Paradoks Zen

Di abad 21 ini, Zen bukan hanya hobi golongan tertentu semata, melainkan alat yang amat penting untuk kewarasan pikiran, sekaligus penentu mutu keseluruhan hidup kita.

Senin, 25 November 2019 | 14:43 WIB
0
267
Paradoks Zen
Ilustrasi Zen (Foto: rumahfilsafat.com)

Sejak kecil, saya suka sekali belajar. Saya suka menemukan hal-hal baru. Saya suka mengetahui segala hal tentang kehidupan, termasuk sejarah dan kompleksitasnya. Belajar menjadi semacam petualangan yang membahagiakan untuk hidup saya.

Secara umum, belajar berarti mengumpulkan informasi. Kita membaca atau mendengar hal-hal baru yang menambah pengetahuan di dalam diri kita. Belajar ilmu pengetahuan terjadi dengan proses ini. Sekolah formal, mulai dari SD sampai perguruan tinggi, juga terjadi melalui proses yang sama.

Di dalam perjalanan, saya mulai menemukan filsafat. Filsafat adalah ibu dari semua ilmu. Proses belajarnya pun berbeda. Filsafat tidak semata mengumpulkan informasi, melainkan melatih kita untuk berpikir secara rasional, kritis dan sistematik.

Lalu, saya berjumpa dengan Zen. Zen tidak memberikan informasi baru, atau melatih cara berpikir. Zen adalah sekumpulan metode untuk mengajak orang kembali ke keadaan alamiahnya sebagai mahluk hidup. Keadaan alamiah ini disebut juga sebagai “Hakekat Buddha”, dan terletak sebelum semua pikiran muncul.

Buah dari Zen adalah kejernihan. Artinya, orang paham, apa yang terjadi di dalam diri dan di sekitarnya secara apa adanya. Tidak ada yang ditambahkan, dan tidak ada yang dikurangi. Pola pembelajaran Zen mengandung banyak paradoks yang menarik untuk dicermati.

Paradoks Zen

Pertama, proses belajar Zen adalah melepaskan semua pembelajaran yang ada. Semua teori dan informasi dilepas. Semua konsep dan kepastian intelektual ditunda. Yang tersisa adalah diri kita yang asli, yakni keadaan alamiah kita sebagai manusia.

Dua, di dalam Zen, jika orang ingin mencari kebenaran, maka ia tak akan mendapatkan kebenaran. Yang ia dapatkan adalah konsep kebenaran. Artinya, ia kembali terjebak ke dalam ilusi. Kebenaran hanya dapat diperoleh, ketika orang melepaskan keinginan untuk mencapai kebenaran.

Tiga, di dalam Zen, jika orang ingin mencapai kedamaian, maka ia tidak akan pernah merasa damai. Ia akan merasa tegang. Kecemasan pun muncul, karena kedamaian tak kunjung datang. Kedamaian hanya dapat diraih, jika orang melepaskan keinginan untuk merasa damai.

Empat, di dalam Zen, jika orang ingin memperoleh kebebasan, maka ia akan terbelenggu. Ia akan terjebak di dalam konsep tentang kebebasan. Ia pun akan semakin tidak bebas. Jika orang ingin bebas, maka ia harus melepaskan semua keinginan untuk mendapatkan kebebasan.

Lalu?

Lalu, apa yang mesti dilakukan, jika orang ingin mendalami Zen? Tidak ada! Kita hanya perlu menjadi diri kita yang sebenarnya, yakni kehidupan itu sendiri. Kehidupan yang berisi kesadaran murni (pure awareness), tanpa penilaian dan analisis apapun.

Banyak orang yang sulit memahami ini. Ini terjadi, karena mereka terbiasa dengan pola belajar formal, yakni menambah informasi belaka. Zen terlihat amat sulit, persis karena ia terlalu sederhana. Ini juga merupakan salah satu paradoks di dalam Zen.

Kita terbiasa dengan kerumitan yang kita buat sendiri. Kita terbiasa tenggelam di dalam kotoran ilusi yang kita ciptakan sendiri. Artinya, kita menyiksa diri kita sendiri, tanpa kita sadari. Semua ini dengan mudah dilepas, asal kita memiliki pandangan yang tepat tentang dunia sebagaimana adanya.

Tujuan Zen adalah memahami, siapa diri kita sebenarnya. Pemahaman ini akan melahirkan kejernihan. Kejernihan akan melahirkan kebijaksanaan. Jika ini terjadi, kerak derita yang mengekang hidup kita selama ini pun akan lenyap secara alami.

Zen memberikan kesegaran di dunia yang serba cepat dan kompleks. Zen memberikan pencerahan di dunia yang terus berlari tanpa arah dan motivasi yang jelas. Zen memberikan dasar yang kokoh di dunia yang terus berubah. Paradoks Zen adalah sebuah upaya untuk memecah kebuntuan pikiran kita, akibat informasi sampah yang tersebar begitu luas dan cepat sekarang ini.

Di abad 21 ini, Zen bukan hanya hobi golongan tertentu semata, melainkan alat yang amat penting untuk kewarasan pikiran, sekaligus penentu mutu keseluruhan hidup kita.

***