Di media sosial seseorang bisa ber-transformasi 100 % sikapnya dari sosok pendiam, lemah lembut di dunia nyata menjadi sosok garang dan agresif di media sosial. Tak bisa dipungkiri fakta ini menjadi fenomena masyarakat kita saat ini.
Bagaimana kasus seperti ini banyak terjadi dan sudah terbukti, bahwa media sosial mampu mengubah pandangan dan sikap seseorang dan publik terhadap seorang politisi, seperti pada kasus Pilkada DKI Jakarta yang menggugurkan petahana gegara isu penistaan agama yang dirilis di media sosial.
Perdebatan publik di media sosial dan Grup Whatsapp beberapa kasus berlanjut menjadi kekerasan fisik di dunia nyata, pada saat kampanye Pilkada DKI Jakarta lalu banyak kasus serupa muncul, kasus terakhir di Jawa Timur terjadi adu fisik memakan korban nyawa.
Semua pemicu kekerasan fisik berkait dengan kontestasi politik jelang Pemilu beberapa kasus dipicu oleh postingan di media sosial. Bukan tak mungkin kasus serupa bakal makin banyak mengingat sebagian pengguna internet (netizen) masih seperti anak sekolah di sekolah baru, gagap, belum paham aturan tertulis dan tak tertulis serta etika yang menjadi pedoman komunitas bermedia di internet.
Ditambah pengaruh hasil pendidikan kita di masa lalu yang kurang memberikan ruang bagi siswa untuk berbeda pendapat dan mempertahankan pendapat.
Apalagi di tengah budaya timur, perbedaan pendapat masih sering ditabukan dalam keluarga atau komunitasnya, apalagi berkait dengan pandangan keagamaan dan politik.
Harapan untuk sebuah pemilu yang damai di era digital saat ini rasanya makin sulit diwujudkan mengingat secara umum budaya masyarakat kita masih belum terbiasa dengan perbedaan pendapat, menyikapi gagasan yang tidak melanggar UU , kecuali gagasan yang bertentangan dengan Konstitusi memang harus di-shut down.
Situasi ini menjadi sasaran empuk konten - konten kebohongan (Hoax), budaya literasi rendah di masyarakat kita memberikan kontribusi cukup signifikan bagi kedewasaan kita berkomunikasi di media sosial. Tak dipungkiri banyak yang gagal menyikapi konten - konten hoax, tak hanya di kalangan tak terdidik di lingkungan terdidik pun korban informasi hoax tak sedikit.
Apalagi konten hoax tersebut berisi tentang keagamaan, banyak netizen melahap informasi ini tanpa mengunyah terlebih dahulu.
situasi seperti ini sangat mengkawatirkan, apalagi misalnya sebagai netizen pembuat konten (creator content, bloger, vloger dll) selalu dibawah pengawasan dan bshksn ancaman apabila kita menyerang gagasan kelompok radikal yang sering melakukan kekerasan. Teror, persekusi fisik bukan tak mungkin bakal menimpanya.
Misi sebagai netizen konten creator, bloger, vloger dll adalah mendukung konstitusi, ikut menjaga nilai moralitas masyarakat, mendukung program - program sosial lewat media sosial, terutama tentang pembangunan nasional.
Bagaimana pun netizen konten creator, bloger, vloger dll harus saling mendukung, dan tetap menjaga persatuan bangsa serta saling mengingatkan dan mempunyai idealisme sama untuk mewujudkan Pemilu 2019 damai.
Adapun tantangan utamanya bukan dari luar tapi pengendalian diri dalam menyikapi derasnya informasi hoax di media sosial, solusinya adalah mengimbangi hoax dengan informasi bermanfaat dan berkualitas...untuk itu diharapkan kalangan netizen terus menebar konten konten positip agar dapat meminimalisir berita hoax yang pada akhirnya dengan secara cerdas dapat gunakan hak pilih dengan baik tanpa terhasut ajakan Golput.
Mari sukseskan Pemilu 2019 dengan damai dan bermartabat untuk persatuan bangsa!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews