Literasi Dasar yang Tertinggal dan Terlantar

Untuk kemampuan membaca saja, Indonesia harus menghabiskan waktu 45 tahun agar mencapai tingkat kemampuan setara mereka. Kalau Sains dibutuhkan 75 tahun.

Minggu, 21 Juli 2019 | 09:17 WIB
0
223
Literasi Dasar yang Tertinggal dan Terlantar
Ilustrasi membaca (Foto: Beritagar.id)

Tahukah Anda (wahai para pejabat di bidang pendidikan), bahwa dunia ilmu pengetahuan kita SANGAT TERTINGGAL dibandingkan dengan negara lain, bahkan dengan negara tetangga ASEAN? 

Berdasarkan statistik dari Bank Dunia jumlah peneliti per sejuta orang maka datanya adalah: Israel: 8250 South Korea: 7113 Japan: 5210 Germany: 4893 Canada: 4552 Australia: 4539 UK: 4430 US: 4313 France: 4307 Russia: 2979 Spain: 2732 Malaysia: 2274 Italy: 2131 Turkey: 1216 China: 1206 Brazil: 881 India: 216 Indonesia: 89 (World Bank). Jadi hanya ada 89 orang peneliti dari sejuta orang di Indonesia sementara Malaysia yang dulunya katanya impor guru dari kita sudah mencapai ribuan. 

Jika jumlah periset atau peneliti demikian rendahnya maka tidak heran jika jumlah paten yang dihasilkan masih sangat jauh dibandingkan negara ASEAN lainnya, seperti Singapura (10.044 paten), Malaysia (2.690 paten), dan Thailand (1.043 paten). Hingga 2015, total paten Indonesia yang terdaftar pada Kantor Paten Amerika hanya berjumlah 333 paten. Tidak hanya tertinggal, pertumbuhan paten Indonesia juga menunjukkan tren yang stagnan sejak 2005, demikian berita yang bersumber dari United States Patent and Trademark Office.

Tentu saja saya tidak tahu bagaimana caranya untuk membenahi masalah besar ini. Bukan kapasitas saya bicara hal besar semacam ini. Yang jelas dunia riset dan dunia pendidikan Indonesia harus melibatkan sektor swasta, utamanya jika ingin mengembangkan ketrampilan vokasi bangsa. Perlu ada keterpaduan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya riset seperti anggaran, fasilitas riset, dan peneliti antara pemerintah dan swasta. Jika tidak maka hasil riset dengan kebutuhan industri yang tidak berkorelasi dan berkesesuaian akan menjadi persoalan baru.

Tapi satu hal yang saya sangat paham adalah bahwa semua hal ini perlu dibarengi dengan meningkatkan budaya dan literasi ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa Indonesia.

Satu hal yang selama ini terus menerus saya ingatkan adalah pentingnya menumbuhkan minat dan kemampuan baca bangsa kita. Kalau kita tidak menumbuhkan minat dan kemampuan baca bangsa kita maka PERCAYALAH bahwa tidak mungkin kita akan bisa meningkatkan kapasitas dan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa kita.

Betapa pun hebatnya kurikulum yang kita susun jika siswa tidak menguasai 3 Rs (Reading, wRiting, and aRithmetic) atau Membaca, Menulis, Matematika sebagai dasar penguasaan ilmu pengetahuan lebih lanjut maka semuanya menjadi TIDAK MUNGKIN.

Mau dibawa ke dukun paling top mana pun syaratnya tetap: Kuasai Baca, Tulis, dan Matematika dulu baru melangkah ke mana pun engkau suka. Tanpa tiga kemampuan literasi dasar tersebut maka kita tidak akan pernah bisa naik kelas. Tidak ada sogok menyogok dan KKN dalam hal ini. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, di penghujung Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia di tahun 2017, di Washington DC, Amerika Serikat, Sabtu (14/10/2017) mengungkapkan hasil penelitian World Development Report (Laporan Pembangunan Dunia) yang baru saja dirampungkan Bank Dunia:

“Mutu pendidikan di Indonesia sangat tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara maju, khususnya negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Untuk kemampuan membaca saja, Indonesia harus menghabiskan waktu 45 tahun agar mencapai tingkat kemampuan setara mereka. Kalau Sains dibutuhkan 75 tahun untuk bisa mengejar ketertinggalan bila sistem pendidikan kita masih seperti begini."

Dengan ketertinggalan sedemikian jauh maka tidak mungkin kita bisa melompat ke hal yang lebih tinggi seperti HOTS, STEAM, Digital Learning, Coding Learning, 21st Century Skills, dll. Kita hanya akan terjebak pada jargon-jargon saja.

Sebetulnya sudah ada sedikit kemajuan dari Kemendikbud soal MEMBACA dengan adanya program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang mewajibkan sekolah untuk menumbuhkan minat dan kebiasaan membaca siswa dengan mengalokasikan 15 menit setiap hari untuk membaca (saya belum melihat inisiatif Kemenag yang juga memiliki siswa puluhan juta di bawah pengelolaannya).

Program ini sudah diluncurkan sejak tahun 2015. Tapi terus terang saya sangat kecewa melihat betapa melempemnya program ini sekarang. Hampir tidak ada evaluasi dan bahkan monitoring seberapa efektif kewajiban ini dilakukan oleh sekolah-sekolah. Kemendikbud seolah tidak peduli apakah Disdik Propinsi/Kota/Kabupaten melaksanakan program ini atau tidak.

Bahkan Surat Edaran dari Dirjen Dikdasmen bagi kadisdik di setiap daerah untuk membentuk Tim Satgas GLS di masing-masing daerah sama sekali tidak diindahkan. Surat Edaran tersebut berlalu begitu saja tanpa dilihat bahkan dengan sebelah mata dan juga tidak dimonitor oleh Dirjendikdasmen apakah benar-benar dilaksanakan atau tidak. Ini hanya bermakna satu: Kita tidak benar-benar serius dengan program yang kita lakukan. Kita hanya abang-abang lambe. 

Dengan cara kerja seperti ini maka kita tidak akan pernah keluar dari kubangan kebodohan dan ketertinggalan. 

Surabaya, 18 Juli 2019

***