Benny Moerdani, Panda Nababan dan Fakta tentang Teroris

Kamis, 17 Mei 2018 | 22:58 WIB
0
1320
Benny Moerdani, Panda Nababan dan Fakta tentang Teroris

"Jangan percaya begitu saja dengan keterangan dari pemerintah. Telusuri fakta-faktanya. Jika perlu buat liputan investigasi."

Itulah adagium jurnalistik. Ada kemanusiaan dan ada hukum. Terutama kasus yang menyangkut nyawa manusia. Tak terkecuali kasus yang menimpa terduga teroris.

Kritis terhadap berita-berita terorisme yang bertebaran di media massa, bukan berarti bersimpati terhadap teroris. Teroris harus ditumpas, ya! Yang tidak setuju jika teroris tidak ditumpas melainkan diternak, sehingga berkembang biak.

Jika jumlah teroris semakin banyak, sementara dana APBN untuk pemberantasan teroris juga ditambah terus, lalu apa evaluasinya? Dana deradikalisasi semakin bertambah, tetapi teroris juga makin bertambah. Piye toh, Mas?

Sebagai jurnalis, tentu kita bisa mencari sudut pandang lain dari kasus terorisme. Misalnya imam masjid Polda Riau yang justru jadi korban tewas kebiadaban peristiwa terorisme di Pekanbaru.

Tetapi mengangkat sisi human interest keluarga terduga teroris juga bisa menguras air mata kita. Istri maupun anak-anak terduga teroris pun menjadi korban dari kasus tersebut.

Sekitar 1999 atau 2000, saya pernah membuat tulisan investigasi kasus pembajakan pesawat terbang Garuda 'Woyla' yang dilakukan kelompok Komando Jihad pada 1981. Dalam kasus pembebasan sandera yang dilakukan

Kopassus di bandara Don Muang, Thailand itu disebutkan lima teroris ditembak mati, yakni: Machrizal, Zulfikar, Wendy M Zein, Abu Sofyan dan Imronsyah.

Pembebasan sandera ini tentu membuat saya kagum dan bangga dengan TNI, khususnya Kopassus yang saat itu masih menggunakan nama Kopasandha. Kekaguman terhadap pasukan anti-teror TNI tersebut tak terbantahkan. Bahkan pasukan anti-teror terbaik di dunia saat ini bukan dari Amerika, Rusia, Inggris, Jerman maupun Israel. Melainkan pasukan anti-teror Indonesia, Kopassus.

Namun bukan itu yang saya telusuri. Saya merujuk pada pertanyaan wartawan investigasi Panda Nababan di Bangkok. Kepada pimpinan TNI yang membawa pasukan Gultor Kopassus Letjen Benny Moerdani, Panda Nababan menanyakan berapa sesungguhnya pembajak yang tewas ditembak mati?

Panda tidak percaya begitu saja dengan keterangan pemerintah. Dampaknya, ia ditampar Benny Moerdani. Bahkan hampir dikeroyok anggota TNI. Cerita ini berdasarkan pengakuan Putra Nababan, anak dari Panda Nababan kepada saya tentang hal yang dialami ayahnya pada 1981. Putra Nababan bersama saya sebagai wartawan politik koran Merdeka.

Sedangkan Panda Nababan wartawan senior koran Sinar Harapan. Ia menjadi wartawan Indonesia yang berhasil menyusup ke bandara Don Muang, Bangkok saat peristiwa pembajakan pesawat tersebut.

Bagi saya itu kunci untuk terus menelusuri berita tersebut. Sebagai redaktur politik tabloid Demokrasi, saya telusuri sumber-sumber dari bekas kelompok Komando Jihad. Saat itu mereka berafiliasi ke Libya. Saya juga investigasi ke keluarga pembajak dan lain-lain selama dua pekan. Hasil invesitigasi yang top screet hanya saya beritahukan kepada redaktur pelaksana Hersubeno Arief.

[caption id="attachment_15754" align="alignright" width="472"] Benny Moerdani (Foto: Tempo)[/caption]

Hasil investigative reporting, ternyata hanya empat pembajak yang tewas dan satu orang diduga masih hidup. Ini misteri yang harus dibongkar. Saya pun menelusuri ke pemakaman umum melihat data tahun 1981. Maaf, saya tidak sebutkan nama yang diduga masih hidup tersebut dan menggunakan identitas baru . Ia kemudian dijadikan agen intelijen pemerintah Orde Baru. Dibuat seolah-olah sudah mati dan dimakamkan di TPU.

Buntut dari berita investigasi tersebut, hampir setiap hari saya menerima teror dan didatangi tamu-tamu tidak jelas di kantor. Akhirnya saya buang nomor hp saya dan ganti dengan nomor baru. Untuk sementara saya pun mondok di kantor. Karena hal-hal yang tidak perlu saya ceritakan.

Janda dari pembajak pesawat yang diduga masih hidup itu pun datang ke kantor dan menangis histeris. Tetapi saya tidak bersedia menemuinya dengan alasan keselamatan saya. Sebab di parkiran kantor banyak orang tidak jelas.

Seorang pejabat tinggi negara berkualifikasi intelijen pun mengirim pesan lewat utusannya supaya saya menghentikan investigasi kasus ini demi kepentingan negara.

Saya katakan kepada utusan sang jenderal bahwa saya tidak akan mengkhianati negara ini. Saya setuju terorisme diberantas, tetapi kalau rekayasa yang mengorbankan warga negara tidak berdosa, saya tolak. Sang jenderal setuju dan memberikan informasi background tujuan dari operasi intelijen pada 1981 tersebut, termasuk ancaman nyata yang membahayakan negara.

Wartawan tentu harus punya empati yang tinggi terhadap kasus-kasus hilangnya nyawa seseorang. Bukankah aparat negara dalam beberapa kasus juga salah melakukan penangkapan. Bahkan korban salah tangkap pun mati saat dalam pemeriksaan di kantor kepolisian. Jadi daya kritis bukan berarti simpati terhadap teroris.

Yang tidak setuju jika terorisme ini dijadikan proyek. Proyek yang mengorbankan jiwa aparat negara maupun masyarakat. Kita jaga kewarasan bersama dalam melihat kasus-kasus yang mengoyak sendi-sendi kemanusiaan.

***