Ayo Indonesia, Kamu Bisa!

Padahal dunia sedang berubah. Berjalan tidak seperti biasanya lagi. Kalau kitanya masih menggunakan cara mikir lama, kita akan tersingkir dalam putaran yang semakin memusingkan ini.

Rabu, 10 Juni 2020 | 06:13 WIB
0
183
Ayo Indonesia, Kamu Bisa!
Industri otomotif (Foto: Facebook/Eko Kuntadhi)

Kalau saya jadi pengusaha, punya pabrik besar, dengan karyawan bejibun. Kayaknya hari-hari belakangan ini saya seperti duduk di bawa api. Panasnya minta ampun.

Jika saya mau membuka pabrik lagi, pekerja masuk seperti biasa. Pabrik saya beresiko tinggi. Setidaknya kalau gak hati-hati dan ada salah satu pekerja yang terpapar virus, saya harus menghentikan semua produksi. Ketimbang semua orang di pabrik terkena dampaknya.

Kalau saya gak buka sama sekali, sama saja bodong. Beban gaji karyawan gak bisa berhenti.

Paling yang bisa dilakukan adalah mempekerjakan separuh kapasitas. Yang tadinya tiga shift, paling hanya satu sift saja. Yang penting muter dulu.

Persoalan lainnya, ketika barang sudah dihasilkan, apakah sudah ada pembelinya? Kalau produksi saya orientasi ekspor, pasti masih susah menjual barang produksi. Negara-negara lain juga lagi kena masalah serupa.

Jika produk saya untuk dalam negeri, gak jauh beda. Bukannya barang saya gak laku, tetapi daya beli masyarakat jauh menurun. Walhasil saya harus mengecilkan kapasitas pabrik saya.

Dan ini bukan dialami saya saja. Sebagian besar pengusaha juga mengalami hal yang sama. Di seluruh dunia.

China adalah contoh nyata. Sehabis Corona mereda, mereka mulai berproduksi lagi. Nyatanya hasil produksinya gak langsung disrap pasar. Pembelinya masih belum ada. Artinya berjalan lagi sektor produksi tidak otomatis langsung menggerakkan ekonomi. Sebab daya beli masyarakatnya belum bangkit.

Demikian juga daya beli masyarakat dunia pada umumnya.

Apalagi jika saya berbisnis di sektor hiburan dan wisata. Kayaknya orang masih ragu untuk pelesiran deh. Jangan pelesiran, wong umroh dan haji saja belum bisa jalan normal. Jika saya bermain di sektor ini, otomatis saya harus berani mengambil langkah tegas, mengurangi beban. Dengan kata lain : PHK.

Walhasil, jika para pengusaha mau berinvestasi lagi nantinya, mereka akan lebih memprioritaskan memaksimalkan penggunaan mesin yang bisa menggantikan tenaga manusia. Mesin gak rewel. Gak akan tertular penyakit. Gak harus digaji kalau dihentikan kerjanya.

Dan gak usah masuk serikat yang suka demo. Kadang ulah serikat pekerja ini juga yang membuat pengusaha tambah bulat tekadnya untuk mengganti teknologi yang semakin sedikit mempekerjakan manusia.

Persaingan kerja manusia dan robot --kita tahu-- pada akhirnya akan dimenangkan robot. Perkembangan teknologi dengan artifisial intelejen di dalamnya, akan mendorong para buruh dan pekerja berada dalam posisi sulit. Mereka bukan saja harus bersaing dengan sesama pencari kerja. Tetapi juga harus bersaing dengan kemajuan teknologi.

Jika pabrik-pabrik besar mengurangi jumlah pekerjanya, otomatis kesejahteraan tidak akan menetes ke masyarakat seperti sebelumnya. Orang yang kehilangan pekerjaan tidak punya penghasilan. Tidak punya daya beli. Ujungnya ekonomi secara keseluruhan gak berputar lancar.

Padahal Indonesia sedang memasuki bonus demografi. Jumlah orang mudanya banyak banget. Mereka adalah tenaga kerja produktif yang harus dipikirkan dimana akan ditampung. Mereka dipaksa keadaan bersaing dengan mesin dan sesama pencari kerja.

Alhamdulillah, ekonomi kita tidak semuanya ditunjang oleh sektor formal seperti di negara maju. Usaha-usaha kecil yang kesanggupannya untuk membeli mesin canggih belum ada, mau tidak mau harus mempekerjakan orang. Sektor inilah yang bisa menyerap limpahan tenaga kerja. Dan secara agregat akan mendorong roda ekonomi kita.

Bersyukur juga mencari nafkah di Indonesia tidak seribet di negara maju. Saat gelombang PHK melanda, korbannya tidak otomatis kehilangan seluruh mata pencariannya. Mereka masih bisa bergerak di sektor ini. Jualan di pinggir jalan. Bikin produk yang dijajakan online. Masak makanan dijual online.

Dan untuk melakukan itu gak perlu sertifkat atau lisence macem-macem. Asal mau saja, gak mungkin nganggur. Ada banyak alternatif income yang masih bisa diusahakan di Indonesia.

Berbeda dengan di negara maju. Mau bikin warung makan, harus ada lisence. Mau jadi tukang ledeng, harus ada sertifikat. Mau jadi kapster salon harus punya ijasah. Repot. Makanya PHK bagi penduduk di AS atau Eropa sama saja neraka. Mereka gak gampang mencari pendapatan alternatif seperti di Indonesia.

Pemerintah sadar dengan kondisi ini. Makanya usaha mempermudah membuka usaha, khususnya usaha kecil, sedang terus diperbaiki. Kemudahan membuat badan usaha seperti PT, misalnya, mestinya tidak seribet dulu lagi.

RUU Cipta Kerja berusaha memangkas segala keribetan itu.

Setelah pendemi ini kita tidak bisa lagi menggunakan kacamata lama. Banyak yang berubah di dunia. Cara hidup dan cara berfikirpun berubah.

Presiden Jokowi sedang membawa Indonesia ke arah perubahan itu. Kadang kita terkaget-kaget dengan keberaniannya mengambil keputusan. Birokrasi yang biasanya lambat terlihat ngos-ngosan. Para politisi yang sibuk menggoreng isu ini-itu, mengambil kesempatan ini untuk menghadang.

Sebab pada hakekatnya perubahan selalu membawa kekagetan. Dan para politisi ngehek sedang memanfaatkan kekagetan itu untuk memprovokasi masyarakat. Apalagi yang menggunakan isu agama yang sejak jaman rekiplik, itu-itu saja yang dibahas. Isu yang dibawa politisi yang jualan agama, cuma isu lama. Yang terus didaur ulang dari masa ke masa. Demikian juga isu PKI bangkit. Itu cuma jualan sisa-sisa rezim Orde Baru yang ngebet bangkit lagi.

Apa yang mereka tawarkan gak ada manfaatnya bagi kemajuan bangsa. Malah akan menarik kita berjalan mundur.

Padahal dunia sedang berubah. Berjalan tidak seperti biasanya lagi. Kalau kitanya masih menggunakan cara mikir lama, kita akan tersingkir dalam putaran yang semakin memusingkan ini.

Dan hanya mereka yang mampu beradaptasi cepat saja yang akan survive.

"Mas, saya sih gak khawatir minyak telon gak laku. Akan banyak bayi yang lahir. Apalagi sekarang poligami sedang dikampanyekan. Dari satu pejantan akan menghasilkan banyak keturunan," ujar Abu Kumkum.

Teman saya ini memang pengusaha yang selalu optimis!

Eko Kuntadhi

***