Menyoal Larangan Cadar dan Radikalisme di Kampus

Kamis, 8 Maret 2018 | 16:38 WIB
0
734

Heboh soal larangan memakai cadar di Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta, seakan mengalami puncaknya, padahal, jauh sebelum ini pada tahun 2017 lalu, di kampus UIN Jakarta, seorang staf pengajar pernah diberhentikan karena terus “ngeyel” memakai cadar dalam setiap kali aktivitas mengajarnya.

Cadar seakan menjadi polemik yang kemudian “dipolitisasi” seakan-akan mereka yang melarang penggunaan cadar dianggap “liberal” atau bahkan melakukan pelanggaran HAM. Padahal, liberal dalam beberapa hal itu perlu, sebagai wujud kebebasan berpikir selama seluruh argumentasinya dapat dipertanggungjawabkan, pun soal HAM yang dibidik pada persoalan kebebasan beribadah, rasanya kurang tepat, karena cadar bukan ibadah, tetapi bagian dari ekspresi kebebasan berpakaian seseorang.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pernah merilis sebuah penelitian pada 2011 lalu, bahwa 5 perguruan tinggi negeri ternama telah disusupi paham radikal. Bahkan, tahun 2016 lalu, LIPI juga menyatakan hasil risetnya, bahwa 86 persen mahasiswa yang berasal dari beberapa kampus besar di Pulau Jawa menolak ideologi Pancasila dan menginginkan penegakkan syariat Islam (lipi.go.id, 19/2/2016).

Inilah barangkali yang menjadi acuan rektor UIN Yogyakarta melalui pernyataannya bahwa patut diduga mahasiswa yang bercadar menganut Islam yang “berlawanan dengan Pancasila, UUD 1945, dan Islam moderat di Indonesia (tirto.id, 07/3/2018). Fenomena cadar di kampus, seakan menjadi “pemicu” meningkatnya radikalisme yang justru kian marak di kampus-kampus.

Benarkah fenomena cadar terkait erat dengan peningkatan radikalisme di kampus?

Memang sangat simplistik jika membuat kesimpulan bahwa mereka yang memakai cadar cenderung “radikal” dibanding yang tidak. Untuk mengukur tingkat radikalisme, sangat banyak indikator yang harus dipakai, bahkan terkadang indikator-indikator tertentu cenderung tendensius bahkan mungkin prematur.

[irp posts="11981" name="Kemunduran, juga Inkonstitusional Larang Pemakaian Cadar di Kampus"]

Seperti misalnya, untuk mengukur seseorang toleransi atau intoleransi, diujikan dengan indikator seberapa sering seseorang mendengarkan berita keagamaan atau seberapa sering dirinya pergi ke masjid. Beberapa indikator penelitian ini tentu saja “tendensius” sehingga mengukur tingkat intoleransi dengan radikalisme belum tampak sepenuhnya utuh dan komprehensif.

Kita lupakan soal banyaknya penelitian soal intoleransi agama, karena hasil riset inipun mendapatkan banyak kritik dari beragam pihak, sehingga belum sepenuhnya menjadi ukuran baku yang patut dipublikasikan. Namun yang pasti, mengukur penggunaan cadar oleh mahasiswa di kampus—saya kira—belum dapat disimpulkan sebagai terindikasi radikalisme.

Walaupun memang sulit untuk tidak mengatakan bahwa, ekspresi seseorang yang memakai cadar, tidak semata-mata kesadaran dari dalam dirinya sendiri, namun lebih banyak terpengaruh oleh pemahaman agama yang cenderung ekstrim dan tidak moderat. Bagaimana tidak, kewajiban dalam syariat Islam, tentu saja adalah jilbab—dengan beragam perluasannya—yang pada umumnya yang boleh terlihat dari seorang wanita mukmin hanyalah “wajah” dan “telapak tangan”, tidak tertutup semuanya.

Memang sulit dipungkiri, soal cadar ini sangat sensitif, terlebih ditengah kondisi masyarakat yang sedemikian curiga terhadap berbagai pihak yang menginginkan negara ini menjadi “liberal”, tak ubahnya negara-negara Barat yang telah lebih dulu menganut paham liberalis. Isu liberal dan politisasi agama ini seakan menjadi arus utama yang sedemikian menguat ditengah ekspresi politik umat Islam Indonesia. Sehingga yang terjadi justru “benturan” di antara sesama umat Islam sendiri.

Dapat dibayangkan, soal umrah saja yang dilakukan pihak-pihak tertentu yang mengekspresikan kecintaannya kepada Tanah Air dengan menyanyikan lagu “yaa lal wathon” atau meneriakkan Pancasila di tengah-tengah ibadah sai, terus “digoreng” menjadi isu politik yang semakin menajam.

Entah, apakah ini erat kaitannya dengan tahun politik di tengah semaraknya pilkada dan sebentar lagi pilpres, namun yang jelas fenomena “benturan” itu terus menguat dan masing-masing pihak sulit ditarik ke arah titik temunya. Hal ini diperkeruh oleh ungkapan-ungkapan pro kontra yang terus membanjiri media konvensional dan sosial yang masing-masing tampak mempertahankan argumentasinya.

Ruang-ruang diskusi pro-kontra saat ini berpindah ke jalur media sosial yang justru semakin sulit dikontrol, sehingga terus menerus membelah opini masyarakat. Maka tak heran, soal apa saja, baik politik, hukum, agama, bahkan soal kebijakan kampus, sudah tidak lagi menjadi milik otoritas kampus untuk mengaturnya, tetapi publik sudah ikut menentukkan kemana arah kebijakan sebuah kampus semestinya diarahkan.

Bagi saya, cadar adalah persoalan “furu’iyyah” (cabang dalam agama) dan bukan “ushuliyyah” (pokok dalam agama), sehingga bercadar maupun tidak tentu saja pilihan masing-masing. Cadar yang kemungkinan terjemahan dari istilah “niqab” dalam bahasa Arab, memiliki konotasi yang sama dengan makna “jilbab” dalam terminologi syariat Islam.

Jilbab erat kaitannya dengan tradisi bangsa Arab, sehingga banyak sekali definisi yang berbeda. Terkadang istilah ini disebut “khimar”; (kerudung); atau “milhaf” (selimut); atau juga “niqab” (cadar).

Yang jadi persoalan kemudian, manakah batasannya berjilbab itu? Apakah wajahnya boleh terlihat atau ditutup semua hingga hanya mata yang terlihat? Itulah aspek budaya, bagaimana setiap orang mempunyai persepsinya sendiri-sendiri secara berbeda, disesuaikan dengan landasan syariat Islam yang telah ada.

Alangkah baiknya kita-pun tak terlampau alergi terhadap sebuah kebijakan, apalagi kebijakan tersebut tak berdampak serius terhadap ekspresi kebebasan seseorang. Saya kira, memakai jilbab bagi perempuan beriman sudah cukup, sebagai ekspresi sikap keberagamaan mereka, tanpa harus melebih-lebihkannya dengan menggunakan cadar.

Saya mengapresiasi ungkapan Prof Mahfud MD dalam akun twitter-nya yang menyebutkan, “tidak ada yang berhak melarang orang menutupi diri dengan berpakaian apa saja. Tapi jangan menista orang dengan berpakaian biasa dengan melanggar agama. Pakaian itu boleh apa saja, asal sopan saja”.

Saya justru khawatir, nanti timbul isu yang berkembang, menyoal cadar dilarang, tetapi pakaian tak sopan dibiarkan. Inilah yang kemudian menjadi dampak dari “goreng-menggoreng” isu yang belakangan semakin melampaui batas yang keseluruhannya seperti tampak bicara agama, padahal urusan dunia.

Saya kira, UIN Yogyakarta juga harus menjelaskan kepada publik, alasan-alasan logis yang dapat diterima semua pihak, soal mengapa diberlakukan soal larangan cadar. Membuat kebijakan, tentu saja harus mengandung aspek kemanusiaan demi tujuan-tujuan kemaslahatan bukan melanggarnya. Sejauh ini, ungkapan-ungkapan nyinyir soal UIN yang memang kampus berbasis pendidikan agama Islam, selalu dimanfaatkan menjadi isu-isu politik demi kepentingan-kepentingan bisnis dan keekonomian.

Padahal, sejauh ini, UIN selalu mempromosikan nilai-nilai moderat ajaran Islam yang ditunjukkan oleh beragam jurusan dan konsentrasi bidang keagamaan, walaupun belakangan minat terhadap jurusan keagamaan di UIN jelas relatif menurun, dibanding ketika UIN masih menjadi IAIN. Ketika sudah sepi peminat terhadap jurusan keagamaan saja, UIN masih terus dipersepsikan sebagai kampusnya orang-orang “liberal”.

Marilah berpikir dan bersikap moderat (tasamuh, adil, tawazun), karena hanya itu yang akan mendekatkan seseorang kepada takwa.

***

Editor: Pepih Nugraha