"The Shapes of Water", Romansa Monster dan Perempuan Bisu

Minggu, 11 Maret 2018 | 17:21 WIB
0
1676
"The Shapes of Water", Romansa Monster dan Perempuan Bisu

Minimal sampai tahun ini, saya berkesimpulan bahwa sebuah film bisa menang Academy Awards atau Oscar apabila di dalamnya mengandung unsur keganjilan luar biasa yang tak masuk akal. Baik pada pokok cerita maupun berbagai detail cerita di dalamnya.

Hollywood sendiri sudah merupakan produsen film jenis ini sejak lama, dengan berbagai tema super hero, fiksi angkasa luar, atau berbagai bencana alam. Yang seolah isyarat bumi cepat lambat akan musnah baik oleh kehendak alam itu sendiri maupun kecerobohan (juga ketamakan) umat manusia.

Namun keganjilan itu, bahkan terasa makin dramatis saat menonton film The Shapes of Water (selain film dan sutradara terbaik, juga memenangkan 2 kategori lain). Disutradarai oleh Guillermo del Torro, seorang Meksiko yang memang telah lama menjadi sutradara Hollywood spesialis monster.

Namun, baru kali inilah ia, menurut saya sedemikian liar memperlakukan tokoh-tokoh rekaannya. Ia tidak fokus pada pokok cerita, cinta antar dua makluk berbeda habitat: seorang perempuan bisu dengan seekor monster yang konon ditemukan di kawasan Amazon.

[irp posts="8047" name="Yang Tidak Diceritakan dalam Film Ayat-ayat Cinta 2""]

Kenapa seekor, karena memang perawakannya lebih mendekati binatang, daripada manusia. Badannya bersisik, punggung bersirip, tangannya bergelambir, matanya lebih mirip buaya. Sehingga ia lebih tepat disebut sebagai makhluk air!

Mungkin akar cerita ini sendiri, bisa jauh ditarik ke belakang mirip cerita Beauty and The Beast atau kalau dalam khazanah lokal Legenda Tangkuban Perahu, cinta antara Dayang Sumbi dan Tumang seekor anjing. Perbedaannya, hanya pada setting film ini yang berlatar belakang masa puncak Perang Dingin antara tahun 1962-1963, di mana persaingan hegemonik antara AS-Uni Soviet sedemikian kental dan brutal.

Artinya, memang film ini nyampluk, menyinggung banyak hal yang terkait sejarah pada masa tersebut. Pertarungan spionase, perkembangan advertensi produk, perubahan selera cemilan (baca: snack), bahkan menggambarkan bagaimana bisnis bioskop memasuki masa-masa suram.

Film ini juga sempet-sempetnya bercerita tentang trend mobil "muscle car" Amerika yang bongsor tapi trepes, yang ditunjukkan oleh generasi klasik Cadillac Series 62. Ia juga bercerita tentang model cafe yang menyajikan menu keluarga yang mulai menjual kopi (atau susu) yang dipadukan dengan berbagai macam pai dan kue-kue basah.

Intinya film ini "dlewer" kemana-mana, tak hanya berfokus pada "cinta buta" dua makhluk beda dunia itu. Ia juga bercerita secara intim, persahabatan yang tulus di kalangan masyarakat kelas bawah, khususnya antara ras kulit putih dan kulit hitam.

Bagaimana si hitam selalu memberi previlege absensi bagi si bisu agar tdak telat. Sisi humanistik yang tergarap secara utuh, sehingga bahkan sutradaranya sendiri menganggap bahwa inilah contoh "film yang matang". Entah apa maksudnya? Matang pohon atau jatuh tanah!

Namun yang saya sempat tidak tahan, terhadap film ini adalah bagaimana si sutradara menyelipkan adegan-adegan ganjil (cenderung nakal sebenarnya) yang saya yakin di bioskop Indonesia akan dibabat habis oleh Lembaga Sensor. Bagaimana si tokoh utama perempuan, digambarkan punya rutinitas harian yang absurd. Sejak ia bangun pagi, karena dering jam meja. Lalu bersiap mandi, mengisi bath-up, nyemplung bak, lalu masturbxxx.

[irp posts="7516" name="Film Paling Jelek 2017"]

Kemudian menyiapkan sarapan pagi, mengunjungi tetangga flat-nya yang ilustrator iklan (yang kemudian diketahui seorang homo), lalu berangkat kerja. Adegan ini diulang-ulang beberapa kali, sehinga menimbulkan rasa mual!

OK-lah, ia bisu, memiliki kemampuan komunikasi terbatas, ditampilkan sebagai wanita yang muram dan "tidak cantik", namun apa iya harus divisualkan memiliki kebiasaan dan hobby "yang itu tadi". Latar yang mungkin memberi penjelasan kenapa akhirnya ia jatuh cinta pada seekor monster, di laboratorium rahasia tempat ia bekerja sebagai tukang bebersih (cleaning service).

Ia jatuh cinta oleh monster itu, bermula dari sikap kasar si Pak Boss, yang suka menyetrum si makhluk ganjil itu. Hingga berkat bantuan teman-temannya berhasil mengajak pulang si monster ke rumahnya. Yang berlanjut pada adegan-adegan erotis, yang saya pikir sungguh luar biasa ganjil dan tidak masuk akal.

Sedemikian nakal dan liar sehingga menjadi adegan karikatural, komedi yang sungguh menimbulkan rasa iba. Bagaimana si perempuan menyumbat pintu kamar mandinya dengan kain-kain, agar air memenuhi ruang lalu bisa berenang bersama secara romantik. Sementara di lantai bawahnya, para penonton bioskop tunggang langgang karena bocoran air dari atasnya!

Ini sejenis gojekan cara orang Meksiko yang norak dan nyebahi, khas guyonan masyarakat dunia ketiga!

Di akhir cerita, sang penulis skenario memilih ending: kedua mahluk ini bersatu dalam kehidupan air. Si Monster yang sejak semula dianggap "Tuhan", karena bisa menyembuhkan sakit dan menghidupkan orang mati. Menjelaskan ide konkret kenapa ia harus dibunuh: ya hanya ingin menunjukkan bahwa Tuhan bisa dibunuh.

Ia membawa pergi si perempuan ke dunianya. Sebuah akhir yang datar dan tanpa kecanggihan apapun. Sedatar film ini, sekalipun berlatar belakang science-fiction tapi tanpa tontonan kecanggihan teknologi apapun. Cari pencuri saja ribet dan bertele-tele. Sebuah ejekan luar biasa, dimana pada akhirnya, tetap saja ketulusan hati, kekuatan nurani dan kejernihan naluri yang jauh lebih penting!

Tentu saja, saya menyarankan untuk yang pengen nonton, bersiap tersengal-sengal sesak dada, dan jauhkan anak-anak dari film sejenis ini. Bahkan parental advisory pun gak adanya gunanya!

***