Rekomendasi Mubaligh, Biarlah Ulama Yang Menerbitkannya

Kamis, 14 Juni 2018 | 15:01 WIB
0
591
Rekomendasi Mubaligh, Biarlah Ulama Yang Menerbitkannya

Kalau pun mau, rekomendasi mubaligh itu mestinya dari para ulama yang lurus dan netral, itu akan didengar umat. Minimal MUI. Di dalam MUI, semua wakil golongan ormas keislaman ada. Boleh dari ulama ormas tapi yang dikenal netral oleh umat, ukurannya pandangannya diterima luas oleh berbagai kelompok masyarakat.

Ulamalah, karena mereka ahli dan mengusai ajaran Islam, yang berhak dan punya wewenang mengeluarkan rekomendasi mubaligh. Dan harus tanpa kepentingan politik kelompok.

Kalau dari pemerintah, walau dari Kementrian Agama, ya pasti bermasalah, karena masyarakat menilai itu pasti politik. Politik artinya ada kepentingan politik, artinya tidak murni demi kebaikan, tidak murni demi agama. Yang murni demi agama, semua pesan dan ajaran agama harus disampaikan, tidak dipilih-pilih dan tidak diarahkan.

Soal relevansi dengan kondisi bangsa dan masyarakat, ulama sendiri bisa menjelaskan itu secara cerdas dan masuk akal sehingga belum ditegakkannya sebagian ajaran Islam bisa difahami dengan enak, logis, rasional dan bijak oleh masyarakat.

Masyarakat sekarang sudah cerdas. Era global, keterbukaan, era teknologi informasi dan media sosial telah mentransformasikan masyarakat kepada akses pengetahuan yang terbuka, kritis dan tanpa batas, tak lagi ada yang bisa disembunyikan.

Pemerintah niatnya baik, menertibkan dakwah agar tidak kontra produktif dan tidak tumbuh kecenderungan radikalisme di masyarakat, tapi mengarahkan pengetahuan masyarakat di era informasi dan media sosial bukan hal yang mudah.

Alam pikiran, cita-cita, kehendak, psikologi umat dan faham keagamaan masyarakat tak sesederhana atau tak sesimpel pemerintah menginginkannya. Misalnya, Ust. Abdul Somad digemari masyarakat tapi tak disukai pemerintah, siapa akhirnya yang akan menuai pandangan negatif dan kecurigaan dari masyarakat luas? Rekomendasi mubaligh niatnya baik tapi bisa jadi blunder bagi pemerintah sendiri.

Apalagi bila masyarakat menangkap rekomendasi itu kaitannya dengan dengan situasi politik mutakhir, akan sulit diterima oleh masyarakat. Penggorengan isu sudah pasti terjadi seperti yang sekarang sudah ramai di media sosial.

Yang akan semakin melemahkan pemerintah adalah pandangan, walaupun tidak persis, kebijakan ini dirasakan sebagai kesamaan dengan pemerintah kolonial yang mengawasi para kyai, guru ngaji dan para haji pada abad ke-19 karena mereka kritis pada pemerintah kolonial bahkan rata-rata menjadi pemimpin pemberontakan, yang dulu oleh kompeni disebut pemberontak tapi kini oleh kita disebut pejuang dan pahlawan.

Bangsa Muslim terbesar dengan keragaman etnis, madzhab, organisasi dan paham keagamaan ini memang memerlukan penanganan yang cerdas dan bijaksana mengelola keragaman dan perbedaan orientasi keagamaan di masyarakat supaya tidak kontra produktif.

Salah urus akan bermasalah dan bahkan mungkin fatal kedepannya. Bisa jadi, pemerintah yang niatnya baik malah jangan-jangan justru menjadi penyumbang keruwetan masalah berbangsa selama ini karena satu soal: Salah kelola umat yg sangat plural ini.

Langkah pemerintah itu, menurut saya, sebaiknya dihentikan sebelum berkembang menjadi lebih buruk bagi bangsa dan negara ini ke depan. Ganti cara untuk mengatasi tren radikalisme yang lebih cerdas, adil dan bijaksana dengan mengundang berbagai tokoh masyarakat, jangan lupa, termasuk saya hehehe ... piss ah.

Wallahu alam.

***