Utang, Kritik atau Hasut? Bu Sri Mulyani yang Bisa Menjawabnya

Senin, 19 Maret 2018 | 07:41 WIB
0
647
Utang, Kritik atau Hasut? Bu Sri Mulyani yang Bisa Menjawabnya

Kritik merupakan bentuk kontrol publik terhadap kekuasaan. Jadi, sangat tidak elok jika Menteri Keuangan sampai membuat framing seolah kritik yang berkembang terkait utang pemerintah adalah sebentuk provokasi, atau bahkan hoax. Apalagi, kritik itu disebutnya disampaikan oleh orang yang mengerti anggaran.

Selama tiga tahun era pemerintahan Jokowi, perekonomian kita memang hanya bisa tumbuh di limit 5 persen. Namun, pada saat bersamaan, pertumbuhan utangnya mencapai 13 hingga 14 persen per tahun. Itu statistik yang sangat mencolok. Sehingga, jika ada yang mengkritik pemerintahan sekarang ini terlalu agresif dalam berutang, penilaian itu sama sekali tidak keliru.

Apalagi, jika kita lihat angka, selama tiga tahun pemerintahan Jokowi, hingga akhir Januari 2018 kemarin, utang kita telah bertambah sebesar Rp1.354 triliun. Sementara, sebagai pembanding kasar, selama dua periode pemerintahan SBY, artinya selama sepuluh tahun berkuasa, ia hanya menambah utang sebesar Rp1.400 triliun.

Apologi Menteri Keuangan agar kita jangan hanya melihat nominal utang, tapi juga membandingkannya dengan PDB kita yang kini telah menembus angka USD1 triliun, sayang sekali menurut saya bukanlah cara berkelit yang cerdik. Apalagi saat ia membandingkan rasio utang terhadap PDB hari ini yang masih lebih kecil jika dibanding dengan rasio utang terhadap PDB pada tahun 2004 yang mencapai 57 persen.

Pembandingan semacam itu justru menjadi blunder, karena bagi mereka yang melek data, persis di situ capaian positif pemerintahan SBY yang berhasil menurunkan rasio utang secara kasat mata jadi melorot lagi di zaman Jokowi.

Selama dua periode pemerintahan SBY, ia berhasil menurunkan rasio utang terhadap PDB dari angka 57 persen menjadi tinggal 24 persen saja pada 2014. Sayangnya, rasio itu kembali naik sejak Jokowi berkuasa. Tahun 2017, rasionya bahkan telah berada di angka 34,82 persen.

Menteri Keuangan juga sering berdalih jika rasio utang kita terhadap PDB masih lebih kecil jika dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai 56,22 persen, Amerika Serikat yang mencapai 107 persen, ataupun Jepang yang bahkan mencapai 239,27 persen. Pembandingan semacam itu sebenarnya menyesatkan, karena tidak memperhatikan kemampuan bayar yang berbeda-beda dari negara-negara tadi.

Sebab, jangan lupa, setiap negara memang berbeda kasusnya dalam soal rasio utang ini. Apalagi, belajar dari krisis utang Eropa, rasio utang sebenarnya bukan merupakan indikator yang pas untuk mengukur kemampuan perekonomian sebuah negara. Belgia dan Italia, misalnya, rasio utangnya terhadap PDB di atas 100 persen, namun mereka tidak menjadi pasien IMF. Sebaliknya, Irlandia dan Spanyol yang rasio utangnya 40 persen terhadap PDB, keduanya malah jadi pasien IMF.

[irp posts="9808" name="Duduk Perkara Utang Pemerintah Indonesia Sekarang"]

Di ASEAN, rasio utang Thailand memang tinggi dari Indonesia, tetapi di sisi lain rasio pajak mereka juga jauh lebih tinggi jika dibandingkan Indonesia. Sehingga, kemampuan bayar mereka terhadap utang menjadi lebih tinggi dari kita.

Begitu juga dengan Jepang. Meski rasio utang mereka sangat tinggi, namun rasio tersebut sangat aman karena lebih dari 90 persen utang tersebut berasal dari dalam negeri. Apalagi, sebagian besar surat utang pemerintah dipegang oleh Bank Sentral Jepang sendiri.

Jadi, kalau ingin melakukan pembandingan rasio utang, jangan bandingkan rasio utang kita saat ini dengan Malaysia, Amerika, atau Jepang, karena tidak apple to apple, tapi bandingkanlah rasio utang kita hari ini dengan rasio periode sebelumnya.

Di tengah depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap dollar AS, yang tentu akan segera berdampak terhadap jumlah utang, jumlah bunga, dan jumlah cicilan utang yang harus kita bayar menggunakan dollar, menganggap kecil masalah utang bukanlah bentuk penyikapan yang sehat.

Saya kira Bu Menteri juga sangat menyadari hal itu. Beliau mungkin hanya belum bisa menerima kenyataan kenapa tantangan berat ini harus ia hadapi persis sesudah orang-orang dari mancanegara menganugerahinya gelar Menteri Keuangan terbaik sedunia.

***

Editor: Pepih Nugraha