Optimistis, Sempat Tertekan Krismon 1998 Tak Mungkin Terulang

Minggu, 9 September 2018 | 21:12 WIB
0
569
Optimistis, Sempat Tertekan Krismon 1998 Tak Mungkin Terulang

Bila kita mencermati belakangan ini, banyak munculnya berbagai informasi yang begitu menakutkan. Seakan-kan, hari esok matahari tak lagi bersinar di atas kepala kita. Bahkan, pikiran kita dibuat tak lagi bernalar, bahwa Indonesia diperkirakan tak akan mencapai usia ke-100 tahun. Sebuah sikap pesimistis yang  tidak produktif sama sekali.

Coba Anda bayangkan, jika kita selalu dicekoki dengan kabar berita bahwa Indonesia tak akan lagi berdiri tegak di tahun 2030, maka kita tak perlu lagi bersemangat untuk bekerja. Kita pun tak mungkin untuk berpikir membekali masa depan untuk anak-cucu kita kelak.

Satu contoh. Beberapa hari belakangan ini,  mata uang rupiah sempat tertekan oleh Dolar AS, namun gaungnya terlalu bising di telinga. Masyarakat seakan dibuat ketakutan bahwa krisis moneter 1998 akan terulang.

Penegasan dari pihak Pemerintah bahwa krisis ekonomi seperti tahun 1998 diyakini tidak akan terjadi. Hal ini disampaikan Deputi Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Ekonomi Strategis Kantor Staf Presiden Denni Puspa Purbasari saat menjadi narasumber program 'Rosi' Kompas TV dipandu jurnalis senior Rosianna Silalahi, Kamis 6 September 2018.

Keyakinan itu juga diamini oleh para pembicara lain, seperti mantan Menko Ekuin Kwik Kian Gie, mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu, politisi PDI Perjuangan Andreas Eddy Susetyo dan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Ari Kuncoro.

Intinya, semua sepakat bahwa fluktuasi nilai tukar yang terjadi beberapa hari ini berbeda dengan apa yang terjadi ditahun 1998. Apa yang terjadi saat ini, lebih disebabkan faktor eksternal, yaitu kebijakan Bank Sentral AS yang menaikkan tingkat suku bunga. Di samping itu, adanya kebijakan fiskal dari Presiden Donald Trump yang sangat ekspansif. Akibatnya, defisit fiskal AS makin melebar, dan itu ditutup dengan penerbitan surat utang dengan suku bunga yang juga lebih tinggi.

Akibat dari kebijakan moneter dan fiskal AS tersebut, arus modal mengalir terlalu deras dari emerging market termasuk  dari Indonesia ke AS. Permintaan dolar pun naik, harga dolar jadi merangkak naik. Selain itu, masih adanya defisit neraca transaksi berjalan ikut jadi pengaruh kuatnya nilai tukar Dolar terhadap rupiah.

Apa yang dikhawatirkan dengan kemungkinan terulangnya krisis moneter, seperti yang terjadi di tahun 1998, tidak didukung oleh fakta dan data yang kuat.  Seperti yang dikatakan Ekonom Permata Bank Josua Pardede, saat ini nilai tukar sebagian negara berkembang cenderung terkoreksi terhadap dolar AS, namun kondisi ini masih jauh dari krisis 1998.

Kondisi fundamental perekonomian Indonesia sekarang ini sangat berbeda dengan kondisi fundamental pada tahun 1998. Saat itu, krisis yang berawal dari krisis mata uang Thailand Bath, juga diperburuk dengan pengelolaan utang luar negeri swasta yang tidak prudent,karena sebagian utang luar negeri swasta tidak memiliki instrumen lindung nilai.

Jika melihat kondisi fundamental Indonesia saat ini, pengelolaan utang luar negeri swasta cenderung dilakukan secara lebih berhati-hati. Bank Indonesia pun telah mewajibkan transaksi lindung nilai bagi korporasi dalam rangka mengelola risiko nilai tukar.

Jadi, tetaplah berpikir optimis. Kesulitan apapun akan bisa kita hadapi bersama, asalkan semua komponen bangsa bersatu dan bekerja sama. Buktinya, ketika kita  gagal meraih prestasi di Sea Games 2017, kita tidak berputus asa.

Dengan kerja keras,  prestasi itu akhirnya kita peroleh juga di Asian Games 2018. Begitu juga dalam persoalan ekonomi, janganlah terlalu dipolitisasi untuk sekadar kepentingan sesaat, karena dampak buruknya akan terlalu besar yang dirasakan rakyat.

***