / realitas tertulis, yang pertama dan cukup lengkap di topiknya. Imaginasi/ fiksi pun bisa dianggap sebagai peristiwa benar, manakala dipercaya demikian. Yang penting adalah ada pesan/ nilai dari masa lampau yang dirajut di dalam peristiewa itu.

Demikianlah makna "historia nuntia vetustatis" satu dari 5 fungsi sejarah menurut pakar sejarah dan penulis Cicero (106-43 S.M.). Tentang fiksi yang dianggap sejarah sungguhan ini, akan saya tulis di beranda ini, kemudian.

Peristiwa yang tidak ditulis, bukan tidak ada (terjadi), tapi itu bias, pilihan-sadar, ketika to spoon (menyendok) mengambil potongan peristiwa tadi, ada KEBERPIHAKAN si peneliti/ penulisnya.

Sebaiknya, sejarah ditulis tidak terlampau jauh antara kejadian dan penulisannya agar kesenjangan (gap) atau istilah dalam dunia akademik "hermeneutic cycle" antara apa yang diketahui dan belum diketahui tidak terjadi miss/ gap yang terlampau jauh.

Sejarah wajib mengandung 3 hal saling terkait dan bisa dibuktikan.

1. Siapa tokohnya?
2. Apa peristiwanya?
3. Setting (waktu dan tempat). Kapan? Di mana?

Jika tidak bisa dibuktikan 3-wajib tadi, mitos/ legenda/ dongeng: bukan SEJARAH.

***

Tulisan sebelumnya: Bahasa Tulis [8] Karakter Para Penggila Kho Ping Hoo