Utak-atik Konstitusi Biar Bisa Nyapres dan Nyawapres Lagi

Kamis, 3 Mei 2018 | 08:43 WIB
0
557
Utak-atik Konstitusi Biar Bisa Nyapres dan Nyawapres Lagi

Kekuasaan atau jabatan adalah sesuatu yang kadang membuat orang bisa lupa diri dan pengin nambah masa jabatan, sekalipun sudah ada aturan yang membatasinya. Kekuasan atau jabatan seakan bikin sebagian orang merasa kecanduan, punya sifat nagih atau ingin sekali lagi dan lagi.

Bahkan kekuasaan atau jabatan dalam pilkada langsung menciptakan dinasti-dinasti atau khilafah baru di era modern. Dari bapak berganti ke istri atau anak dan saudara.

Masyarakat kita memang pinter menyiasati atau mengakali suatu aturan. Kalau jabatan hanya dibatasi dua periode atau sepuluh tahun, toh bukan suatu halangan bagi orang-orang yang haus kekuasaan atau jabatan. Kekuasaan bisa di estafetkan kepada keturunannya. Mirip dinasti atau khilafah jaman dulu. Hanya bedanya dulu boleh ditunjuk langsung oleh sang raja atau sultan, kalau sekarang melalui mekanisme pemilihan secara langsung. Satu orang satu suara.

Bahkan ada seorang mantan presiden yang sudah dua periode terpilih, curhat kepada masyarakat bahwa masih banyak masyarakat yang menginginkan untuk maju kembali mencalonkan sebagai presiden dan sama yang bersangkutan dijelaskan bahwa sudah tidak boleh mencalonkan lagi karena terganjal aturan atau membatasi jabatan presiden hanya dua periode atau sepuluh tahun. Bisa jadi ini test market, pura-pura tidak mau,padahal mau atau ingin.

Tetapi aturan itu bukan suatu halangan,toh masih ada cara lain,yaitu mencalonkan seorang anaknya untuk maju dalam pilpres.dan sekarang mondar-mandir atau wira-wiri untuk mengiklankan sang pangeran atau putra mahkotanya.

Inilah gambaran bahwa kekuasaan atau jabatan sangat diburu bagi sebagian orang,karena dengan kekuasaan bisa menaikkan kemasyuran atau status sosial.

Baru-baru ini ada sekelompok masyarakat atau pihak-pihak tertentu yang mengajukan gugatan salah satu pasal yang dianggap menghalangi atau menghambat wakil presiden Jusuf Kalla untuk maju lagi sebagai cawapres dalam pilpres 2019.

Sekedar informasi, Jusuf Kalla saat ini sudah menjabat sebagai wakil presiden selama dua periode atau sepuluh tahun, meskipun tidak berturut-turut. Tetapi ada jeda satu periode. Padahal sudah jelas masa jabatan seorang presiden dan wakil presiden dibatasi dua periode atau sepuluh tahun, untuk jabatan yang sama.

Nah, sebagai contoh, Jusuf Kalla sudah dua periode menjabat sebagai wakil presiden, ia boleh mencalonkan sebagai calon presiden, tetapi bukan sebagai cawapres.

Tetapi bagi pihak yang ingin Jusuf Kalla menjadi cawapres, undang-undang atau aturan ini dianggap belum jelas dan meminta untuk ditafsirkan ulang.

Kalau ini nanti gugatan ini dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi ini bisa menjadi preseden yang buruk dan tidak menutup kemungkinan mantan presiden SBY juga akan turun gelanggang lagi sebagai capres.

Bahkan Ketua Dewan Pakar Partai Golkar Agung Laksono juga menyesalkan pihak-pihak yang mengajukan gugatan ini, padahal sudah sangat jelas.

"Hemat saya sebuah langkah yang siapa pun yang mengusulkan,menurut saya itu kurang mendidik,tidak mendidik dalam pembangunan penghargaan, pengormatan terhadap UUD, kepada konstitusi," kata Agung di DPP Golkar, Slipi, Jakarta, Rabu 2 Mei 2019.

Menurut Agung Laksono, elite politik seharusnya mematuhi aturan konstitusi tersebut. Sebab, dengan uji materi mengenai aturan syarat maju pilpres itu tidak akan menyelesaiakan masalah. Bahkan menurutnya, bisa menimbulkan keinginan dari kandidat untuk maju berkali-kali. Dan Agung juga berharap MK menolak gugatan uji materi ini.

Mudah-mudahan Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menolak gugatan ini, aturan dibuat untuk ditaati dan dipatuhi, bukan untuk diakali.

***