Hormati yang Tidak Berpuasa

Sabtu, 19 Mei 2018 | 14:39 WIB
0
584
Hormati yang Tidak Berpuasa

Katanya kalau mau tau arti toleransi yang sebenarnya, harus merasakan hidup sebagai minoritas. Ada benarnya juga.

Pengalaman hidup kami sekeluarga merantau di negeri Barat mengajarkan banyak hal tentang apa itu toleransi. Tahun ini adalah Ramadhan ke-15 yang kami jalani sebagai minoritas muslim. Berat? Kadang. Tapi banyak juga hal yang membuat kami bersyukur.

Contoh kecil adalah kebijakan pemerintah untuk memberi porsi cukup besar bagi pelajaran agama Kristen. Karena bagian dari kurikulum, maka semua murid wajib ikut. Selain Kristen, agama lain juga bagian dari mata pelajaran KRLE (Kristendom, Religion, Livssyn, og Etikk).

Tujuannya tentu agar anak diperkenalkan bukan saja pada ajaran agama orangtuanya, tapi juga agama lain yang eksis di dunia ini. Tak kenal maka tak sayang. Karena kenal, maka kita jadi tau dan respek. Tinggal tugas orangtua di rumah untuk memberi pemahaman yang sesuai menurut ajaran agama mereka. Diskusi yang terjadi antara orangtua dan anak ini yang biasanya akan lebih membuka wawasan (selain juga "memaksa" orangtua untuk lebih banyak belajar lagi).

Puasa juga demikian. Ini adalah tahun ke-3 Fatih berpuasa penuh (mengikuti durasi puasa di Indonesia sekitar 14 jam). Alhamdulillah kemarin berjalan lancar. Semoga hari ini dan selanjutnya juga demikian.

Berpuasa bagi anak sekolah sepertinya lebih berat dibandingkan ibu RT atau pekerja kantoran. Apalagi di tengah masyarakat non-muslim. Tau sendirilah aktivitas anak sekolah. Lari ke sana kemari, belum lagi acara makan siang di kelas yang merupakan tantangan tersendiri. Meminjam istilah Fatih, "Ramadhan is a challenging time".

Meski dirasa berat, hal yang patut kami syukuri adalah pemahaman dan penerimaan yang baik dari guru dan teman-teman sekolah Fatih. Paling banter anak-anak itu akan bertanya kenapa Fatih harus berpuasa, berapa lama puasanya, selama puasa lapar atau haus atau tidak, dan sebagainya.

Di sini Fatih kami pandang bisa menjalankan perannya sebagai agen muslim yang baik. Ia bisa menjelaskan identitasnya sebagai muslim, dan bahwa puasa adalah bagian dari kewajibannya sebagai muslim. Ia juga tetap bisa melaksanakan kegiatan belajar mengajar seperti biasa, termasuk olah raga.

One tough muslim kid, alhamdulillah. Meskipun kalau di rumah, pertanyaan paling favorit untuk dia adalah, "Nanti kita makan apa? Puasanya kurang berapa jam? Aku kok laper, ya?"

Godaan lain ketika berpuasa di musim panas seperti ini adalah ketika matahari bersinar cerah dan udara cukup hangat. Pemandangan orang berjemur dengan pakaian minim, es krim, aroma daging panggang...

Di sini nasihat untuk "menghormati yang tidak berpuasa" betul-betul kami jalani. Ramadhan is indeed a challenging time.

Apapun keadaannya, kami tetap patut bersyukur. Norwegia adalah negara yang sangat toleran pada semua agama dan pemeluk agama. Saya merasakan sendiri pengalaman bekerja dengan tetap berkerudung. Suami saya juga selalu dibolehkan pulang kerja lebih cepat setiap Jumat.

Di sekolah ketika ada perayaan hari besar agama Kristen, murid beragama lain diberi kegiatan lain di sekolah. Bahkan ada bonus izin libur hingga 10 hari bagi siswa yang tidak termasuk dalam jamaah Kristen Lutheran (agama resmi Norwegia).

Hanya saja tidak ada libur resmi untuk Lebaran atau hari besar agama lain.

Hidup sebagai minoritas muslim di negeri Barat memang cukup berat dan banyak pelajaran yang bisa diambil. Bila mayoritas melindungi minoritas, dan minoritas menghormati mayoritas, in syaa Allah hidup bermasyarakat akan damai dan harmonis seperti yang kita semua idamkan.

***