Perang Irak 2003-2009 sudah usai. Sekitar 150-200 ribu nyawa melayang. Tentara Amerika Serikat kembali ke negaranya. Tapi, siapa menduga efek dan luka perang itu pada jiwa sebagian tentara?
Tom, remaja putri 13 tahun, anak veteran perang Irak itu, mulai menyadari. Ia kini berangkat dewasa. Ia mulai mendengar kisah yang lain, gaya hidup yang juga berbeda. Selama ini, Tom hanya mendengar pandangan dari Ayahnya saja, sang veteran perang Irak.
Tom baru saja menyelesaikan test psikologi. Mentor menyatakan kecerdasannya dan sikap moralnya di atas rata rata remaja satu usia. Tapi dari test itu juga diketahui Tom memiliki kelemahan mendasar.
Ujar sang mentor pada Tom, dirimu bermasalah dengan sosialisasi. Mentor meyakinkan Tom bahwa ia juga membutuhkan teman, dan komunitas. Untuk hidup yang bermakna, ia juga memerlukan lingkungan sosial.
Tom memang tak punya teman sebaya. Bahkan ia tak punya teman. Hanya Ayahnya, veteran perang itu, menjadi satu satunya teman bicara yang mendalam.
Ia tak pernah sekolah resmi. Ayahnya sendiri yang mengajarkannya membaca, berhitung dan filsafat hidup.
Tom dan Ayahnya baru saja ditangkap pihak berwajib. Selepas dari perang Irak, Ayahnya mengajak Tom menyepi dari keramaian. Mereka membuat tenda, hidup di dalam hutan.
Namun hutan yang dipilih masih bagian dari Taman Nasional Oregan. Patroli petugas setempat menemukan Tom dan Ayahnya di hutan itu.
Sudah cukup lama mereka tinggal di hutan itu. Mereka membangun tenda seadanya. Sebulan sekali mereka keluar hutan membeli bahan makanan di grocery terdekat.
“Aku senang tinggal di hutan Ayah,” ujar Tom, ketika mereka memasak telur untuk sarapan. Mereka baru saja latihan berlari, bersembunyi. Sebagai veteran tentara, Ayahnya mengajarkan Tom ilmu khusus. Ujar Ayah “Jangan lupa cara berlari dan sembunyi yang tanpa jejak.” Tom tersenyum karena ia merasa sudah menguasai.
Namun kali itu, Tom alpa. Jejaknya terlihat oleh patroli taman nasional. Merekapun ditangkap dan diikutkan program kembali hidup bermasyarakat.
**
Karena menghargai veteran perang, pemerintah mencarikan tempat hidup yang layak untuk Tom dan Ayah. Ditemukan lokasi dekat hutan. Ayahnya bisa bekerja di sana. Tom juga bisa sekolah.
Kepada Tom pelan pelan dijelaskan oleh agen pemerintah soal kondisi Ayahnya. Kata agen itu, “ Ayahmu menderita PTSD (Post Traumatic Stress Disorder). Ini efek psikologis yang dialami Ayahmu dalam pengalaman perang Irak. “
“Ayahmu memang tidak mati. Tapi ia mengalami stress tingkat tinggi. Tak semua penderita bisa disembuhkan. Efek dari PTSD membuat prilaku dan orientasi Ayahmu tidak nyaman berjumpa orang banyak.
Tom mulai memahami mengapa Ayahnya berbeda dengan Ayah yang lain. Ia memang merasakan cinta Ayah yang mendalam. Ia merasakan betapa Ayah memberi waktu mengasuh dan mendidiknya.
Namun Ayah cenderung menyendiri. Ayah pula yang mengajaknya hidup di hutan.
Di tempat yang baru, Tom mulai berjumpa teman sebaya. Ia menyukai lingkungan itu. Suatu hari ia diajak teman baru untuk ikut semacam pelatihan memelihara kelinci.
Ketika pulang, Tom menceritakan dengan penuh semangat pengalaman baru pada Ayah. Sang Ayah menyimak penuh cinta. Namun sepertinya, Ayah tetap tak nyaman. Tetap dingin dengan kehidupan baru.
Ujar Ayahnya: “Tom, Ayah ikut program ini hanya karena Ayah diancam akan dipisahkan dengan dirimu.”
Ayah memeluk Tom. kepada Ayah, Tom juga berikrar tak ingin dipisahkan dari Ayah.
Di tempat baru, Will, nama Sang Ayah, awalnya juga belajar bersosialisasi. Ia bekerja pada usaha lokal yang juga dekat dengan hutan. Usaha itu menebang pohon pinus untuk dijual salah satunya sebagai pohon perayaan natal.
Awalnya semua baik- baik saja. Namun tak lama kemudian, pohon yang sudah ditebang dan ditata, diangkut oleh helikopter. Suara helikopter itu kembali mengingatkan Will dengan perang Irak. Helikopter itu membangkitkan kembali trauma.
Suatu hari, Will kembali mengajak Tom diam diam meninggalkan rumah itu. Mereka bersiap tinggal di hutan. Tapi hutan yang berbeda. Hutan yang membuat mereka tak lagi tertangkap.
Tom sebenarnya sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan baru. Tapi ia tak ingin berpisah dengan Ayah. Iapun ikut pergi. Mereka kembali hidup di hutan.Namun Tom saat ini, bukan Tom yang dulu. Ia tetap mencintai Ayahnya. Ia tetap tak ingin hidup terpisah dengan Ayah. Ia menyadari Ayahnya sakit. Tapi Tom juga mulai menikmati hidup bermasyarakat.
Tom tetap ikuti kehendak Ayah. Hingga satu ketika Ayahnya menghilang. Tom sangat khawatir semalaman. Esok pagi, pagi sekali, dicarinya Ayah.
Di pinggir sungai, sang Ayah pingsan. Tom teriak kencang sekali. Ia berlari ke kiri dan ke kanan mencari pertolongan. Sebuah kebetulan, ia bertemu dengan penduduk lokal. Nyawa Ayah bisa diselamatkan.
Mereka dibawa untuk bermukim sementara di kampung terdekat. Di sana kembali Tom bersosialisasi. Ia juga belajar berternak lebah untuk mendapatkan madu. Tom kini punya penghasilan.
Ia menyewa Van yang menjadi rumah kecil. “Ayah, ujar Tom, “aku sekarang bisa menjaga Ayah. Aku punya uang. Kita tak usah lagi tinggal di hutan.” Ujar Tom, “penduduk di sini baik pada kita.”
Tapi suasana batin sang Ayah tak kunjung beda. Ia tetap ingin kesunyian. Ia tak ingin jumpa manusia lain.
Kembali ia mengajak Tom pergi untuk hidup di hutan. Pagi sekali mereka berdua kembali masuk hutan.
Namun Sebelum masuk ke hutan terlalu dalam, Tom berhenti dan mengajak Ayah berbicara. Ujar Tom, “Ayah, sesuatu yang salah pada Ayah, belum tentu juga salah padaku.”
Ayah dan Tom saling menatap lama. Penuh cinta. Penuh pengertian. Tom menyadari. Ia tak mungkin menyetop Ayah yang tak kunjung sembuh untuk hidup dalam kesunyian di hutan. Ayah juga menyadari Tom mulai dewasa dan memiliki hidupnya sendiri.
Ayah dan Tom berpelukan dan menitik air mata. Agaknya waktu berpisah telah tiba. Keduanya harus menempuh jalan yang berbeda. Ayah terus masuk hutan. Tom kembali ke rumah yang sudah ia sewa.
Apa daya. Tom harus berpisah dengan Ayah. Luka perang dalam jiwa Ayah masih menganga. Perang memang sudah usai. Tapi siapa yang bisa menduga, luka yang menganga dalam jiwa seorang veteran perang?
Juni 2019
***
Resensi Film "Leave No Trace", 2018
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews