Trauma kolektif harus dihadapi dengan empati, didengarkan, disembuhkan, bukan dibiarkan, apalagi dijadikan bulan-bulanan.
Kalau tidak siap jatuh cinta, jangan pernah menatap mata anak-anak Papua. Karena sepanjang dua tahun terakhir berkesempatan mengelilingi Pegunungan Tengah Papua, jernih mata mereka selalu memanggilku untuk datang dan datang lagi.
Sorot mata itu seperti mengirim pesan kerinduan pada kemajuan, kehidupan yang lebih baik. Seperti anak-anak lain di belahan negeri ini, mereka ingin bermain, belajar, dan menjalani kehidupan yang lebih baik.
Namun Papua adalah lingkaran trauma. Harapan anak-anak tak mudah terwujud karena di dunia orang dewasa, kekerasan berbalas kekerasan. Bahkan ketika rezim berganti, Otonomi Khusus sudah berlangsung hampir 20 tahun, belum juga disepakati dari ujung sebelah mana benang kusut Papua akan segera diurai.
Otonomi Khusus dibekali anggaran yang tidak sedikit. Namun anggaran saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah di Papua. Paling tidak Papua menyimpan beberapa masalah yang perlu dibicarakan terbuka seperti kasus kekerasan di masa lalu, diskriminasi, dan pelurusan sejarah.
Keengganan membicarakan masalah-masalah tersebut hanya menempatkan Papua seperti anak kesayangan yang tak pernah didengar suaranya. Setiap kali mencuat isu di tingkat nasional, anggaran dinaikkan. Sekarang melalui dana Otsus.
Semakin meningkat eskalasi, TNI/Polri dikedepankan untuk menghadapi amuk. Padahal masalahnya ada di dalam hati, soal rasa yang ingin didengarkan, bukan dihadapi oleh pasukan.
Trauma kolektif harus dihadapi dengan empati, didengarkan, disembuhkan, bukan dibiarkan, apalagi dijadikan bulan-bulanan. Tak perlu menjadi korban kekerasan untuk peduli, cukup mempelajari sejarah bangsa Indonesia, dari ujung Barat sampai ujung Timur. Kalau bisa membantu, lakukanlah, sekecil apa pun. Kalau tidak bisa? cukup jaga mulut!
Kristin Samah
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews