Di Indonesia, orang yang punya pesawat pribadi mungkin lebih dari 50 orang. Jadi kalo kebanyakan media umumnya cuma tahu 5-7 orang, namanya itu-itu juga.
Kemarin saya posting foto check in dan masuk private jet (Embraer Legacy-600). Sumpah... pesawat itu bukan punya saya.
Foto-foto itu saya posting untuk menjelaskan sedikit tentang orang kaya, sekaligus ikut-ikutan trend: jalan-jalan naik private jet kayak seorang politikus.
Sebenarnya itu postingan lama, sekitar tahun 2008-2009. Sekarang postingan itu sudah saya hapus.
Sebagai jurnalis, beberapa kali saya berkesempatan naik private jet, ikut bersama nara sumber.
Kesimpulannya, mereka yang biasa menggunakan pesawat pribadi adalah orang-orang yang bermasalah. Bermasalah soal apa? Dalam banyak hal.
Pada tahun 1996, saya diajak oleh seorang pengusaha yang juga petinggi parpol berkuasa saat itu, dari Jakarta ke Manado. Tujuannya, temu kader (ini term Harmoko banget). Selama penerbangan, para petinggi parpol itu ngobrol kesana kemari, sesekali bertelepon dengan orang di Manado.
Dari percakapan yang kedenger, ternyata ‘pesawat pribadi’ itu juga dipakai untuk mendongkrak kekaguman dan trust publik terhadap Sang Tokoh. “Tolong diumumkan, Pak Anu datang menggunakan pesawat pribadi.”
Baca Juga: Kepergian Prabowo ke Luar Negeri, Persiapan Melarikan Diri?
Demikian kira-kira pesan dari pengurus parpol yang ikut ke rekannya di Manado sana.
Benar saja, penyambutan di bandara sangat meriah dan membludak.
Ini ironis.
Kekaguman publik yang coba dibangun oleh Sang Tokoh dengan cara menggunakan pesawat pribadi itu, adalah memanfaatkan ketimpangan (gap) kemakmuran, antara Sang Tokoh dengan masyarakat pada umumnya.
Lebih ironis lagi, makin lebar ketimpangan itu, makin besar pula kekaguman dan kepercayaan masyarakat pada Sang Tokoh.
Ini geblek.
Petinggi dan masyarakat sama-sama sakit.
Kemudian, beberapa kali saya ikut perjalanan bisnis pengusaha besar yang juga menggunakan pesawat pribadi.
Ekspektasi para pengusaha dari penggunaan pesawat pribadi dalam urusan bisnis pun sama dengan urusan politik: untuk meneguhkan kepercayaan dari mitra bisnis.
Bagi saya ini aneh. Karena membangun kepercayaan orang lain kok dilakukan secara instan dan sangat mahal. Bukan dengan cara berlaku jujur, sportif, taat aturan, dan seterusnya.
Menggunakan pesawat pribadi sanga mahal. Pasti.
Pada satu kesempatan, tahun 2009, saya berbincang dengan pilot pesawat pribadi milik seorang pengusaha.
Pertanyaannya simple, semahal apa menggunakan pesawat jet pribadi?
Pilot itu menyebutkan satu persatu item biaya yang harus dibayar.
Untuk penerbangan selama satu setengah jam dari Jakarta, kemudian pesawat menginap satu malam di bandara tujuan, lalu balik lagi ke Jakarta, total biayanya sekitar Rp450 juta, belum termasuk biaya jaga wibawa.
Itu tahun 2009, sekarang pasti lebih mahal.
Bagi pengusaha sekalipun, ongkos transportasi pulang-pergi (dengan durasi terbang 1,5 jam) sebesar Rp450 juta untuk 13 orang tetap sangat mahal.
Tapi demi gengsi, tepatnya demi prestise yang tidak rasional, dengan gembira mereka keluarkan duit sebanyak itu.
Kita belum berbicara seperti apa kesejahteraan satpam yang jaga di gerbang depan rumahnya atau gaji sopir yang mengantarnya kemana-mana dengan mobil mewahnya.
Sangat kontradiktif dengan cara mereka mencari uang: seperti vacuum cleaner menyedot debu, recehan pun disedot tanpa ampun.
Tapi giliran mengeluarkan untuk memenuhi kewajibannya, kewajiban bisnis, pajak, dll., sulitnya setengah mati.
Pasti teman-teman banyak yang mengalami: betapa susahnya menagih piutang (antara Rp50 juta–Rp150 juta) dari perusahaan-perusahaan milik pengusaha ternama di Indonesia.Pokoknya "anjing" banget deh.
Gak usahlah dia ngomongin zakat, sedekah, hibah, biayai itikaf, pake yayasan ini itu.
Mungkin, ada juga dari para pengusha atau pubic... eh...public figure itu yang biasa pakai pesawat pribadi, menjadi terjebak dengan pretise yang sangat mahal.
Paling tidak ada banyak orang yang tahu keadaan keuangan perusahaan mereka, atau dengan cara apa mereka mendapatkan uang.
Sebenarnya dia mau-mau aja naik pesawat komersial berjadwal, tapi itulah... apa kata dunia? Kan biasanya pake private jet?
Di Indonesia, orang yang punya pesawat pribadi (dalam berbagai kelas) mungkin lebih dari 50 orang.
Jadi kalo kebanyakan media umumnya cuma tahu 5-7 orang, namanya itu-itu juga. Sebenarnya banyak.
Secara pribadi saya menyimpulkan, mungkin banyak perusahaan yang lahir dan besar di jaman Orba, tumbuh dengan cara tidak wajar.
Maka tidak heran kalau yang lahir adalah pengusaha-pengusaha bermadzhab teganian.
Ya mereka itulah orang-orang bermasalah.
***
Yus Husni Thamrin
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews