Cerpen: Pohon Ajaib

Tetapi aneh. Begitu pohon itu tumbang, seketika hujan berhenti. Suasana perlahan sunyi, seiring senja yang menghampiri kegelapan.

Jumat, 17 April 2020 | 21:06 WIB
0
480
Cerpen: Pohon Ajaib
ilustrasi: pixabay.com

Lelaki itu bernama Panji. Mungkin hanya sebuah kebetulan belaka jika Panji yang satu ini juga senang berpetualang. Tetapi Panji yang aku ceritakan ini adalah seorang lelaki muda yang mencintai pepohonan, bukan hewan buas seperti harimau atau ular. Baginya pohon adalah tempat persinggahan yang paling teduh dan nyaman. Juga memberinya ketenangan.

Selama bertahun-tahun, Panji menghabiskan hidupnya untuk berpetualang. Dalam setiap petualangannya ia selalu singgah di sebuah tempat yang terdapat pohon besar. Kadang ia tidur di atas akar pohon, kadang tidur di dahan, dan terkadang ia membuat rumah kecil di atas ranting-ranting pohon. Entah sudah berapa pohon yang ia tiduri. Dan itu dilakukannya setiap hari, sepanjang hidupnya. Tetapi lama kelamaan ia pun didera kebosanan. Walau begitu ia terus berjalan, terus berpetualang. Tidur dari satu pohon ke pohon.

Suatu ketika tibalah Panji di sebuah padang yang tandus. Di sekeliling dan sejauh mata memandang, ia hanya menjumpai hamparan pasir. Tetapi sungguh ajaib, di tengah padang yang tandus itu matanya menangkap sebuah pohon besar. Ia menatap penuh takjub. Pohon dengan batang besar yang mungkin tak cukup dipeluk dengan kedua tangan 4 orang dewasa. Daun-daunnya lebar dan lebat, ranting-rantingnya menjulur ke segala arah lalu membuat kepakan seperti tenda payung raksasa. Di samping pohon itu ada sebuah telaga. Airnya bening dan bisa langsung diminum. Kerindangan pohon dan dinginnya air telaga itu mampu menghalau terik panas di padang yang gersang.

Panji menghampiri pohon itu dengan hati berbunga-bunga. Ia beristirahat di bawah pohon itu. Terik panas padang pasir membuat tenggorokannya kering dan dahaga. Melihat jernihnya air di telaga, ia menjulurkan tumblernya yang sudah kosong ke pinggir telaga hingga penuh terisi air. Lalu diminumnya air itu dan basahlah kerongkongannya. Ia begumam, ini adalah air paling nikmat yang pernah kurasakan sepanjang hidupku. 

Setelah berjalan jauh sejak fajar pagi, Panji pun tak kuasa menahan rasa kantuk. Ia pun tertidur di atas hamparan akar yang dilapisi tikar dan karpet yang selalu digendong bersama tas ransel di punggungnya.

Hingga ketika terbangun, ia dibuat kaget bukan kepalang. Ia dapati dirinya tidur di atas hamparan padang tandus hanya beratapkan langit. Tak ada lagi pohon rindang yang menaunginya. Tak ada lagi telaga di sampingnya. Ia pun segera bangun. Bergegas mencari ke mana pohon itu menghilang. Ke manakah pohon itu? Mungkinkah pohon itu berpindah tempat? Aku harus mencarinya, pikirnya.

Maka berjalanlah Panji ke utara, lalu balik ke selatan. Ia tak menemukannya. Panji memutar arah,  lalu berjalan ke timur. Pencariannya ke timur pun tak membawa hasil, lalu balik arah ke barat. Hasilnya sama.

Panji letih dan lelah. Berhari-hari ia berjalan tanpa menemukan pohon rindang yang dicarinya. Ia hampir putus asa. Di ambang keputusasaannya ia memutuskan untuk pulang. Pulanglah ia ke kampung halaman.

Di kampung halamannya Panji menanam pohon. Setelah beberapa tahun, pohon itu pun tumbuh subur, besar dan lebat. Besarnya melebihi pohon yang ditemukan di padang pasir saat dulu ia berpetualang. Semakin lama pohon itu terus membesar. Meninggi hingga menantang langit. Panji sangat bangga dan gembira luar biasa.

Hingga suatu saat hujan turun dari langit dengan derasnya. Disertai angin kencang dan petir yang menyambar-nyambar. Banyak atap-atap rumah beterbangan diterjang badai. Badai mengamuk merobohkan apa saja. Dan pohon besar yang menjulang tinggi itu pun tak luput dari amukannya.

Panji pun berlari kencang demi melihat pohon di depan rumahnya bergerak dan hendak tumbang. Berlarilah ia sekuat tenaga dengan menutupkan kedua tangannya di atas kepala. Tetapi apa daya, ia terlambat menghindar karena pohon itu lebih cepat berdebum ke bumi dibanding langkah kakinya.

Tetapi aneh. Begitu pohon itu tumbang, seketika hujan berhenti. Suasana perlahan sunyi, seiring senja yang menghampiri kegelapan. Lalu di tengah ranting-ranting dan dedaunan yang terhempas di tanah basah, muncullah sebuah lorong kecil. Lorong itu bercahaya. Dan Panji pun menghilang bersama cahaya yang melesat di lorong itu.

***