Cinta adalah Waktu, 17 Tahun Berburu Ulumul Qur'an Edisi Pertama

Sabtu, 9 Juni 2018 | 23:25 WIB
0
1537
Cinta adalah Waktu, 17 Tahun Berburu Ulumul Qur'an Edisi Pertama

Tujuh belas tahun lalu saya mulai berkenalan dengannya. Ia agak gemuk dengan make-up yang mengkilat. Muka manis itu berada di pojok perpustakaan yang gelap. Karena agak remang, dan tak banyak pengunjung waktu itu, saya mencoba menghampirinya.

Tak butuh waktu lama, saya langsung memutuskan mengajaknya kencan dan mengundangnya ke kontrakan, yang kebetulan berada di tengah kebun pisang dan mangga. Rumah kontrakan panggung dengan dinding bilik itu cukup jauh dari rumah tetangga, sehingga saya mendapatkan ketenangan dan keheningan yang lebih dari cukup.

Tiga hari dia menginap di kontrakan saya.

Bagaimana rasanya?

Tuntas!

Ya, tuntas sudah rasa penasaran yang sebelumnya telah menggelayut sejak tiga tahun sebelumnya. Saya sudah mencicipinya, meskipun belum sepenuhnya bisa menikmatinya.

Hambok tolong jangan berpikir ngeres dulu. Ini adalah kisah perjumpaan saya dengan Jurnal ULUMUL QUR'AN (UQ), bukan dengan gadis berjilbab, atau gadis berkalung handuk.

Waktu itu, saya ingat, cuma cerpennya Danarto dan puisinya Abdul Hadi W.M. di bagian belakang yang tuntas saya baca. Selebihnya, hanya separuh-separuh saja dibaca. Berat, he he he. Saya senang karena di jajaran redaksi jurnal itu ada nama-nama seperti M Dawam Rahardjo dan Kuntowijoyo. Sejak SMP saya telah membaca kolom-kolom Dawam di Majalah PANJI MASYARAKAT, dan fabel-fabel politik Kunto di Majalah UMMAT.

Setelah pertemuan pertama itu, saya menikmati membaca wawancara panjang UQ dengan Kunto dan Amien Rais dalam dua buah edisinya. Ada empat edisi UQ yang kemudian saya baca dalam waktu tak lama sesudah itu. Dan, anu, sepertinya tak butuh berpikir lama, saya kemudian memutuskan untuk segera mencuri jurnal-jurnal itu dari perpustakaan. Ah, begitulah…

Setiap kali membaca majalah, atau jurnal, saya selalu terobsesi untuk menemukan, menyimak, dan memiliki edisi pertamanya. Tiga belas tahun lalu, dengan bekal obsesi tak tertahankan itu, misalnya, saya datang ke perpustakaan Majalah TEMPO di Jalan Proklamasi. Saya berdiri mematung di sebuah rak, menikmati membuka helai demi helai edisi perdana majalah itu. Rasanya demikian menggairahkan.

Di ujung pertemuan, tentu saja saya segera memesan fotokopinya. Tapi, kampret! Mereka menetapkan tarif fotokopi Rp500 per lembar. Mahal sekali. Padahal, di Yogya, waktu itu tarif fotokopi cuma Rp50. Atau, di perpustakaan politik LIPI saja, tarif fotokopinya juga cuma Rp100. Begitulah. Setelah dipimpin oleh alumni ITB yang satu itu, majalah itu sepertinya semakin “pragmatis” dan “komersial” saja.

Untunglah, hasil fotokopi jelek di perpustakaan TEMPO itu, tujuh tahun lalu sudah saya buang. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Setelah belasan tahun memimpikannya, tujuh tahun lalu saya bisa memiliki bundel TEMPO edisi pertama dan bahkan lima tahun pertama hampir lengkap.

Adakah yang lebih erotik dari pengalaman memimpikan dan mencintai macam itu?

Selama tujuh belas tahun sejak pertemuan pertama dengan UQ itu, saya juga tak pernah menumpulkan harapan agar bisa memiliki UQ edisi perdana. Cinta adalah soal kesungguhan dan keyakinan. Begitulah saya menempatkan perasaan pada UQ dan perempuan-perempuan, eh, media-media lainnya.

Ketika dua tahun silam Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo meminta saya untuk menjadi salah satu anggota Dewan Redaksi UQ, seorang kawan baik telah bermurah hati mengkopikan edisi perdana UQ. Sayangnya, edisi yang dia punya juga adalah kopian, sehingga tetap tak sanggup memuaskan rasa penasaran saya. Kantor UQ sendiri juga sejak lama sudah tak lagi memilikinya. Begitulah jika kita terbiasa menyepelekan kegiatan pengarsipan. Tak satupun pendiri UQ yang masih memilikinya.

Makanya, kemarin saya melonjak kegirangan ketika seorang kenalan pemilik sebuah kios buku menelpon saya. Dia baru saja memborong lungsuran buku seorang kyai yang baru saja almarhum di Yogyakarta. Ada sejumlah buku yang disebutnya, namun segera saya lewatkan, karena semuanya sudah saya miliki. Ketika dia menyebut UQ, segera saja saya sambut: “Tolong periksa itu UQ edisi nomor dan tahun berapa?”

Ketika dia menyebutkan nomor-nomor UQ yang ada padanya. Saya segera berteriak kegirangan. Ya, setelah tujuh belas tahun, akhirnya saya bisa ketemu secara langsung dengan nomor perdana UQ. Ada enam nomor UQ yang saya beli, di mana tiga di antaranya adalah tiga edisi pertama.

“Terima kasih, Tuhan, Engkau telah mengabulkan doa itu,” batin saya.

Ya, ini seperti judul novel kawan saya, Puthut Ea, “Cinta Tak Pernah Tepat Waktu” (2005). Saya kadang berpikir, kenapa selalu ada jeda yang lama dari saat ketika kita pertama kali menginginkan sesuatu, dengan saat terpenuhinya keinginan itu?

Jawaban hipotesis saya: jeda waktu itu mungkin adalah sejenis saringan untuk memisahkan “cinta” dari “keinginan”. Karena memang hanya cinta yang akan terus bersetia dan layak diganjar, dan bukannya keinginan. Dan waktu menjadi tapal batasnya, menjadi penanda kesungguhan cinta. Sebab cinta adalah waktu.

Tak ada penantian yang sia-sia. Termasuk penantian tujuh belas tahun ini, misalnya.

***

Yogyakarta, 5 Agustus 2014