Dua Tahun yang Seru [4] Guru Honorer Merangkap Penjaga Malam

Akhirnya tiba di pembicaraan serius mengenai penjelasan deskripsi pekerjaan dan hak kepegawaian. Pak Seno yang sebelumnya santai, menjadi lebih serius.

Sabtu, 4 Juli 2020 | 06:41 WIB
0
211
Dua Tahun yang Seru [4] Guru Honorer Merangkap Penjaga Malam
ILustrasi mengajar (Foto: kompasiana.com)

Keesokan harinya, setelah salat subuh dan mandi pagi aku bersiap berangkat wawancara. Rojali meminjamkanku setelan jas abu-abu. Kata dia, sejak kuliah dulu aku selalu berpenampilan rapi, sehingga hari ini seharusnya aku juga demikian. Agak berlebihan karena aku hanya akan melamar kerja sebagai guru honorer. Meski demikian, aku tetap memakainya, bersama dengan kemeja putih, dasi merah, dan sepatu pantofel yang sudah kusiapkan dari rumah. 

Wawancara akan berlangsung sekitar pukul 9 pagi. Aku berniat berangkat jam 8 pagi saja. Setiba di sekolah itu, aku bisa sarapan di kantin sekolah dulu, lalu menghadiri wawancara. Rojali juga berangkat sekitar jam 8, karena dia rapat dulu di kampus.

Mesin motor aku nyalakan, lalu aku mulai mengendarai motor sesuai arah yang ditunjukkan Rojali. Pertigaan masjid Kauman, belok kanan hingga ada perempatan, kemudian belok kiri. Setelah itu tinggal mencari sekolahnya, karena kata Rojali, sekolahnya terlihat sangat jelas. Sepertinya memang benar, karena itulah satu-satunya SMA yang ada di jalan itu.

Pintu gerbangnya, yang terbuat dari besi, tertutup rapat. Aku menghentikan motorku, lalu membuka kaca helm. Seorang guru olahraga berwajah tegas, yang sepertinya sedang melakukan penilaian, menanyai keperluanku.

“Saya hari ini ada wawancara, ini saya yang daftar jadi guru honorer,” jelasku.

“Oh, yang sama Bu Upik ya? Monggo, nanti langsung saja ke ruang kepala sekolah jam 9, itu ruangnya nanti njenengan ke gedung yang lurus itu, di sana nanti ada ruang kepala sekolah. Parkirnya di parkiran guru saja, ini njenengan muter bunderan ini aja nanti ada jalan ke sana kok,” kata guru olahraga yang berbadan tinggi ini. 

Baru aku masuk sekolah ini, jelas bahwa ini sekolah peninggalan Belanda. Terlihat dari bentuk bangunan-bangunannya, luas sekolahnya, dan tata letaknya yang sangat rapi. Jalan masuknya berbentuk bundaran yang melingkari lapangan besar.

Ada empat rumah kecil di sisi bundaran, selain gedung yang ada di tengah dan masjid yang ada di sebelahnya. Aku segera mengendarai motorku ke parkiran guru, sesuai arah yang ditunjukkan guru olahraga. 

Niatku setelah ini mencari tahu di mana kantin sekolah, namun ternyata baru aku turun dari motor, ada anak berjilbab membawa sekotak donat. Karena terlihat enak, maka aku membeli dua, lumayan hanya seharga Rp8.000,00. Untuk minumnya, aku bawa sebotol air mineral dari tempat Rojali. Aku duduk di depan ruang OSIS dan Pramuka, yang dekat parkiran guru, sambil makan donat dan menunggu jam 9.

Baru juga aku selesai makan donat, mobil Innova parkir di dekat situ. Seorang guru berjilbab turun dari mobil. Beliau langsung mendekatiku.

“Oh, ini Mas Hamid yang temannya Mas Rojali itu, yang mau daftar jadi honorernya saya?” tanya beliau. Aku melihat papan nama beliau sekilas, tertulis “Upik Intarniati, S.Pd.”

Aku berdiri. “Nggih, Bu. Saya Abdul Hamid yang mau jadi honorer di sini,” jawabku.

Beliau menyodorkan tangannya untuk bersalaman denganku. “Saya Upik, yang kemarin minta tolong Mas Rojali buat carikan honorer. Saya mau lanjut S2 soalnya bulan Juli besok, takut kesulitan nanti nyesuaikan waktunya. Ikut saya, Mas Hamid, kita ke ruang kepala sekolah,” ucap beliau. 

Aku kemudian mengikuti beliau ke ruang kepala sekolah, yang tak jauh dari situ. Hanya jalan sedikit. Bu Upik mempersilakan aku menunggu di luar sebentar.

“Saya ngomong ke Pak Seno dulu Mas, nunggu dulu saja di sini,” kata Bu Upik.

Tak lama kemudian Bu Upik mengajakku masuk.

“Pak Seno sudah berkenan,” kata beliau.

Saat aku masuk, seorang berbadan pendek, berkacamata, dan berkumis tebal menyambutku. Beliau mengenakan batik lengan panjang. Aku langsung menebak, ini Pak Seno, kepala sekolah.

“Selamat pagi, Pak Abdul Hamid. Saya Seno, kepala sekolah. Monggo, Pak, duduk di situ, kita bisa mulai wawancara,” kata Pak Seno mengulurkan tangan. Aku menjabat tangan beliau, lalu mengikuti beliau ke meja kerja.

Ternyata di ruangan itu tidak hanya ada Pak Seno. Ada juga tiga guru lain di dalam, semuanya laki-laki. Satu orang berbadan sangat besar dan wajahnya tampak selalu tersenyum, satu orang berbadan tegap dengan raut wajah yang berwibawa, dan satu orang berbadan kurus yang terlihat sudah tua. Aku menyalami mereka, dan duduk di tempat yang disediakan.

“Baik, Pak Hamid. Boleh saya lihat berkas-berkasnya?” ucap Pak Seno. Aku menyodorkan berkas-berkas yang kemarin diminta untuk dibawa. 

Pak Seno membuka berkas-berkas itu. Sebenarnya ngeri juga membayangkan Pak Seno akan mempertanyakan IPK yang amburadul, lama studi yang tidak normal, atau pengalaman kerja dan berorganisasi yang tidak fantastis. 

“Pak Hamid, jadi selama kuliah dulu njenengan ngajar?” tanya Pak Seno.

Percaya diri aku menjawab. “Iya, Pak Seno. Saya ngajar di bimbel kecil punya kenalan saya, juga ngajar privat. Untuk bidang SMA saya mengampu Fisika dan Biologi, sesuai peminatan kuliah saya,” ucapku yakin.

“Pak Hamid bisa coba contohkan bagaimana njenengan ngajar? Coba biar Pak Sus yang menentukan materi apa,” pinta Pak Seno sambil menunjuk bapak berbadan besar.

“Oh, coba njenengan yang gampang saja, jelaskan Hukum Newton!” kata Pak Sus sambil tersenyum lebar. Aku merasa bapak ini sangat baik hati.

Aku mengambil spidol dan mulai mencoret-coret papan tulis di sana, sambil menjelaskan Hukum Newton mulai dari hukum I-III. Tidak hanya menuliskan rumusnya, namun menggambarkan pula aplikasi nyata dari hukum-hukum tersebut.

“Terutama untuk hukum Newton III, gaya aksi-reaksi tidak saling meniadakan, karena bekerja di benda berbeda. Coba, Pak Sus, kalau boleh saya minta tolong njenengan tendang kursi tempat saya duduk tadi,” pintaku. Mungkin lancang, namun itu caraku.

Pak Sus berjalan mendekati kursi. Saking besarnya badan Pak Sus, sampai ketika berjalan itu perut beliau ikut bergerak. Kemudian beliau menendang kursi sambil berteriak “Aduh!”

“Sakit nggih, Pak Sus? Ngapunten nggih Pak,” kataku. Pak Sus mengangguk sambil tersenyum meringis.

“Itu maksudnya aksi-reaksi. Pak Sus menendang kursi, terjadi gaya aksi terhadap kursi yang diberikan kakinya Pak Sus, sehingga kursi jatuh. Nah, kursi memberikan gaya reaksi kepada kaki Pak Sus, sehingga Pak Sus kesakitan. Arah gayanya berlawanan, namun bekerja pada benda yang berbeda, sehingga tidak saling meniadakan,” tegasku menyimpulkan.

“Bagus, Pak Hamid! Monggo duduk lagi,” kata Pak Seno.

Selebihnya Pak Seno lebih banyak bertanya tentang kehidupan pribadiku. Agak malu aku ketika Pak Seno menyeletuk “Di sini ada guru muda yang masih jomblo kok, Pak Hamid!” 

Akhirnya tiba di pembicaraan serius mengenai penjelasan deskripsi pekerjaan dan hak kepegawaian. Pak Seno yang sebelumnya santai, menjadi lebih serius.

“Pak Hamid, sudah tahu belum kalau selain sebagai guru honorer, njenengan akan menjadi penjaga malam di sekolah ini?” tanya beliau. (Bersambung)

***

Tulisan sebelumnya: Dua Tahun yang Seru [3] Jadi Sekadar Obat Nyamuk