Cerpen | Calo Tenaga Kerja Wanita

Ada sebuah baju berwarna kuning di pojok dekat lemari, baju itu bergambar seorang kepala daerah dari partai berlambang beringin. Ia seakan menatap dari dalam kegelapan.

Kamis, 11 Juni 2020 | 22:10 WIB
0
861
Cerpen | Calo Tenaga Kerja Wanita
Ilustrasi: Kematian TKW asal NTT

Setelah dua tahun perburuan yang hampir mustahil berhasil, polisi akhirnya mengendus keberadaan Tanta Mince, Calo paling dicari yang telah merekrut 31 perempuan menjadi Tenaga Kerja Wanita. 12 orang diantaranya berumur 26 tahun keatas. Selebihnya adalah anak-anak dibawah umur.

Tanta Mince merekrut dengan sadis, sekaligus unik. Semua anak di iming-imingi janji akan kehidupan yang lebih baik terlebih dahulu. Ia tahu bahwa cara paling ampuh menipu orang-orang miskin adalah dengan menjual mimpi. Biasanya, setelah anak-anak tersebut bersedia, ia akan mendekati para orang tua. Caranya mudah. Cukup memberi uang "sirih-pinang" sebanyak satu juta rupiah untuk setiap orang tua. Menyodorkan uang sekaligus berjanji mempekerjakan dengan gaji yang menjanjikan memang sulit membuat siapa pun menolaknya.

Tanta Mince sebetulnya bukan orang jahat. Ia orang baik. Hanya saja ia tak berpendidikan. Sebab itulah, ia tak tahu bahwa merekrut orang dengan cara seperti itu dilarang oleh pemerintah. Yang ia tahu selama ini adalah mengajak orang untuk bekerja dan mengeluarkan orang dari jeratan kemiskinan adalah pekerjaan mulia.

Dulunya, ia adalah ibu rumah tangga. Ia juga sama seperti perempuan pada umumnya. Tapi semua itu berubah sejak suaminya mulai sakit-sakitan sejak 4 tahun lalu. Sejak saat itu, ia menggantikan posisi suaminya sebagai tulang punggung keluarga. Setiap pagi, ia sudah berangkat ke kebun untuk mengurus tanamannya. Dan ia akan pulang pada pukul 11. Alasan ia pulang pada jam seperti itu adalah untuk mengurus suaminya.

Sekali dalam seminggu, ia akan berangkat ke pasar untuk menjual hasil kebunnya. Kadang ia menjual ubi kayu. Bunga pepaya. Pisang. Kadang ayam peliharaannya pun akan ia jual. Pokoknya apa saja yang bisa dijual untuk menyambung hidup dan mengobati suaminya akan ia lakukan. Ia memang perempuan yang terkenal ulet. Ia mau bekerja apa saja. Semua pekerjaan sudah pernah ia coba. Mulai dari petani, penjual sayur, penjaga toko, pelayan warung, penjual pinang. Pendeknya, setiap hari ia membanting tulang, tapi tetap saja miskin. Ia kadang berpikir bahwa ia mungkin telah dikutuk jadi orang miskin. Ayahnya miskin, kakeknya yang miskin, ayah dari kakeknya juga miskin, kakek dari kakeknya juga miskin. Begitu terus.

Sudah bekerja keras tapi tetap saja miskin itulah yang membuatnya pernah mendatangi seorang "Tim Doa" yang katanya memiliki penglihatan. Ia berharap dengan mengunjungi orang itu, nasipnya bisa berubah. Tapi kata orang tersebut sungguh membuatnya kaget bukan main. Kata orang itu, ia memang telah ditakdirkan menjadi orang miskin. Orang itu bahkan menyuruhnya agar bersyukur menjadi orang miskin. Sejak saat itu ia pasrah menjalani hidup dalam jeratan kemiskinan.


Dirumah, mereka hanya hidup berdua. Hanya ia dan suaminya. Mereka belum memiliki anak. Usia penikahan mereka pun masih seumur jagung. Baru 4 tahun 2 bulan. Satu tahun seusai mereka menikah, suaminya mulai sakit-sakit. Ia kadang berpikir, Tuhan memang pilih kasih.

***

Dua minggu terakhir, ia tak bisa lagi mengurus kebunnya. Masalahnya, tanah yang selama ia jadikan sebagai kebun telah dicaplok oleh pemerintah. Ia tak punya pilihan untuk melawan. Ia sadar bahwa perempuan miskin yang tak berpendidikan tak bisa melawan apa kata pemerintah. Melawan adalah membuang-buang waktu. Sia-sia. Ia hanya pasrah.


Suatu hari, seusai memberi makan suaminya yang terbaring lemah di tempat tidur. Ia mendengar seseorang memanggilnya di depan rumahnya. Saat keluar, ia melihat Safira, teman SMP-nya dulu. Mereka lalu bercerita banyak hal. Safira bercerita kalau ia baru seminggu dikampung. Sebelumnya ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia. Sesekali Safira menunjukan beberapa Foto saat ia berpose di beberapa Mall di Malaysia. Mince hanya mendengar. Ia tak punya cerita sebagus temannya. Jika ditanya, ia hanya bercerita perihal kehidupan keluarganya yang hidup dalam kemiskinan. Sesekali ia menarik nafas panjang. Mengeluh.

Mendengar cerita penuh kesedihan itulah, Safira akhirnya menawari Mince untuk bekerja sebagai calo untuk merekrut perempuan-perempuan yang ingin bekerja di Malaysia. Gajinya dihitung per kepala. Jika ia berhasil mengajak satu orang, ia akan dibayar 3 juta rupiah. Mendengar hal itu, Mince pun sepakat. Ia tak punya pilihan lain.

Dua bulan semenjak pertemuannya itu, Mince berhasil mengajak 31 orang perempuan yang bernasip sama sepertinya. Miskin. Ia lalu menelpon Safira, tapi saat itu, Safira sudah kembali ke Malaysia. Safira lalu menghubungi seorang laki-laki yang bekerja disalah satu agen yang bertugas menampung perempuan-perempuan yang ingin bekerja ke luar negri.

Seminggu kemudian, lelaki itu menelpon Mince untuk mengantarkan perempuan-perempuan itu ke Kupang. Mince lalu berangkat bersama perempuan-perempuan tersebut. Ia lalu dibayar sesuai kesepakatan.

Sejak saat itu, Mince bekerja lebih giat untuk mengajak siap pun yang ingin bekerja diluar negri. Banyak orang dikampung berterima kasih kepadanya karna telah mencari pekerjaan buat perempuan-perempuan yang selama ini hidup dalam jeratan kemuskinan. Beberapa orang dikampung berkata bahwa Mince lebih baik dari para kepala daerah yang tak mampu menyiapkan lapangan pekerjaan di daerah.

Tapi hal itu hanya berlangsung selama 2 tahun. Memasuki tahun ke tiga, berbagai surat kabar dan radio mengabarkan perihal Tenaga Kerja Wanita yang pulang tanpa nyawa. Beberapa diantaranya adalah perempuan-perempuan yang di rekrut oleh Mince. Ia lalu menjadi buronan nomer satu di Provinsi itu.

Semua mayat yang dikirim dalam keadaan rusak. Ada bekas jahitan dibagian dada dan perut. Sepintas kelihatan utuh, tapi sesunggunya keropos. Entah dengan cara bagaimana mayat-mayat ini dibuat. Tapi tubuh-tubuh itu seperti kau mengerut alpukat dengan sendok.

Daging dan tali perut dari setiap mayat itu dikeluarkan dari tubuh para korbannya kemudian diganti dengan kapas, persis seperti bila kau membuat boneka.

Bisa kau bayangkan, tubuh para mayat itu tetap terlihat utuh, tapi sudah tak berdaging, karena menjadi semacam boneka –yang dirias dengan cantik—kemudian dikirim ke dengan pesawat. Banyak orang tua menangis saat melihat anak-anak mereka pulang tanpa nyawa.

Seorang informan memberi tahu perihal rumah Mince di pinggir kota yang berdinding bebak. Sepasukan polisi segera mengepung rumah itu pada malam hari. Tak ada celah secuil pun bagi Mince untuk melarikan diri. Penggerebekan berlangsung sangat cepat. Di dalam rumah ditemukan daftar nama anak-anak yang sudah dan akan direkrut, juga berkarung-karung kapas. Tak ada perlawanan, karena polisi menemukan tubuh Mince dan suaminya tergeletak di kasur  tak bernyawa. Tubuh Mince dan suaminya pun tak berdaging. Hanya berisi kapas.

Ada sebuah baju berwarna kuning di pojok dekat lemari, baju itu bergambar seorang kepala daerah dari partai berlambang beringin. Ia seakan menatap dari dalam kegelapan. Ketika akhirnya para polisi pergi, wajah itu menyeringai. Tak seorang polisi pun melihatnya.

***
Rumah biru, Juni 2020.

Honing Alvianto Bana. Lahir di Soe - Nusa Tenggara Timur. Suka bertani dan beternak. Ia juga suka melamun.