Kabar Gembira dari Milenial Indonesia

Kita boleh tidak suka selera musiknya. Gaya tengik ngerap dan bahasa tubuhnya. Dan barangkali bagi yang masih suka rasis, latar belakang etnisnya. Tapi ia tetaplah seorang duta Indonesia.

Selasa, 5 Mei 2020 | 20:19 WIB
0
412
Kabar Gembira dari Milenial Indonesia
Brian Rich (Foto: liputan6.com)

Di tengah suasana hati yang buruk beberapa hari terakhir ini, saya cukup terhibur ketika tak sengaja menemukan sebuah video clip gress dari seorang yang sebelumnya saya pikir seorang ABG yang sok cool, sok asyik. Maklum, selain musik yang ditawarkan model rap negro zaman sekarang yang saya pikir terlalu banyak berisi kata-kata kotor dan sarkas.

Saya gak begitu sreg melihat (maaf) tampangnya yang saya pikir ngehek banget itu. Mana ada sih generasi baby boomer kayak kita ini, yang bisa langsung suka dengan gaya anak-anak milineal saat ini.

Nggriseni kata orang Jawa. Puncak perasaan itu, ketika beberapa anak muda yang diangkat sebagai stafsus presiden tiba-tiba tak lebih kucing garong muda. Penerus semangat KKN gaya baru atau oligarkis generasi terbaru. Yang bagaimana pun membuat kita selalu nyinyir pada generasi ini.

Sampai saya melihat video clip si Brian Rich ini...

Ia anak Jakarta asli, kelahiran 1990. Blasteran Tionghoa-Menado. Nama aslinya Brian Imanuel Soewarno. Sejak sudah usia 11 tahun ia tegila-gila pada musik rap. Di usa 17 tahun bahkan sudah berani memproduseri sendiri single-nya. Di beberapa video-clip yang saya lihat, ia sangat evolutif dari bertampang China Glodok, yang tidak eye-chatching tapi bergerak terus sehingga makin acceptable dan keren.

Kok bisa? Inilah yang dalam bahasa Jawa disebut "nututi pantes". Popularitas itu juga bisa membuat seseorang itu makin adaptable terhadap perubahan yang dibutuhkannya. Dalam konteks Si Brian ini musiknya makin kaya, tak lagi sengehek pada awalnya. Dan terutama di usia semuda ini, sudah bertarung di tingkat global dan bermain di tingkat gagasan.

Mungkin ini bedanya dia dengan Agnez Monica, yang saya pikir sudah melakukan "segala cara", tapi kalau dibandingkan si anak baru gede ini jadi kelihatan ketinggalan jauh. Walau sama-sama menggganti namanya untuk keperluan pasar, namun Si Brian ini sama sekali tak butuh sensualitas. Apalagi gimmick-gimmick entertainment yang tak jauh-jauh dari gosip dari satu pelukan pasangan ke pasangan yang lainnya.

Dalam kasus Agnez Mo, puncaknya agak memalukan. Ketika ia jatuh melet-melet dalam beberapa video clip di tangan rapper-rapper negro yang buat saya membuatnya "sama sekali bukan Indonesia banget". Cilaka memang kalau sudah berada pusaran dunia gosip. Kadang sensasinya melampaui capaian prestasi musikalitasnya.

Tak heran, bila ia harus terjebak pada hal-hal tak perlu seperti saat ia mempersoalkan darah ke-Indonesia-an. Bisa dipahami rasa frustasinya itu.

Kembali ke Brian, sejak awal ia mengubah namanya dari Riach Chigga ke Brian Rich. Chigga sendiri diakuinya sedkit bermakna rasis, sesuatu yang dia pikir tidak bijak bila harus terus digunakan saat ia harus masuk dalam pergaulan dengan pemilik asli genre musik ini, komunitas Afro-Amerika. Menunjukkan bahwa di luar ia cukup memiliki IQ juga EQ yang layak jad bekal. Menunjukkan selain ia kaya gagasan juga keberanian. Beal untuk nekad sejak usia muda sudah merantau ke Amerika untuk berkumpul dengan komunitas rap di sana. Negro, Latin, Anglo, apa pun...

Tapi single-clip terbaru-nya tetaplah membuat saya terngaga kagum. Judulnya memang "Bali", walau gak ada kaitannya sama sekali dengan isi video clip-nya. Mungkin ia hanya ingin menyampaikan dari mana ia berasal. Jangan lupa kosa kata Bali lebih populer dari Indonesia di dunia global. Namun tetap saja, bagian paling menyentuh. Justru pada situasi keterjebakannya di masa pandemic Covid-19 ini, ketika ia tak bisa kemana-mana.

Bagaimana ia justru berkarya dengan ide-ide segar yang kekinian sekali. Berinisiatif dan berbuat saling berbagi di suasana stay at home. Bagaimana ia saling berbagi kebahagiaan, barang, dan terutama saling berdonasi. Dengan teman-temannya yang berada di lingkungan terdekat tempat tinggalnya. Mengumpulkan donasi untuk dibagikan kepada mereka yang membutukan. Atau terutama seperti sekarang yang lagi trend membantu para tenaga kesehatan yang dianggap sebagai garda terdepan mengatasi pandemic ini.

Dan ia memilih menggunakan drone sebagai sarana verbalnya itu. Sesuatu yang di Indonesia ini masih dipakai lucu-lucuan. Sekedar untuk mengintip orang lagi mandi di kali. Secara kreatif, ia menghias drone dengan gambar-gambar lucu ala anak milenial. Ia ingin menunjukkan (dan barangkali) menularkan semangat berbagi yang menjadi ciri-khas gotong royong masyarakat Indonesia.

Dan di clip ini, bagaimana publik yang dibantunya mengucapkan terimaksih kepada Indonesia. Ini mungkin gaya baru sikap nasionalisme anak milenial. Dengan tetap bermasker (juga bersarung tangan), menyemprotkan des-infektan pada barang yang dikirim atau yang diterima. Luar biasa gagasannya, dan tentu saja pesan dan teladan yang diberikannya. How come....

Bagi saya ini berita baik. Kita boleh tidak suka dengan selera musiknya. Gaya tengik ngerap dan bahasa tubuhnya. Dan barangkali bagi yang masih suka rasis, latar belakang etnisnya. Tapi ia tetaplah seorang duta Indonesia. Yang saya pikir tidak akan pernah butuh dukungan pemerintah atau kehadiran negara. Ia saya pikir adalah sebagian jawaban dari generasi mileneal Indonesia di masa depan .

Kuncinya semoga tidak sekali-kali berdekatan dengan politik. Di luar non-sens dan omong kosong. Sekali kamu masuk didalamnya, politik itu akan membunuhmu. Tidak hanya sekali tapi berkali-kali!

***