Korupsi Tak Terkoordinasi

Kalau korupsi berulang-ulang terjadi, dan katakanlah apalagi makin parah, mungkin bukan lagi absurd, tapi asu.

Jumat, 11 Juni 2021 | 06:09 WIB
0
88
Korupsi Tak Terkoordinasi
Ilustrasi korupsi (Foto: pikiran-rakyat.com)

Belum lama lalu, Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) mengatakan, korupsi yang terjadi saat ini, jauh lebih buruk dibanding masa Orde Baru. Hal itu merujuk bukan jumlah korupsinya, melainkan kondisi korupsi yang makin meluas. 

"Korupsi sekarang semakin meluas. Lebih meluas dari zaman Orde Baru. Saya katakan, saya tidak akan meralat pernyataan itu. Kenyatannya saja, sekarang, hari ini korupsi itu jauh lebih gila dari zaman Orde Baru. Saya tidak katakan semakin besar atau apa jumlahnya. Tapi meluas," ujarnya dalam dialog dengan Rektor UGM dan pimpinan PTN/PTS seluruh Yogyakarta yang ditayangkan YouTube Universitas Gadjah Mada (5/6/2021). 

Yang menarik dari pernyataannya, tidak ada anggota DPR, pejabat maupun aparat penegak hukum yang melakukan korupsi. "Bapak ingat tidak dulu, tidak ada korupsi dilakukan oleh DPR, hakim tidak berani korupsi, gubernur, pemda, bupati tidak berani," tutur Mahfud. "Dulu korupsinya terkoordinasi. Di dalam desertasi saya pada 1993 (mengungkap) pemerintah membangun jaringan korporatisme sehingga semua institusi dibuat organisasi," jelasnya.

Saya tak ingin Mahfud mencabut pernyataannya. Wong sudah dinyatakan kok dicabut. Biar saja agar kita tahu perspektif yang hendak dibangunnya. Wong semua itu tergantung pada centhelannya. Centhelan kepentingan kita, akan membuat kita menilai pernyataan siapapun menjadi begini dan begitu. Biyasa wawe. 

Kalau dikatakan dulu legislatif dan judikatif tidak korupsi? Atau gubernur, walikota dan bupati tidak korupsi? Ah, ah, ah. Ya, sudahlah. Bapak saya, om-om saya, kakak-kakak saya, mungkin salah ketika bertutur bagaimana para pejabat negara dan pejabat pemerintahan di pusat dan daerah melakukan korupsi. Bukan hanya temen dan saudara Soeharto. Bahkan, jaman Sukarno pun, korupsi juga menggila. Cuman memang di itu jaman, medsos belum muncul, SJW serta kadrun belum bersatu jiwa. Belum pula lahir istilah buzzerRp. 

Jadi, proporsional saja melihat. Ngga selayaknya mbandingin korupsi jaman Jokowi dengan jaman Soeharto. Sebagaimana jangan mbandingin korupsi jaman Soeharto dengan jaman Sukarno.

Bandingin saja jaman pada awal Sukarno, Soeharto, Jokowi, atau siapa saja ketika mulai menjadi Presiden. Kemudian ukurlah ketika mereka turun jabatan. Bagaimana index korupsi jaman pemerintahannya. Baru kita bisa menilainya.

Adillah sejak kita menahan nafas dan kemudian mau kentut. Agar meski bau tapi nggak bikin mudah terpapar Corona. 

Jika tak hati-hati menilai, kita seolah percaya bahwa masalah di KPK adalah kebenaran Novel Baswedan cum-suis. Dan di seberangnya, kesalahan mutlak Firli Bahurli.

Padal, siapa yang menilai para penyidik dan penyelidik KPK itu keren? Ampuh? Berbobot? Bambang Widjojanto, Busyro Muqodas, Abraham Samad? Orang berkenpentingan bukan hanya mulutnya, tapi hatinya bisa jadi bau.  

Dalam sebuah tulisannya, nun di tahun 1852, Karl Marx, ekonom dan filsuf Jerman itu pernah menuliskan, “Sejarah berulang, pertama sebagai sebuah tragedi dan yang kedua kali sebagai sebuah peristiwa yang absurd.”

Kenapa begitu? George Santayana kemudian menyimpulkan lebih sederhana, “Mereka yang tidak mengambil pelajaran dari sejarah, maka mereka ditakdirkan untuk mengulanginya.”

Mangkanya Sukarno pernah nyap-nyap; Jasmerah, jasmerah, jasmerah. Trus orang-orang PDIP pakai jas merah. Karena kalau jas biru dikira pengikut SBY. Tapi, apa artinya sejarah?

Kalau sejarah hanyalah suatu perjanjian, di antara orang yang sudah meninggal, mereka yang masih hidup, dan mereka yang belum dilahirkan, sebagaimana dipertanyakan Edmun Burke sang filsuf?

Makanya, ‘jangan sekali-kali meninggalkan sejarah’ konteksnya adalah mempelajari sejarah. Bukan hanya untuk membanding-bandingkan, apalagi untuk membully. Di mana sejarah bisa menjadi tidak jujur, karena kesalahan posisi duduk waktu membaca.

Itulah kenapa Thomas Jefferson pernah nghendika, I like the dreams of the future better than the history of the past. Kenapa? Karena bukan tidak mungkin ada sejarah palsu, sejarah bohong, sebagaimana sinisme peraih Nobel Sastra (1921) Anatole France; Buku sejarah yang tidak mengandung kebohongan pastilah sangat membosankan.

Saya sih lebih terpukau kata-kata Marx; Sejarah berulang, pertama sebagai sebuah tragedi dan yang kedua kali sebagai sebuah peristiwa yang absurd. Kalau korupsi berulang-ulang terjadi, dan katakanlah apalagi makin parah, mungkin bukan lagi absurd, tapi asu. 

Lagian, Menkopolhukam lebih suka mbanding-mbandingin korupsi jaman Orba dengan sekarang. Kok nggak nyinggung gagasan anggaran alutsista dari Kementrian Pertahanan, yang notabene di bawah koordinasi Menkopolhukam? Apa karena tidak terkoordinasi? Atau tidak diajak berkoordinasi? Ya, menko ndisitlah!

@sunardianwirodono

***