Masih terasa Jokowi dan Ahok membenahi Jakarta, dengan niat hanya bagaimana Jakarta sebagai ibu kota bisa tertata, bukan cuma bangga kita punya ibu kota namun isinya sampah semua.
Jokowi cuma 1,5 tahun menata, diteruskan Ahok yang kinerjanya sama, dan, begitu cintanya dia kepada Indonesia. Raganya Cina, ruhnya buat negara, walau akhirnya disebut penista agama namun sejatinya tidak ada apa-apanya dibandingkan yang mengaku membela agama sekaligus menunggangi agama dengan cara mengumbar SARA.
Puncak dari semuanya adalah pilkada Jakarta, tatanan sosial dirusak secara massal dengan target antara adalah Ahok si kafir mulia, Jokowi adalah target utama yang mau mereka habisi. Long journey sejak 411, 212 sampai sasaran Sari Roti, berlanjut isu PKI, TKA, alhamdulillah semua mentah.
Keberhasilan mereka menggusur Ahok adalah prestasi yang diapresiasi oleh diri sendiri, serta kepuasan birahi politik sesaat tanpa melihat apakah itu bermanfaat atau hanya menghasilkan mudharat. Proses pembegalan secara brutal terhadap Ahok bukan saja dilakukan oleh kelompok akhlak jongkok tapi secara keseluruhan di setting oleh tangan-tangan petinggi negeri aliran kiri yang selalu iri atas kinerja Jokowi.
Kita tunjuk saja semisal JK, di tengah gencarnya masjid dijadikan api unggun memanasi lingkungan dengan SARA, JK diam saja, dia malah menerima Zakir Naik sang buronan dari India yang di negerinya di pesonanongrata malah di sini dijadikan idola seolah dia ulama Indonesia. Padahal Zakir penghasut utama antaragama di mana saja.
Lihat saja setelah Anies menang, ada video euforia di rumah Prabowo, ada yang mau diumrohkan, ada yang mau ziarah ke Jerusalem. Pesta kepongahan yang mereka dapat dari memproduksi fitnah dan caci maki, dan itu dianggap prestasi. Waras... tentu jauh dari itu semua.
Mereka hanya gila kuasa namun menghancurkan Indonesia serta merusak tatanan berbangsa dan bernegara. Pertanyaannya apa mereka masih bangsa Indonesia? kita sama-sama melihatnya. Jakarta saja mereka tega memporakporandakannya padahal ibu kota Indonesia. Tapi itulah manusia kelas dua yang tak berbudaya.
Sekarang dengan pola yang sama mereka mau mencoba kali kedua pada Pilpres 2019. Strateginya sama, dari mulai orang gila yang memusuhi ulama, euforia membuat cerita, eh makin jelas masjid mau dihalalkan lagi untuk memaki maki sebagai ruang politik, Balai Kota pun dipakai menghujat pemerintah yang sah. Dilegalkan, Balai Kota jadi ruang hujatan karena gubernur itu adalah output dari godokan kedurjanaan politik SARA yang mereka pelihara.
Jakarta mereka remukkan tanpa ampun, Monas dijadikan ruang panas seolah ramah sumringah padahal sebelumnya masjid begitu "mengerikan" bagi yang gak sepaham dalam perpolitikan.
Indonesia sedang memasuki era penataan kebenaran, baik pembangunan, sampai mental para pemangku jabatan sedang diracik ulang. Momentum ini tidak boleh dirasuki oleh para perusak yang bertopeng bak orang bijak namun sejatinya pemalak.
Indonesia harus diselamatkan dengan cara apapun. Jangan dilepas kepada penyamun dengan dalih apapun. Anak muda harus digdaya jangan hanya selfa-selfie nanti negerimu tinggal mimpi.
"Selamatkan Indonesia bersama Jokowi. Bukan bersama yang cuma bisa telanjang dada!"
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews