Membaca Novel, Mengapa Penting?

Begitulah kerja novel, ia tidak membidik apapun kecuali "hati". Ia menyasar sisi-sisi instingtif-emosional para "manusia rasional" ini.

Rabu, 2 Oktober 2019 | 20:38 WIB
0
875
Membaca Novel, Mengapa Penting?
Ilustrasi membaca novel (Foto: educenter.id)

Dalam perjalananku mempelajari kejiwaan atau mental manusia (terutama diri sendiri), aku kerap membaca temuan-temuan ilmiah bahwa manusia tak lebih dari anak-cucu debu bintang di semesta, yang kemudian menjelma menjadi mahluk hidup sebagai bagian dari kingdom animalia, dan mengembangkan kesadaran metakognisi khas homo sapiens sebagai hasil dari proses evolusi.

Ya, aku begitu condong dengan pendekatan yang nampaknya tengah naik daun di dunia Psikologi, mengesampingkan pendekatan-pendekatan lawas semacam psikodinamika atau behaviorisme, yakni pendekatan neurosains-evolusioner. Salah satu dosen Psikologi yang berteman denganku di FB, Bu Nuri Sadida, pernah menyarankanku untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri jika ingin lebih mengeksplorasi lagi.

Pendekatan tersebut sepertinya cukup komprehensif dalam menjawab berbagai pertanyaan yang selama ratusan tahun hanya berputar-putar di ranah filosofis-- yang tentu saja sangat asumtif karena tidak berdiri di atas bukti empiris.

Baca Juga: Andrea Hirata, Novelis Kebanggaan Indonesia

Misalnya saja: apa itu cinta, apa itu bahagia, apa itu mimpi, apa itu tidur, apa itu hidup dan kehidupan? Pada akhirnya, semua yang kita pelajari dengan pendekatan filosofis yang mbulet bin ruwet hanyalah sinyal yang menjalar di sistem persarafan. Hati nurani itu cuma bagian dari otak, hilangkanlah bagian tersebut dan kita akan jadi "robot berwujud manusia tanpa hati nurani".

Aku perlu sesuatu yang tak sedingin sains; sesuatu yang membuatku memandang manusia bukan hanya sebagai "kera" yang punya "cortex" di otaknya.

Aku perlu sesuatu yang bisa membuatku melepaskan sejenak absurditas serta derita eksistensialisme yang menghimpit dada.

Aku ingin sesuatu yang mampu memercikkan makna, yang membuatku bisa menepi dari fakta bahwa semua mahluk--tanpa terkecuali--hanya hidup untuk mati, dalam beberapa puluh tahun lagi kita semua akan kembali irelevan bagi semesta yang usianya sudah miliaran tahun ini.

Di penghujung hari, aku ingin sesuatu yang juga bisa membangkitkan aspek afeksi, bukan melulu hanya kognisi. Sesuatu yang membuatku tidak hanya melihat seluruh dunia sebagai susunan materi.

Sesuatu yang segar tersebut adalah novel.

Hal ini ternyata sejalan dengan apa yang pernah dikatakan oleh seorang dokter spesialis bedah saraf senior: "Membaca roman (novel) menjaga dan melatih pikiranmu agar tetap merasa dan berempati."

Dan ya, aku mengamini.

Aku punya nyaris 30 (atau mungkin lebih) koleksi novel di rumahku, kadang-kadang ada yang kubawa ke Jogja.

Saat membaca novel, aku kembali terhubung dengan sisi manusiaku yang makin terkubur dinginnya sains dan filsafat; rasa senang, haru, terkejut, marah.

Baca Juga: Kisah Novel yang Sukses Diangkat dalam Sebuah Film

Beberapa bulan lalu, Bu Darwati membagikan cerita fiksi FB berseri karya Khilma Anis. Sejak paragraf pertama, aku telah jatuh cinta. Ya, aku yang feminis yang kata orang juga lumayan progresif ini jatuh cinta dengan novel "Hati Suhita", novel berlatar pesantren dengan budaya feodal, novel yang menceritakan pergulatan asmara seorang perempuan submisif --yang dalam kultur jawa sarat nilai patriarki-- posisinya memang kerap di bawah dominasi mahluk bertitel suami. Hidupnya mengorbit di sekitar menjaga kehormatan keluarga, menurut pada bagaimanapun perlakuan mereka.

Dari caraku mendeskripsikannya saja, tentu novelnya "bukan aku banget". Aku pun berharap yang terjadi pada tokoh Alina Suhita tidak pernah terjadi padaku di masa depan. Big no.

Tapi, entah kenapa aku menyukainya. Begitulah kerja novel, ia tidak membidik apapun kecuali "hati".

Ia menyasar sisi-sisi instingtif-emosional para "manusia rasional" ini.

Seterusnya aku akan tetap membaca novel dan cerita fiksi, sebelum afeksiku benar-benar mati diambil alih segala pikiran logis nan nihilis ini.

***

Rangkuman: membaca fiksi adalah sarana memelihara aspek afeksi (perasaan), setelah seharian berjuang merawat akal sehat.

- Asa Firda Inayah