Salah satu sekolah di Jakarta mengeluh, karena murid-muridnya banyak berperilaku kurang ajar. Mereka cenderung tak bisa diatur. Mereka juga cenderung tak hormat terhadap orang lain, apalagi terhadap orang yang lebih tua. Mereka juga menjadi pengguna berlebihan beragam gadget teknologi yang ada sekarang, tanpa bisa dikontrol.
Akhirnya, sekolah ini memutuskan untuk memberikan pelatihan terhadap murid-murid tersebut dalam bentuk latihan dasar kepemimpinan. Alasannya sederhana. Mereka ingin, supaya murid-murid sekolah tersebut bisa lebih patuh. Mereka ingin, supaya murid-muridnya menjadi lebih mudah dikendalikan, sesuai dengan keinginan keluarga dan sekolah.
Moralitas Dangkal
Gejala ini banyak terjadi di Indonesia. Keluarga dan sekolah ingin anak-anaknya menjadi robot yang gampang diatur. Keluarga dan sekolah berperan menjadi institusi otoriter yang ingin mengendalikan murid-murid sekolah secara mutlak. Mereka tak peduli, bahwa pola ini justru membunuh seluruh proses pendidikan yang ada.
Inilah yang disebut sebagai moralitas dangkal. Moral semacam ini hanya merupakan tampilan luar semata. Orang terlihat patuh, rapi dan bersih, namun penuh dengan pikiran busuk di dalamnya. Orang-orang dengan moral dangkal akan menjadi koruptor dan provokator perpecahan, walaupun tampilannya tampak agamis, rapi dan santun.
Ketika masyarakat hanya menekankan moralitas dangkal, maka kemunafikan akan tercipta. Kata-kata sopan dan penampilan rapih. Namun, itu semua hanya tampilan luar belaka yang menutupi kebusukan. Tak heran, para terdakwa koruptor langsung berpenampilan agamis, ketika disidang di pengadilan.
Tidak hanya itu, moralitas dangkal juga menciptakan penderitaan. Orang berbuat baik, karena terpaksa. Orang patuh, bukan karena paham dan tulus, tetapi hanya karena tekanan masyarakat. Penderitaan yang muncul dari pola moralitas semacam ini amatlah besar.
Moralitas Dalam
Moralitas dalam memiliki arah yang berbeda. Ia lahir dari kesadaran penuh akan kehidupan. Ia tidak muncul dari paksaan. Ia tidak muncul dari ketakutan terhadap tekanan sosial dari luar.
Moralitas dalam bergerak dari kesadaran, bahwa segala yang ada di semesta ini adalah satu kesatuan. Inilah yang disebut ciri kesalingterhubungan dari kehidupan itu sendiri. Dengan kesadaran ini, orang tidak akan merusak atau menyakiti apapun, karena ia melihat dirinya di dalam segala sesuatu. Sikap santun dan hormat terhadap mahluk hidup lainnya akan muncul secara alami.
Moralitas dalam juga akan melahirkan empati. Empati adalah kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Empati akan membuat orang memiliki sifat welas asih yang muncul secara alami dari dalam dirinya. Inilah dasar moralitas yang sejati.
Karena lahir secara alami, moralitas dalam juga jauh dari kemunafikan. Kebaikan lahir dari ketulusan, dan bukan sikap pura-pura. Seringkali, orang mungkin terlihat tak santun. Akan tetapi, niatnya baik, yakni untuk kepentingan bersama. Mantan Gubernur Jakarta, Ahok, adalah wujud nyata dari moralitas dalam semacam ini.
Moralitas dalam juga tahan lama. Ia tidak berubah, ketika tekanan dari luar hilang. Karena berpijak pada ketulusan, moralitas dalam juga tetap teguh di tengah godaan untuk berbuat jahat. Orang dengan moralitas dalam tidak lari di tengah tekanan, apalagi bersembunyi di balik-balik alasan-alasan suci yang penuh kemunafikan.
Kita harusnya mengajarkan moralitas dalam di dalam sistem pendidikan kita. Moral dangkal, yang menekankan kepatuhan semu, haruslah dihilangkan. Hanya dengan begitu, kita bisa melenyapkan secara total para koruptor dan provokator yang bersembunyi di balik kesantunan moral dan agamis. Sudah cukup lama bangsa kita ditipu oleh para koruptor dan provokator pemecah belah semacam ini.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews