Tugas Politisi Oposan "Menjumput Kata Menebar Badai"

Kamis, 9 Agustus 2018 | 19:00 WIB
0
604
Tugas Politisi Oposan "Menjumput Kata Menebar Badai"

Menjadi orang benar itu ternyata susah di negeri ini, keseleo kata satu baris saja bisa membuat bermacam-macam persepsi bagi orang yang memang senang melihat orang lain salah. Senang melihat orang  lain susah, dan susah melihat orang lain senang.

Penyakit “Waton Suloyo” itu benar- benar dipahami politisi tanah air. Menjadi oposisi itu harus pandai memanfaatkan sekecil apapun kesempatan untuk memukul balik lawan politiknya. Mereka tidak peduli bahwa setiap kata- setiap kalimat itu ada maknanya kalau dimaknai utuh.

Oposisi sekarang amat butuh pemimpin yang tengah berkuasa keseleo lidah. Mereka akan tertawa terbahak-bahak dan segera menggoreng harta karun bernama keseleo lidah menjadi senjata mematikan. Akan ada demo untuk membesar- besarkan kata yang terlanjur terlontar oleh pemimpin, tidak peduli bahwa sebenarnya seorang pemimpin sedang memberikan kata kiasan, bukan kata sebenar- benarnya.

Politisi menyimpan rapat-rapat sifat gentlemen (mau mengakui kemajuan dan prestasi orang lain atau penguasa) Menjadi oposisi adalah harus beda kalau tidak bukan oposisi namanya. Tugasnya adalah mengorek-orek kelemahan, menjebak dan membuat manuver-manuver agar lawannya terjebak dalam permainannya.

Persis ini yang terjadi dengan barisan oposisi pemerintahan sekarang. Mereka tengah riang gembira, menyeringai penuh ide-ide untuk menggoreng kata-kata yang baru terlontar dari seorang kepala pemerintahan.

Sebagai masyarakat biasa dan penulis saya mengamati lama fenomena “goreng- menggoreng isu” tersebut. Saya hanya bisa mengelus-elus dada dan tepok jidat. Sebenarnya apa sih pekerjaan politisi kita. Hobi kok menggoreng dan memenggal kata – kata.

Ahok terjerembab oleh kata- kata yang sebenarnya biasa saja tapi oleh “intelektal kampus” Kata- kata Ahok dan video yang ada di Youtube sengaja dipotong untuk menimbulkan polemik dan kemarahan umat Islam. Padahal jika membaca video utuhnya dan kata- kata yang diucapkan Ahok tidak ada unsur penistaan.

Sekarang sejak Jokowi mengatakan …Kalau diajak “berantem” Ya berani. Politisi, oposisi memanfaatkan benar ucapan Jokowi. Dengan berapi–api , kata-kata itu digoreng untuk menimbulkan daya ledak emosi pada sebagian masyarakat yang mudah marah oleh provokasi politik di media sosial. Mereka bicara dan menyayangkan mengapa sekelas Presiden bisa ngomong ”tanpa dipikir”.

Demokrat dan Gerindra antusias memegang penggalan terakhir kalimat Jokowi untuk menjatuhkan Jokowi. Insting oposisinya terang benderang dan menjadi momen bagus untuk berusaha menjatuhkan Jokowi seperti mereka menjatuhkan Ahok.

Tagar #2019GantiPresiden pun kembali menghangat. Tokoh-tokoh oposisi bangkit dan terus berkicau  di media sosial menggiring opini publik seakan-akan Jokowi adalah tokoh yang suka berantem.

Pernyataan lantang “oposisi” seperti membangkitkan dendam politik. Mereka akan memakan apa saja tentang sepak terjang pemimpin terutama Presiden. Secuil berita, sejumput kata, dan sebuah isu yang nangkring  di media dapat menjadi mesiu yang mampu menggiring opini masyarakat. Menjelang pemilihan presiden politisi tidak lagi berpikir jernih dalam waktu sempit, dala tekanan yang semakin besar ambisi terbesarnya adalah menjatuhkan lawan.

Agama tidak lagi dimaknai sakral dalam dunia politik tetapi sebagai tameng untuk menyerang lawan dengan jargon-jargon yang “mengerikan” menghina ulama, sahabat ulama musuh ulama. Ada yang mengklaim bosnya didukung sepenuhnya ulama dan lawannya itu pengusung ideologi komunis. Bagi pengusung ideologi komunis tidak ada kata lain selain lawan dan habisi.

Politisi sangat memahami masyarakat Indonesia yang sedang euforia pada benda kecil bernama gadget. Dari gadget itu berita-berita apapun bisa terakses. Dan umumnya masyarakat yang masih kurang pemahamannya akan berita benar ataukah berita bohong, ssesuatu yang viral di amsyarakat diangap benar.

Dan banyak politisi menyewa  banyak ghostwriter untuk menebarkan berita- berita bohong untuk menjatuhkan kredibilitas lawan. Dalam Ilmu politik boleh saja menyerap ilmu perang China Tzunsu, sebab dalam  politik yang penting menang entah bagaimana caranya.

Dan sepenggal kata itulah yang akan membuat  bola panas menggelinding, bola itu akan membakar apa saja termasuk mereka yang sebelumnya mengambang bingung dalam menentukan siapakah yang akan didukungnya untuk pemilihan presiden mendatang.

Boleh dikatakan politik memang kejam dan politisi adalah aktor kunci yang menebarkan genderang perang. Dalam dunia pewayangan Rahwana adalah orang seorang tokoh licik yang akan memanfaatkan cara apapun untuk bisa mempersunting Sinta yang sebetulnya adalah istri sah Ramawijaya. Rahwana tidak perlu etika dan cara yang elegan untuk merebut “Cinta Sinta”. Ia akan menyamar apa saja termasuk menjual kemiskinan, belas kasihan agar Sinta yang berhati welas asih masuk dalam jebakan Rahwana.

Ahirnya Sinta bisa di boyong alias diculik untuk dijadikan Istrinya meskipun secara sah Sinta adalah istri Rama. Itulah gambaran politisi. Salah satu taktiknya adalah menjual belas kasihan dan menebarkan kata-  kata nyinyir.

Maaf Politisi, itulah pemahaman penulis sekarang…entah sampai kapan persepsi itu berubah positif tentang anda tetapi selama anda “nyinyir” politik bagi saya adalah" Au Ah gelap".

***