Papua yang Saya Kenal

Trauma kolektif harus dihadapi dengan empati, didengarkan, disembuhkan, bukan dibiarkan, apalagi dijadikan bulan-bulanan.

Senin, 19 Agustus 2019 | 22:38 WIB
0
379
Papua yang Saya Kenal
Saya di Papua (Foto: Dok. pribadi)

Kalau tidak siap jatuh cinta, jangan pernah menatap mata anak-anak Papua. Karena sepanjang dua tahun terakhir berkesempatan mengelilingi Pegunungan Tengah Papua, jernih mata mereka selalu memanggilku untuk datang dan datang lagi.

Sorot mata itu seperti mengirim pesan kerinduan pada kemajuan, kehidupan yang lebih baik. Seperti anak-anak lain di belahan negeri ini, mereka ingin bermain, belajar, dan menjalani kehidupan yang lebih baik.

Namun Papua adalah lingkaran trauma. Harapan anak-anak tak mudah terwujud karena di dunia orang dewasa, kekerasan berbalas kekerasan. Bahkan ketika rezim berganti, Otonomi Khusus sudah berlangsung hampir 20 tahun, belum juga disepakati dari ujung sebelah mana benang kusut Papua akan segera diurai.

Otonomi Khusus dibekali anggaran yang tidak sedikit. Namun anggaran saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah di Papua. Paling tidak Papua menyimpan beberapa masalah yang perlu dibicarakan terbuka seperti kasus kekerasan di masa lalu, diskriminasi, dan pelurusan sejarah.

Keengganan membicarakan masalah-masalah tersebut hanya menempatkan Papua seperti anak kesayangan yang tak pernah didengar suaranya. Setiap kali mencuat isu di tingkat nasional, anggaran dinaikkan. Sekarang melalui dana Otsus.

Semakin meningkat eskalasi, TNI/Polri dikedepankan untuk menghadapi amuk. Padahal masalahnya ada di dalam hati, soal rasa yang ingin didengarkan, bukan dihadapi oleh pasukan.

Trauma kolektif harus dihadapi dengan empati, didengarkan, disembuhkan, bukan dibiarkan, apalagi dijadikan bulan-bulanan. Tak perlu menjadi korban kekerasan untuk peduli, cukup mempelajari sejarah bangsa Indonesia, dari ujung Barat sampai ujung Timur. Kalau bisa membantu, lakukanlah, sekecil apa pun. Kalau tidak bisa? cukup jaga mulut!

Kristin Samah

***