Setiap bangsa lahir ke dunia dengan cita-cita. Begitu pula Indonesia. Kemerdekaan sebuah bangsa adalah sebuah jalan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Walaupun indah, namun cita-cita ternyata mengandung bahaya.
Belakangan ini, muncul juga beberapa gerakan untuk menciptakan masyarakat dengan satu agama di Indonesia. Mereka berpikir, dengan satu agama dan satu tafsiran, Indonesia lalu berubah menjadi surga untuk semua.
Cita-cita seperti ini berbahaya, bukan hanya karena bertentangan dengan dasar negara, tetapi juga dengan kodrat alam. Cita-cita, tanpa kejernihan pikiran, akan bermuara pada petaka.
Cita-cita dan Utopia
[caption id="attachment_13594" align="alignleft" width="523"] Michael Shermer (Foto: Wired.com)[/caption]
Cita-cita adalah sebuah utopia. Ia adalah versi ideal dari sebuah masyarakat. Utopia, menurut Michael Shermer, lahir dari kerinduan seseorang akan terciptanya sebuah masyarakat paripurna. (Shermer, 2018) Kerinduan tersebut lalu menjadi ide yang menginspirasi banyak orang untuk mewujudkannya.
Kata Utopia pertama kali muncul di dalam buku Thomas Moore yang terbit pada 1516. Arti kata itu adalah “tanpa tempat”. Ketika manusia yang penuh cacat mencoba mewujudkan sesuatu yang sempurna, petaka adalah buahnya. Utopia lalu menjadi distopia, yakni kegagalan usaha politik yang melahirkan penguasa politik yang menindas dan kemiskinan yang tersebar.
Mengapa utopia berakhir menjadi distopia? Ini terjadi, karena proses untuk menciptakan masyarakat yang ideal bertentangan dengan dorongan alamiah manusia. Ini, misalnya, dapat dilihat dalam kegagalan Uni Soviet di dalam mewujudkan masyarakat komunis. Ciri individual manusia tidak akan pernah bisa tunduk terhadap paksaan sosial, walaupun paksaan itu menggunakan senjata.
Masyarakat yang ideal, rupanya, bertentangan dengan kodrat alam. Alam tidak mengenal masyarakat ideal. Alam menginginkan keberagaman, juga termasuk di dalamnya adalah hal-hal yang tak ideal. Kejahatan, segelap apapun dia, tetap merupakan bagian dari alam.
Memang, jika dilihat lebih jeli, utopia adalah upaya penyeragaman. Ia menginginkan semua orang berperilaku seragam, sehingga keadilan dan kemakmuran seturut versi yang diinginkan bisa tercipta. Ini jelas tak mungkin. Tak heran pula, setiap upaya mewujudkan utopia selalu berakhir dengan konflik, perang, pembunuhan massal sampai dengan kamp konsentrasi.
Protopia
Shermer lalu menawarkan, alih-alih mendorong terciptanya utopia, marilah kita bekerja sama dalam kerangka protopia. Protopia adalah kemajuan kecil yang berkelanjutan. Ia tidak terpesona dengan ide kesempurnaan. Ia tidak terkesima dengan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur untuk semua.
Di dalam protopia, hari ini sedapat mungkin lebih baik daripada hari kemarin. Kemajuan sekecil apapun sungguh diusahakan dan dihargai. Memang, harus diakui, protopia kurang menarik untuk para idealis dan kaum revolusioner yang merindukan perubahan besar nan cepat. Protopia memberi ruang untuk kegagalan. Ia terbuka pada ketidaksempurnaan.
Belajar dari karya Steven Pinker, yang berjudul Enlightenment Now: The Case for Reason, Science, Humanism, and Progress, peradaban manusia sebenarnya lebih baik daripada sebelumnya. Berbagai pencapaian telah diraih, walaupun masih banyak tantangan yang perlu dihadapi. Berbagai pencapaian itu adalah penghapusan perbudakan, berkembangnya kebebasan sipil dan hak-hak asasi manusia sampai dengan kesadaran akan hak-hak binatang. Semua itu, menurut Pinker, adalah buah dari akal budi manusia yang terwujud di dalam ilmu pengetahuan modern.
Protopia adalah kemajuan selangkah demi selangkah. Ia mungkin tak menarik sebagai cerita. Ia mungkin tak bombastik, seperti dahaga utopia. Namun, setidaknya seperti ditunjukkan oleh Pinker, ia bisa diwujudkan.
Masyarakat yang adil dan makmur di Indonesia memang sebuah utopia. Ia tidak akan sepenuhnya terwujud. Namun, usaha yang pelan tapi pasti untuk mewujudkannya bisa terus dilakukan (protopia).
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews