Spanduk politik itu mulai memasuki masjid. Dibentangkan di pagar depan menyambat kedatangan jamaah. Di waktu lain, masyarakat diarahkan untuk sholat subuh berjamaah.
Setelah sholat, khutbah akan diperdengarkan. Isinya semacam kampanye sebelum waktunya. Kalau gak nyinyir pada Jokowi, pasti teriak kopar-kapir. Ada juga masjid yang menyediakan berhadiah blender dan kipas angin segala. Mirip undian lotere.
Umat digiring ke masjid tapi masjidnya dipolitisisasi. Artinya umat dipaksa menyetujui pilihan politik pengurus masjid. Semacam pemaksaan atas nama Tuhan.
Pengurus masjid membiarkan mimbar-mimbarnya diisi hasutan. Diisi caci maki kepada lawan politiknya. Umat yang ingin bermesra dengan Tuhannya, terpaksa mendengarkan pekik politisi berjubah agama.
Dari masjid-masjid rasa benci ditularkan. Dari masjid-masjid keresahan disebarkan. Dari masjid-masjid kesombongan ditegakkan. Lalu di manakah tempat i'tiqaf yang syahdu, dimana manusia bisa bermesra-mesra dengan Tuhannya secara intim?
Jelas, beberapa masjid kini jadi semacam cabang Parpol dan posko kampanye. UU boleh saja melarang kampanye di rumah ibadah. Tapi tidak ada yang melarang masjid dihiasi spanduk ujaran politik. Dan umat Islam adalah umat yang paling menderita, ketika rumah dibadah yang mestinya terjaga dari kerusakan kini berubah jadi posko politik.
Apakah jemaah mesjid itu hanya terdiri dari satu afiliasi politik? Pasti tidak. Jemaah bisa beragam pilihan politiknya. Ketika masjid jadi ajang agitasi politik, pada saat bersamaan, para pengurus masjid itu telah 'mengusir' jemaah yang berbeda pandangan politik pergi menjauh dari masjid.
Lalu apa gunanya adzan dikumandangkan? Memanggil orang sholat di satu sisi, tapi sisi yang lain 'mengusir' mereka yang berpeda pasangan politiknya. Apa gunanya syiar mengajak memakmurkan masjid, jika ujungnya cuma diarahkan untuk memakmurkan kepentingan partai politik.
Mesjid-mesjid kita beresiko kehilangan kehangatan jika joroknya intrik politik masuk ke sana. Masjid-masjid kita akan kehilangan kesyahduan jika isi pengurusnya hanya para broker kekuasaan. Baik sengaja maupun karena kebodohan.
Mesjid-mesjid kita akan kehilangan rasa adem jika isi khotbah melulu soal kebencian. Orang pulang dari masjid membawa hati yang mengeras. Bathinnya jadi kosong, hanya dahinya yang gosong.
Spanduk politik yang disebar di masjid itu, sesungguhkan adalah kudeta terhadap rumah Allah. Allah yang maha rahman, bermaksud menyambut siapa saja umatnya untuk bersimpuh di rumahnya. Orang datang mencari rasa adem. Mereka ingin menjauh dari kesuntukan hidup untuk sesaat.
Tapi apa yang didapat? Justru masjid makin ruwet. Tidak ubahnya seperti body bajaj yang ditempeli brosur politik. Mereka mengubah tempat bersujud menjadi tempat menyebar hasud.
Sudah saatnya kita bebaskan masjid-masjid kita dari joroknya pertarungan politik. Kembalikan rumah Allah kepada pemiliknya, dimana semua orang merasa diterima kehadirannya. Apapun pilihan politiknya. Siapapun pilihan Presidennya.
Mengembalikan masjid jadi tempat bersujud adalah PR besar umat Islam saat ini. Biarkan politisi bertarung di lapangannya. Jangan kita jadikan masjid jadi ring tinju pertarungan politik.
Menolak politisasi masjid, adalah langkah konkrit menyelamatkan masjid kita.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews