Omong Kosong Bisa Selesaikan Persoalan Ekonomi Selama 3 Tahun!

Ketika inflasi sudah cukup tinggi, cepat atau lambat akan diatasi dengan menaikkan tingkat bunga FFR.

Senin, 15 April 2019 | 22:09 WIB
0
224
Omong Kosong Bisa Selesaikan Persoalan Ekonomi Selama 3 Tahun!
Ilustrasi ekonomi Indonesia (Foto: Kompas.com)

Berbagai lembaga investasi dan riset bisnis memprediksi ekonomi Amerika Serikat pada Q1 2019 tumbuh antara 1,5% hingga 2,8%, dengan perkiraan yang disepakati pada level 2,2%. Angka tersebut jauh di bawah pertumbuhan ekonomi tahun 2018 yang mencapai 2,9%.

Sementara pertumbuhan ekonomi China, berdasarkan rilis resmi dari pemerintah, diperkirakan tumbuh antara 6% hingga 6,4% pada Q1 2019. Angka itu juga di bawah pertumbuhan ekonomi Q1 tahun 2018 yang mencapai 6,8%. 

Menyikapi prediksi pertumbuhan ekonomi dua negara utama tujuan ekspor RI tersebut, Bank Indonesia seperti disampaikan Gubernur BI, Perry Warjiyo, merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Q1 2019, dari rentang 5,1% - 5,5% menjadi 5,0% - 5,4%, dengan angka disepakati 5,2%.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi di dua raksasa ekonomi dunia itu, harus disikapi Pemerintah dengan kebijakan pemanfaatan pasar domestik yang lebih efektif, serta peningkatan kapasitas produksi dan investasi baru. 

Kalaupun ada faktor yang akan memberikan tambahan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional di masa depan, itu adalah banyaknya proyek infrastruktur baru yang sudah diselesaikan, dan pasti akan menjadi pengungkit tumbuhnya ekonomi produktif di wilayah-wilayah di mana infrastruktur itu dibangun.

Sebagai catatan, di antara negara besar G-20, Indonesia adalah satu dari empat negara dengan pertumbuhan ekonomi di atas 5%, selain China, India, dan Turki.

Portofolio perdagangan Indonesia - Amerika Serikat pada tahun 2018 mencapai 15% dari nilai total perdagangan internasional RI. Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat, naik maupun turun trend-nya, membawa risiko dan tantangan bagi negara berkembang seperti Indonesia.

Jika turun, maka pasti akan menurunkan demand atas produk impor (termasuk dari Indonesia). Jika naik, demandnya juga naik, akan tetapi cepat atau lambat akan mendongkrak tingkat inflasi.

Ketika inflasi sudah cukup tinggi, cepat atau lambat akan diatasi dengan menaikkan tingkat bunga FFR. Efek dominonya, diikuti dengan kenaikan yield (bunga) surat utang, maka US$ dari seluruh dunia akan kembali ‘mudik’, nilai tukar mata uang dunia (termasuk Rupiah) rontok lagi dan defisit transaksi berjalan terancam meningkat.

Bagi Indonesia, selain mengoptimalkan pemanfaatan pasar domestik, untuk menjaga agar produk ekspor RI tetap bisa masuk pasar Amerika, ketika pertumbuhan ekonomi Amerika naik atau turun, adalah meningkatkan daya saing ekspor dalam kualitas dan harga. Opsi lainnya adalah mencari pasar ekspor baru di berbagai kawasan pertumbuhan. Ini pekerjaan, sulitnya setengah mati, dan kalau dikerjakan perlu waktu yang cukup lama. 

Sampai di sini saya jadi bingung ketika ada calon pemimpin yang berani berjanji mampu menyelesaikan persoalan ekonomi kurang dari tiga tahun (lebih cepat dari Nabi Yusuf yang perlu waktu tujuh tahun).

Kepada para petani dia berjanji agar harga komoditas pertanian naik hingga para petani lebih sejahtera. Pada waktu yang sama juga dia berjanji, harga-harga kebutuhan pokok, termasuk listrik dan BBM, menjadi lebih murah. Satu-satunya kemungkinan adalah kebijakan subsidi.

Tapi pertanyaan besarnya: duitnya dari mana? Dari nenek lo?!

***