Mencipta Masyarakat Terbuka, Mengusir Musuh-musuhnya

Rabu, 21 Februari 2018 | 09:19 WIB
0
459
Mencipta Masyarakat Terbuka, Mengusir Musuh-musuhnya

Karl Popper, filsuf asal Austria, pernah menulis buku dengan judul Die offene Gesellschaft und ihre Feinde, atau masyarakat terbuka dan musuh-musuhnya. Di dalam bab akhir buku tersebut, ia mengajukan pertanyaan, apakah sejarah dunia memiliki makna?

Ada beragam jawaban atas pertanyaan tersebut yang dirumuskan oleh berbagai pemikir di sepanjang sejarah manusia. Di hadapan beragam bencana dan penderitaan yang menimpa manusia, banyak pemikir yang menjawab, bahwa sejarah dunia tidak memiliki makna apapun. Semua harapan akan kandas oleh perang dan konflik yang menghancurkan segalanya. (Frank, die Zeit, 2015)

Masyarakat terbuka

Popper memutuskan untuk menulis buku Die offene Gesellschaft und ihre Feinde pada 13 Maret 1938. Pada hari itu, tentara Nazi Jerman menyerang Austria. Keadaan perang di Eropa pada masa itu telah membuat Popper terpaksa melarikan diri ke New Zealand. Bagaimanapun juga, ia adalah warga kota Wina keturunan Yahudi. Nyawanya dan keluarganya terancam, akibat sepak terjang Nazi Jerman di Eropa. 

Tujuh tahun kemudian, yakni pada 1945, buku tersebut terbit, persis ketika perang dunia kedua mulai berakhir di Eropa. Buku tersebut adalah sumbangan Popper untuk melawan segala bentuk konflik, akibat keberadaan rezim-rezim tertutup, seperti Nazisme, Komunisme dan Stalinisme.

Bagi Popper pribadi, nama-nama penguasa totaliter, seperti Hitler dan Stalin, adalah nama-nama yang menjijikan. Ia melihat mereka sebagai musuh-musuh masyarakat terbuka, sekaligus musuh-musuh dari peradaban itu sendiri. Seluruh usaha tata politik haruslah diarahkan untuk mencegah jatuhnya negara dan masyarakat ke dalam rezim-rezim semacam itu.

Harapan

Sejak masa pencerahan Eropa, ada harapan besar, bahwa manusia akan menciptakan peradaban yang terbuka untuk semua. Di dalam peradaban ini, tidak ada lagi kemiskinan dan brutalitas dalam bentuk perang. Namun, harapan ini musnah di hadapan dikte peristiwa. Perang dunia pertama dan perang dunia kedua yang menghantam berbagai belahan dunia memupuskan harapan tersebut. Brutalitas masih menjadi bagian peradaban manusia yang seolah tak mau hilang. (Wattimena, 2015)

[caption id="attachment_10914" align="alignright" width="507"] Karl Popper (Foto: khemenei.ir)[/caption]

Sampai sekarang, menurut Popper, manusia belum pulih dari trauma kelahiran peradabannya sendiri, yakni masa peralihan dari pemerintahan totaliter-teror menuju masyarakat terbuka yang ditandai dengan kebebasan, demokrasi, keadilan dan solidaritas. Terlalu banyak korban jiwa yang bergelimangan di dalam masa-masa peralihan tersebut. Terlalu banyak keluarga yang kehilangan sanak saudaranya.  Di beberapa negara, kebebasan, demokrasi, keadilan dan solidaritas sudah relatif dapat diwujudkan. Namun, ini pun melahirkan beragam tantangan baru.

Kebebasan dapat menciptakan rasa takut. (Frank, die Zeit, 2015) Kebebasan bisa membuat manusia lelah, sehingga ia tergoda untuk kembali hidup di dalam masyarakat tertutup. Pendek kata, ia ingin kembali dijajah. Inilah salah satu alasan, mengapa begitu banyak gerakan-gerakan yang melawan keterbukaan di berbagai tempat di dunia. Gerakan-gerakan tertutup ini memanfaatkan keterbukaan informasi serta kebebasan berorganisasi yang ada di dalam beragam masyarakat demokratis. Di sisi lain, di dalam masyarakat yang menekankan kebebasan dan demokrasi, sikap ketidakpedulian serta egoisme ekstrem kini justru menjadi budaya baru yang bertumbuh pesat.

Cita-cita pencerahan dalam bentuk kebebasan, rasionalitas dan keadilan sosial memang adalah cita-cita yang baik untuk diperjuangkan. Namun, upaya yang dilakukan belum cukup. Bahkan, banyak ahli yang berpendapat, bahwa justru cita-cita pencerahan itulah yang mendorong terjadinya dua perang dunia di awal abad 20 lalu. Sisi gelap dari pencerahan seolah menjadi hantu yang terus membayangi berbagai cita-cita luhurnya sendiri. Dialektika ini berlangsung terus, sampai sekarang.

Upaya untuk mencapai kebebasan dan keadilan selalu dibareng konflik yang menghasilkan penderitaan berkepanjangan. Perjuangan untuk mencapai kebebasan dan keterbukaan, menurut Popper, memang adalah perjuangan abadi. Ia tidak akan pernah selesai. Teror dan penderitaan adalah bayangan yang mungkin tak akan pernah bisa sepenuhnya dihindari. Berbagai upaya untuk menggambarkan penderitaan yang lahir dari teror dan konflik tidak akan pernah cukup untuk secara adil menggambarkan apa yang sesungguhnya terjadi.

Sejarah dan Tuhan

Dewasa ini, berbagai bom menghantam banyak kota di dunia, mulai dari Ankara, Istanbul, Bagdad, Jakarta, Paris dan Brussel. Gerakan ekstrimis yang didukung oleh persenjataan lengkap seolah tak akan dapat dikalahkan sepenuhnya. Berhadapan dengan ini, kita patut bertanya, apa makna semua ini? Pesimisme terada di udara, ketika kita mencoba menjawab ini. Para filsuf mencoba mengajukan semacam arah luhur untuk menjawab pertanyaan ini. Namun, arah tersebut kerap tidak akan pernah menjadi kenyataan.

Kita di Indonesia kerap berpikir, bahwa musibah adalah cobaan ataupun hukuman dari Tuhan. Jadi, kita melemparkan tanggung jawab kita kepada Tuhan atas segala musibah yang kita alami. Pertanyaan kecil atas cara berpikir seperti ini adalah, mengapa Tuhan memberikan cobaan dan hukuman pada kita? Beberapa orang menjawab, yakni untuk menguji kesetiaan kita? Akan tetapi, mengapa Tuhan membutuhkan kesetiaan kita? Bukankah Tuhan sudah sempurna pada dirinya sendiri?

Penjelasan dengan menggunakan konsep Tuhan justru menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru. Ini jelas tidak membantu. Sebagai manusia, kita tidak boleh melarikan diri dari tanggung jawab atas tindakan kita yang telah menghasilkan begitu banyak penderitaan bagi banyak orang, dan juga bagi banyak mahluk hidup lainnya. Yang kita perlukan adalah perubahan cara berpikir secara mendasar tentang seluruh hidup kita. Setelah itu, baru hidup kita pun akan berubah, yakni hidup yang penuh dengan tanggung jawab pada lingkungan keseluruhan sekitar kita.

Masyarakat Terbuka

Karl Popper menawarkan sudut pandang dalam hal ini. Ia mengajak kita untuk menjadikan cita-cita terciptanya masyarakat terbuka sebagai makna hidup kita. Tentu saja, ini adalah proses yang tiada akhir. Namun, selangkah demi selangkah, masyarakat terbuka bisa semakin didekati, walaupun tak pernah bisa sepenuhnya terwujud. Perjuangan untuk mendirikan masyarakat terbuka (der Kampf um offene Gesellschaft), bagi Popper, juga dapat dilihat sebagai makna dari gerak sejarah dunia (die Bewegung der Weltgeschichte).

Apa artinya berjuang untuk mendirikan masyarakat terbuka? Artinya, menurut Popper, kita berjuang untuk terciptanya demokrasi yang sesungguhnya. Ini bukan karena demokrasi adalah pemerintah oleh mayoritas, seperti yang yang banyak disangka orang. Namun, karena demokrasi adalah sistem politik yang paling manusiawi. Perang berdarah dan diskriminasi bisa dikurangi di dalam tata politik demokratis. Komitmen Popper pada masyarakat terbuka dan demokrasi lahir dari pengalaman dia berhadapan dengan Fasisme dan Komunisme yang berkembang di Eropa pada awal abad 20 lalu.

Dewasa ini, dunia seolah hanya punya satu pilihan terkait dengan tata ekonomi, yakni ekonomi pasar bebas. Banyak keunggulan dari tata ekonomi ini. Namun, ia juga harus dibarengi dengan tata hukum yang kuat, yakni kehadiran negara hukum yang kokoh. Ia menjamin, bahwa kebebasan, keterbukaan dan persaingan di dalam ekonomi pasar bebas tidak menguntungkan satu pihak, dan merugikan pihak lainnya. Dengan kata lain, kehadiran tata hukum yang adil dan kokoh menghindarkan masyarakat dari penyalahgunaan kebebasan untuk menindas pihak-pihak yang lemah.

Perjuangan melawan teror dan kekerasan juga harus dilihat dalam kaca mata ini. Ini juga adalah bagian dari perjuangan untuk mendirikan masyarakat terbuka. Peradaban manusia sepenuhnya bergantung pada upaya untuk mewujudkan masyarakat terbuka, dan meredam semua musuh-musuhnya, termasuk teror dan kekerasan. Ini juga harus dilihat sebagai bagian dari makna sejarah dunia. Jadi, tunggu apa lagi?

***

Editor: Pepih Nugraha