Memahami Peristiwa "Jihad" di Jalan Tol

Saya melihat peristiwa ini sederhana saja, ada potensi api besar yang membakar. Maka tumpas dan padamkan sejak mereka masih kecil.

Rabu, 9 Desember 2020 | 07:54 WIB
0
312
Memahami Peristiwa "Jihad" di Jalan Tol
Senjata api dan samurai sebagai barang bukti (Foto: detik.com)

Pertanyaan dasarnya harusnya dimulai dari mengapa empat orang yang tidak tertembak itu dibiarkan lolos? Apakah mereka akan tetap dikejar atau dibiarkan. Kita harus menunggu. Karena jelas mereka saksi kunci untuk mengungkap bagaimana peristiwa sesungguhnya terjadi. Karena kita tidak berharap adanya "siaran langsung" atau minimal rekaman CCTV dari peristiwa tersebut!

Namun bagi saya, lolosnya empat orang tersebut. Menunjukkan peristiwa baku tembak itu pasti terjadi secara cepat, tak terduga, dan tanpa terencana. Negara, dalam hal ini polisi memang berhak (atau bahkan wajib) melakukan pengintaian, penguntitan, atau apa pun istilahnya terhadap orang yang diduga berpotensi melakukan tindak kekerasan. Itu tindakan preventif, malah salah kalau tidak. Terhadap apa yang bisa dikategorisasikan sebagai aksi terorisme.

Nanti kalau peristiwa teror terbuka terjadi, pihak keamanan yang lagi-lagi disalahkan. Hobi kok cari kambing hitam!

Karenanya hal ini semestinya mematahkan "argumen para SJW" itu yang justru mengapungkan teks bahwa apakah hanya akibat melanggar protokol Covid-19, maka 6 orang ditembak mati. SJW selalu pandai membuat celah yang melulu memposisikan pemerintah atau dalam hal ini aparat penegak hukumnya pada titik yang buruk untuk tidak bilang selalu salah.

Mereka selalu punya argumen "teman sepersalahan" yang diperlakukan secara tidak adil. Kalau si A melakukan ini ditindak, kenapa kalau si B tidak. Mereka akan selalu bilang bahwa HRS adalah figur yang dijadikan musuh pemerintah justru untuk menutupi kegagalan mereka mengelola negara. Dalam konteks hari ini, mereka akan selalu bilang bahwa peristiwa seperti ini digunakan untuk menutupi kasus-kasus korupsi yang dilakukan.

Mereka akan selalu menganggap bahwa orang lain haruslah sama dengan dirinya. Atas nama demokrasi dan kebebasan berpendapat, para SJW ini justru berlaku sangat tidak adil. Ia memberi contoh yang sangat buruk, justru bagaimana mengedukasi publik tentang keadilan yang egaliter.

Dengan menempatkan siapa pun yang punya kuasa senjata sebagai pihak yang harus dipersekusi secara sosial. Padahal kita tahu semua, mereka tak mungkin bergerak secara independen tanpa "vested interest" para donaturnya.

Ayo kalau berani kita buka-bukaan terkait ketidak-indepenanmu itu....

Dalam konteks penembakan enam korban kemarin. Saya memberi respek kapada Polri yang mau dengan cepat memberi keterangan pers. Menunjukkan barang bukti, berupa senpi dan sajam yang digunakan. Dari jumlah dan korelasi wajah korban, gampang diduga siapa memegang apa. Bahwa mereka adalah kelompok yang "memang sengaja dimartirkan".

Dari rekaman audio yang kemudian beredar, memberi sedikit gambaran bahwa mereka bukanlah profesional, masih kategori yunior pencari identitas. Atau saya salah, yang memang semua sesungguhnya seperti itu. Dari kasus Maher semestinya kita juga bisa belajar. Bahwa saat sebelum dia ditangkap, bergaya garang seperti singa. Dengan kafiyehnya, ia menyembunyikan tubuhnya yang kecil. Saat dan setelah ditangkap, tak lebih anak kecil meraung-raung mencari mamaknya.

Dari pilihan kata, intonasi, dan gaya bahasanya terdengar ketidakmatangan. Dan menunjukkan model "Riziek" banget, Arab Petamburan. Gede di omongan, minus di kemampuan. Namun justru di sinilah, kunci menjawab pertanyaan kenapa mereka jadinya harus atau terpaksa dihabisi. Mereka ini ibarat anak STM dalam tawuran, bisa sangat ngawur dan tanpa kendali, yang berpotensi membahayakan orang lain yang tak bersalah.

Baca Juga: Tingkatkan Pengamanan Pilkada

Dasarnya adalah peristiwanya terjadi di jalan tol dan di tengah malam. Pada situsai lengang, seperti itu kucing nyebrang atau bayangan putih lewat saja akan menyebabkan kepanikan pada pengemudi di jalanan. Resikonya terlalu besar untuk membuat pilihan bagi polisi. Dan saya pikir, permintaan adanya CCTV atau bahkan rekaman langsung jadi sangat berlebihan.
Bagian terburuk, justru argumentasi pihak FPI yang diwakili Munarman (sic) sebagai juru bicaranya!

Mereka mengatakan rombongan ini adalah yang berangkat ke pengajian. Pertanyaan, kok pengajian membawa senjata. Lalu mereka, bilang pada peristiwa tersebut didramatisasi ada bayi? Tak ada bukti. Lalu yang paling konyol adalah bahwa mereka, para korban itu diculik terlebih dahulu, sebelum dieksekusi. Lah, laboratorium forensik akan mudah membuktikan rekonstruksi bagaimana proses tembak menembak terjadi.

Polisi tolol dan sembarangan sekali, kalau sampai melakukan hal tersebut. Apa mereka pikir, aparat keamanan kita sedongok itu menangani peristiwa sesensitif ini?

Bagian terburuknya adalah kabar peristiwa yang mendahuluinya. Disebutkan di Megamendung, konon "pihak intelejen" menyusupkan tiga orang yang kemudian tertangkap. Walau kemudian dilepaskan, mereka menunjukkan "kartu anggota" berlatar belakang merah yang dipublikasikan. Menunjukkan bahwa mereka ini halu sekali. Kalau mereka memang tertangkap, kan gampang saja divideokan sebarkan. Serahkan kepada polisi untuk mengusut.

Sial kemudian, dalam penggeledahan para korban yang tertembak justru pada salah satu dompet mereka ditemukan kartu identitas yang berwarna-warni latar belakang. Ada kartu pers cetak, jurnalis TV, KTP dengan banyak nama tapi satu wajah, dan yang tak terduga kartu tanda anggota TNI sekaligus BIN. Dalam titik inilah, barangkali justru (maaf) harusnya jadi ukuran kepantasan kenapa peristiwa ini terjadi.

Dari namanya, kita tahu bahwa ia berlatar belakang kelompok manusia yang baru belajar agama. Lalu salah pengajian, masuk dalam pergaulan yang keliru, dan berakhir terkapar di jalanan.

Denial, ngeles, berargumentasi itu keniscayaan bagi mereka. Sayangnya, mereka ini bodoh saja pakai banget! Kalau mereka mau, belajar dari banyak film terorisme. Dalam konferensi pers awal, tak pernah ada argumentasi peristiwa. Mereka harusnya fokus pada korban. Namun realitasnya mereka tidak mengatakan bahwa si korban sudah bertemu dengan 72 bidadari, sudah berjihad di jalan agamanya. Mereka tidak melakukan itu, atau kalau pun (kemudian) melakukannya sudah sangat terlambat....

Bahkan terorisme yang "paling tidak beradab" sekalipun, mereka punya tanggungjawab moral pada para pengikutnya.

Akibatnya tidak ada kesedihan yang berlebihan, tak ada kegetiran yang berhasil mereka tularkan. Kalau pun ada yang seolah mendukung atau meratap. Itu lebih muncul dari kelompok pembenci yang eksistensinya mendahului. Dan harusnya juga biasa saja kalau mereka menunggangi.

Inilah bedanya sebuah rekayasa peristiwa dengan suatu tindakan kongkrit dan tegas negara pada para perusuh di wilayahnya.

Berbeda itu demokratis, tapi ngaco itu kriminal!

Saya melihat peristiwa ini sederhana saja, ada potensi api besar yang membakar. Maka tumpas dan padamkan sejak mereka masih kecil. Bagaimana pun toh, negara selama ini sudah diposisikan sebagai pihak yang lemah dan tidak bisa tegas. Kalau mereka tegas, lalu salah lagi. Gitu?

Pada para korban, tetap saya memberi simpati. Berempati pada kebodohan, kekonyolan, dan kehampaan yang harus kalian lewati. Tapi bukankah itu juga memang cita-cita kalian?

Sayangnya akan sedikit yang menganggap dirimu berjihad di Jalan Allah. Ber-"jihad" di jalan tol mungkin...

***