Dua Tahun yang Seru [3] Jadi Sekadar Obat Nyamuk

Setelah mandi dan berganti pakaian, Rojali sudah menungguku di depan TV. PlayStation sudah dia siapkan, saatnya beradu PES.

Kamis, 25 Juni 2020 | 06:41 WIB
0
182
Dua Tahun yang Seru [3] Jadi Sekadar Obat Nyamuk
Sepeda motor (Foto: beritagar.id)

Aku menoleh ke si cowok berbaju rapi itu. “Njenengan alumni sana, lulus tahun berapa?”

“Saya lulus kurang lebih tiga tahun lalu. Lha Mas-nya kok tahu ada lowongan di sana, Mas-nya dari Batang kan?” tanya dia.

“Iya. Ada kawan kuliah dulu yang jadi dosen di Salatiga, ngasih tahu lowongan itu,” jawabku.

“Ooh. Biasanya sih di sekolah itu jarang ada guru honorer sih. Biasanya kalau ada guru yang mau studi lanjut atau pensiun, baru ada guru honorer sebagai pengganti sementara,” ucap si cowok.

“Kayaknya sih gitu. Kalau lolos, masa kerjanya dua tahun sih. Tapi makmur juga, honornya hampir sama dengan gaji pokok guru PNS minus tunjangan, dan disediakan tempat tinggal pula,” balasku.

Kali ini tiba-tiba ekspresi si cowok yang agak kaget. “Njenengan dikasih gambaran tempat tinggalnya gimana?” tanya dia.

Aku menggeleng. Rojali cuma BBM kalau bakal disediakan tempat tinggal juga, namun tidak dispesifikkan seperti apa. Yang jelas, enak juga kalau benar karena aku tidak perlu sewa kos.

“Yang jelas, saya lihat njenengan itu kayaknya orang shalih. Banyak-banyak berdoa saja,” pesan dia sebelum kemudian pamit sama ibu pemilik warung dan dua cewek itu.

Pertama ibuku yang agak ngamuk. Kedua si Rojali bilang ‘siap mental’. Sekarang ada bocah yang aku nggak sempat tanya namanya, alumni sekolah itu, yang nyuruh aku banyak berdoa. Ada apa sih sebenarnya?

Karena makananku sudah habis, es jerukku sudah ludes, aku membayar makanan ke ibu pemilik warung. Aku berencana melaksanakan salat Dzuhur di musala seberang, sebelum melanjutkan perjalanan ke Salatiga. Sepertinya waktu aku akan menyeberang jalan, ibu pemilik warung itu seakan mau bicara sesuatu, tetapi beliau urungkan. 

Jam setengah dua siang, aku lanjutkan perjalanan. Sebelum berangkat, aku BBM si Rojali, setidaknya agar dia tahu kalau aku akan sampai di Salatiga sekitar setengah jam lagi. Kebetulan aku sudah tahu rumahnya, di Perumahan Dliko Indah.

Kebetulan, ketika aku tiba, Rojali juga baru saja memarkirkan mobilnya. Aku parkir motor, lalu bersalaman dengan Rojali.

“Nggak capek? Jauh kan Batang ke sini?” tanya Rojali.

“Nggak kok. Tadi aku sempat istirahat bentar di Ungaran. Kamu sendiri baru balik dari kampus ya?” aku tanya balik.

“Jadwalku ngajar nggak banyak sih hari ini. Lumayan lah, sore ini kita bisa nge-PES bareng,” kata Rojali.

Aku masuk, dan menaruh barangku di kamar yang dia sediakan. Setelah mandi dan berganti pakaian, Rojali sudah menungguku di depan TV. PlayStation sudah dia siapkan, saatnya beradu PES. Sebagaimana dulu sering kami lakukan di masa kuliah.

Lumayan, pertandingan pertama aku berhasil mengerjai Rojali. Kubuat dia merasa unggul, jadi dia sok-sokan membawa maju kipernya. Saat itulah aku luncurkan tendangan jarak jauh, yang pasti masuk ke gawang. Setelah itu aku bantai dia, skor akhir 5-1.

“Sialan kau Mid! Lihat saja nanti aku bantai balik!” ucapnya.

Hingga lima pertandingan, tetap saja aku lebih unggul dari Rojali. Aku tiga kali menang, dia dua kali. Karena waktu sudah sore, kami salat Ashar dulu lalu mengobrol sambil minum kopi. Ruang makan di rumah Rojali ini tidak besar, namun cukup nyaman untuk minum kopi sambil makan singkong goreng.

“Jal, sekolahannya itu nggak jauh dari sini kan?” tanyaku.

“Itu di Jalan Kartini, jadi pertigaan yang kalau lurus ke kampus tempatku ngajar, kau belok kanan, lalu nanti ada perempatan Pasar Jetis kau belok kiri. Kalau kau naik motor, harusnya nggak jauh banget lah,” jawabnya.

“Kira-kira aku perlu nyiapin apa ya buat diwawancara?” tanyaku lagi.

Rojali kemudian tertawa. “Kau ini, dari dulu selalu takut gagal, makanya kau gak lulus-lulus dulu! Santai ajalah! Kayaknya sih kau pasti diterima asal kau bisa ngajar materi SMA, dan lihat pengalamanmu ngajar pas dulu kuliah, lolos lah kau!” ucapnya.

Aku mengernyitkan dahi. “Pasti diterima? Memangnya nggak ada yang daftar lagi, Jal?”

Rojali menghela napas sebentar, lalu bercerita.

“Aku bilang ke kau sekarang, ini ada guru fisika yang mau ambil S2 di universitasku, dan butuh penggantinya. Itu kenapa kontraknya dua tahun. Dia minta tolong aku yang carikan orang, karena kata dia, ini bukan tugas biasa. Aku juga nggak paham maksudnya apa, tapi dia bilang, dia percaya sama kemampuanku cari orang, dan orang yang kuusulkan pasti dia terima. Wawancara hanya formalitas aja. Dan aku kan sudah masukkan namamu ke sana,” begitu cerita Rojali.

Aku mengangguk-ngangguk. “Hoo, begitu. Terus, perkara disediakan tempat tinggal itu, ada info lebih lanjut? Perasaanku nggak enak, soalnya tadi aku ketemu bocah alumni sekolah itu pas istirahat di Ungaran, terus dia kayak kaget gitu tahu aku dapat tempat tinggal juga,”

“Ah, santai aja lah kau! Kayaknya itu rumah dinas jatah dia, soalnya dia kan udah berkeluarga, jadi daripada nggak kepakai, dia kasih ke kau saja,” balas Rojali santai.

Malam itu aku diajak Rojali dan pacarnya makan di KFC. Sebenarnya aku merasa tidak enak, karena aku jadi obat nyamuk mereka. Namun, karena mereka benar-benar memaksa agar aku ikut, dibayari juga, jadilah aku ikut menyaksikan mereka pacaran. Horor sekali itu untuk jomblo kronis seperti aku.

***

Tulisan sebelumnya: Dua Tahun yang Seru [2] Wawancara untuk Jadi Guru Honorer