Dari Semesta untuk UMKM

Banyak produk sanitasi yang bisa diproduksi oleh UMKM. Karena memang tidak memerlukan teknologi dan mesin canggih.

Rabu, 1 April 2020 | 07:13 WIB
0
174
Dari Semesta untuk UMKM
Karya UMKM untuk atasi corona (Foto: facebook/Yus Husni Thamrin)

Pesan semesta yang disampaikan semesta melalui wabah Covid-19 adalah, perlakukan alam sebagaimana wajarnya, makanlah apa yang sewarnya dimakan, dan budayakanlah hidup bersih sebagaimana mestinya manusia sebagai mahluk berakal. Pesan itu diterima, dan dengan sangat terpaksa dilaksanakan.

Ternyata tidak perlu lama, dalam waktu kurang dari lima bulan, berbagai publikasi muncul, ada perbaikan kualitas lingkungan hidup: emisi gas buang jauh berkurang, air sungai dan air laut di sekitar kota-kota besar menjadi lebih bersih, bahkan citra satelit menunjukkan lubang ozone di Kutub Utara yang selama ini menganga lebar, kini sudah mulai mengecil. Syukurlah.

Dari segi perilaku manusia, ada perubahan yang signifikan: ada pergerakan pola hidup menjadi lebih bersih, manusia menjadi lebih peduli dengan manusia lain, ada peningkatan minat baca di masyarakat sehingga wawasan tentang sanitasi menjadi lebih luas (mereka menjadi familiar dengan istilah pathogen, droplet, airborne, carrier, karantina mandiri, social distancing, lockdown, dll.). Apakah perbaikan itu muncul karena kesadaran atau keterpaksaan? Gak penting, tapi faktanya begitu.

Dari sisi ekonomi, pandemi Covid-19 ini jelas memukul ekonomi global. Aktivitas ekonomi berkurang hampir 50% yang identik dengan kerugian besar yang diderita oleh seluruh perusahaan di dunia. Itu memicu rontoknya harga saham di semua bursa dunia, termasuk Indonesia. Uang-uang dari bursa yang dipegang investor asing, sebelum flight ke luar negeri, dikonversi dulu ke hard currency (US$, Euro, Yen, Yuan, dll.) maka tertekanlah Rupiah hingga di atas Rp16.000 per US$.

Sekarang, semua negara berkonsentrasi bagaimana menyelamatkan kelangsungan hidup rakyatnya, dari ancaman Covid-19 dan dari ancaman terhentinya kegiatan ekonomi, termasuk Indonesia. Sebenarnya, alat-alat dan fasilitas sanitasi warga sudah bisa diproduksi oleh unit-unit usaha UMKM. Jika ini yang berjalan, maka dua usaha Pemerintah langsung tercapai, meningkatkan kebersihan dan kesehatan publik untuk memutus penyebaran Covid-19, sekaligus menciptakan kue ekonomi kecil buat UMKM, serta menyerap tenaga kerja informal.

Pembuatan masker, cairan sanitizer, baju, helm, sepatu, sarung tangan, dan fasilitas sanitasi untuk di ruang publik (wastafel portable, ruang penyemprot sanitani), dll., sudah bisa dibuat oleh UMKM Indonesia, setidaknya melibatkan UMKM.

Ke depan, produk-produk alat kebersihan dan sanitasi tersebut akan menjadi kebutuhan masyarakat. Ke depan, budaya hidup bersih masyarakat Indonesia akan terus meningkat. Artinya, produk-produk tersebut tetap punya pangsa pasar, meskipun Covid-19 sudah berlalu.

Selama ini, yang banyak memproduksi alat-alat semacam itu adalah perusahaan besar, bahkan perusahaan asing. It’s oke, itu untuk pasar ekspor. Sementara untuk pasar domestik, bisa dipenuhi oleh produk-produk yang dihasilkan oleh UMKM.

Hanya saja, di tengah situasi sulit saat ini, kerakusan kaum rent seeker tidak berkurang. Mereka menimbum, mengambil rente (margin) dengan gak kira-kira. Bukan hanya masker atau cairan sanitasi, wastafel portable atau ruang semprot sanitasi pun diborong, lalu dijual dengan harga yang tidak rasional, tanpa empati. Ini gila.

Sekarang, secara masif pemerintah dan juga swasta mengalokasikan dana untuk pengadaan alat-alat dan fasilitas sanitasi dalam rangka meningkatkan daya tahan kesehatan masyarakat.

Baca Juga: Drama Coronavirus Gubernur

Tercatat, untuk mengatasi penyebaran Covid-19 dan dampaknya, Pemerintah Pusat menganggarkan Rp405 triliun, Pemprov Jabar sebesar Rp500 miliar, Pemprov Jateng Rp134 miliar, Pemprov Jatim Rp252 miliar, Pemprov Maluku Rp100 miliar, Pemprov NTT Rp60 miliar, dan Pemprov DKI Jakarta sebesar Rp54.000.000.000. Sementara kalangan pengusaha yang tergabung dalam Yayasan Budha Tzu Chi mendonasikan Rp500 miliar. Juga tidak ketinggalan produsen kosmetik Wardah, menyumbang sebesar Rp40 miliar.

Agar dana-dana itu bisa menghasilkan kemafaatan yang maksimal, seyogyanya pemerintah mengkoordinir sekaligus mengawasi (bila perlu libatkan KPK) pengalokasiannya, dan proses pengadaan barang-barang tersebut. Pemesanan barang harus dilakukan langsung ke unit-unit UMKM, tanpa perantara. Ini akan sangat efektif untuk meningkatkan ketahanan warga dari sisi kesehatan, juga menjaga roda ekonomi lapisan bawah tetap berputar.

Untuk satu produk wastafel portabel atau kamar sanitasi produk UMKM misalnya, dijual dengan harga normal Rp8,5 juta per unit (ini sudah termasuk margin). Tapi apa yang terjadi? Produk-produk ini diborong oleh para pemburu rente, lalu dijual lagi dengan harga Rp18 juta per unit. Siapa yang beli? Pemerintah. Sebenarnya, bagi UMKM siapapun yang beli sama saja. Tapi ini perampokan di tengah bencana, sangat tidak sehat.

Ingat, jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 274 juta jiwa. Sehingga kebutuhan alat-alat dan fasilitas sanitasi di Indonesia sangat besar. Lebih dari 10 item produk atau alat sanitasi yang bisa diproduksi oleh UMKM. Dengan jumlah tenaga kerja 25 orang, satu UMKM mampu memproduksi 10 unit wastafel portable atau bilik sanitasi dalam waktu seminggu. Jadi, untuk pengadaan satu produk saja, sudah bisa menciptakan jutaan lapangan kerja baru di seluruh Indonesia. Itu baru satu item produk.

Artinya, begitu banyak lapangan kerja yang bisa diciptakan dengan memberdayakan UMKM, termasuk di tengah situasi buruk saat ini. Saat ini, UMKM menyerap lebih dari 90% tenaga kerja Indonesia. Sehingga, dengan memberdayakan UMKM, maka dengan sendirinya sebagian besar masalah-masalah sosial sudah teratasi.

Sekali lagi, banyak produk sanitasi yang bisa diproduksi oleh UMKM. Karena memang tidak memerlukan teknologi dan mesin canggih. Tinggal bagaimana Pemerintah memfasilitasinya, membuka akses terhadap produsen bahan bakunya, terhadap lembaga keuangan, memberikan asistensi soal pemasaran, soal standar safetywork, dan ketika Pemerintah menjadi ‘konsumen’, hendaknya lebih mengutamakan produk UMKM.

***