Meraba Arah Ijtihad Politik Tuan Guru Bajang

Selasa, 10 Juli 2018 | 16:31 WIB
0
688
Meraba Arah Ijtihad Politik Tuan Guru Bajang

Saat saya menyapanya, ‘Mas/Pak Didi’ Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi mengaku sempat terperanjat. Sambil berbincang, dia terus berupaya mengingat apakah saya adalah salah seorang kawannya bermain semasa kecil hingga remaja. Sebab sapaan tersebut cuma diucapkan teman-teman sepermainannya.

“Sudah lama sekali tidak ada yang menyapa saya, ‘Didi’. Sejak pulang dari Mesir saya lebih banyak disapa TGB,” katanya di kantor redaksi detik.com, 21 Maret lalu.

Kepadanya, saya pun membuka kartu. Sapaan itu didapat dari catatan seorang blogger selang beberapa jam sebelum saya ditugasi pemimpin redaksi untuk mewawancarainya. Itu adalah pengalaman pertama saya selama lebih dari 20 tahun menjadi wartawan, mewawancarai nara sumber di depan kamera.

Seingat saya mas Didi datang cuma berdua dengan sopirnya. Mengenakan kemeja warna biru lengan panjang yang digulung hingga ke siku, pantalon hitam, dan sepatu kets juga warna hitam. Sederhana sekali untuk ukuran seorang gubernur. Sikap dan tutur katanya selama berbincang, lembut bersahaja.

Saat mengutip hadis maupun ayat qur’an dia menyampaikannya dengan seksama. Tidak dalam tempo bergegas untuk meyakinkan lawan bicara bahwa dirinya benar lulusan Al-Azhar, dan seorang penghapal al-qur’an.

Ada dua isu yang menarik dalam wawancara selama lebih dari 30 menit tersebut. Pertama, penjelasan mas Didi soal hubungannya dengan Jokowi dan Prabowo. Dia mengaku pada pilpres 2014 menjadi ketua tim pemenangan pasangan Prabowo – Hatta Rajasa di NTB. Meski tak pernah berjumpa Prabowo, dan cuma merasa dekat dengan membaca visi-misinya. Hasilnya, duet ini menang besar kedua setelah di Sumatera Barat.

Kedua, pandangannya soal khilafah. Dia menegaskan, NKRI itu adalah bentuk konsensus yang terbaik dari para founding fathers kita. Karena itu tak bisa ditawar lagi agar bangsa ini terhindarkan dari perpecahan. “Pancasila sila 1 sampai 5 itu semuanya sangat Islami. Pembukaan alinea ketiga begitu juga. Jadi jargon NKRI harga mati itu sudah tepat,” ujarnya.

Pada Rabu, 4 Juli, rupanya mas Didi kembali bertandang ke redaksi Transmedia (Trans TV, Trans 7, detik.com, CNN Indonesia, dan CNBC). Karena sedang cuti, saya tak ikut menyambut dan berbincang dengannya.

Tak cuma itu. Saya juga kehilangan momen menyimak langsung pernyataan mas Didi soal dukungannya terhadap Jokowi untuk kembali memimpin NKRI. Dia berkaca pada dirinya saat memimpin NTB dua periode.

"Dua periode secara common sense dan empirik yang saya alami, waktu yang lumayan fair bagi seorang pemimpin. Beliau layak dan pantas diberi kesempatan dua periode," tegasnya.

Saya menduga, ijtihad politik ini mencuat karena pengalamannya selama bergaul dengan Jokowi. Menurut Mas Didi, saat pertama kali jumpa Jokowi dan menungkapkan bahwa dirinya pernah jadi ketua tim pemenangan Prabowo, dia tak lantas dikucilkan. Sebaliknya, delapan kali NTB dikunjunginya. Proyek Mandalika yang selama bertahun-tahun mangkrakpun dilanjutkan dan menjadi prioritas pemerintahan Jokowi. Singkat kata, di mata mas Didi, Jokowi sudah bergerak pada rel yang benar dalam memimpin Indonesia.

Segala prasangka sontak berseliweran di media sosial seiring perubahan sikap tersebut. Mereka yang semula memuji jadi memaki atau sebaliknya. Ada yang menghubungkan dukungan terhadap Jokowi berkaitan dengan ambisinya menjadi calon wakil presiden. Bahkan, ada yang menghubungkan karena ia tengah diperiksa KPK sebagai saksi dalam kasus divestasi PT Newmont.

Padahal selain sebagai birokrat dan politisi, mas Didi juga seorang ulama. Sejauh ini pun dia relatif tanpa cela. Jadi, jika melihat rekam jejaknya selama memimpin NTB, mas Didi pernah menjadi gubernur terbaik versi Kementerian Dalam Negeri pada 2017. Dia sukses mengangkat NTB sebagai provinsi tertinggal menjadi seperti sekarang ini. Angka pertumbuhan ekonomi NTB mencapai 9,9 persen, melampaui pertumbuhan ekonomi nasional yang cuma 4,9 persen. Di bawah kendalinya, NTB juga enam kali mendapatkan predikat WTP.

Adalah wajar dengan seabreg prestasi tersebut dia punya cita-cita menggapai posisi lebih tinggi. Bukankah sebelumnya sejumlah kelompok ramai mengusungnya sebagai calon wakil presiden, bahkan calon presiden?

Tapi sebagai politisi, tentu dia menghitung akan lewat jalur mana dia menggapainya. Di Partai Demokrat tempatnya kini bernaung, sudah ada Agus Harimurti Yudhoyono. Meski karir militernya cuma sampai Mayor, yang menurut Ruhut Sitompul setara dengan Kapolsek untuk kepolisian atau Komandan Kodim di lingkungan TNI, toh dia adalah ‘Putra Mahkota’ yang sejak 2016 dipersiapkan.

Akan menagih jasa ke Gerindra karena pernah sukses memenangkan suara Prabowo-Hatta di NTB pada 2014, juga mustahil dilakukannya. Selain karena Gerindra sudah aklamasi mencalonkan Prabowo, sebagai ulama yang rendah hati mas Didi juga tak mungkin mengungkit-ungkit jasanya. Di PKS pun, dari 9 nama calon, nama TGB Zainul Majdi tak tercantum di dalamnya.

Andai pun kelak Jokowi yang dinilai banyak analis politik amat membutuhkan figur cawapres dari kelompok muslim tak menggandengnya, saya percaya mas Didi tak berkecil hati. Saya juga percaya, Jokowi tak akan melupakan jasa mas Didi begitu saja.

Setidaknya, bila kelak Jokowi ditakdirkan kembali memimpin, sesuai kapasitas keilmuan dan komitmennya terhadap NKRI, bukan mustahil mas Didi masuk kabinet sebagai Menteri Agama. Wallahu’alam bisshawab!

***