Kalau di Belahan Dunia Lain, Pak Tito Sudah Langsung Letak Jabatan

Kamis, 1 Februari 2018 | 22:15 WIB
0
399

Andaikata Indonesia memiliki budaya “self appraisal” (menilai diri), maka hari ini kita seharusnya membaca judul berita “Tito Karnavian Meletakkan Jabatan”. Kita akan melihat siaran langsung dari Mabes Polri yang menayangkan pernyataan singkat Jenderal Tito di depan pintu masuk gedung. Awak media dengan belasan kamera, siap rolling. Live event. Pak Tito mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan Kapolri.

Selesai mengumumkan pengunduran dirinya, Pak Tito langsung menuju ke Istana untuk melaporkan kepada Presiden Joko Widodo tentang keputusan terbaik yang diambilnya. Keputusan demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap Polri dan juga terhadap pemerintah secara keseluruhan.

Presiden menunjuk Wakapolri sebagai Pjs Kapolri, menunggu fit and proper test di DPR.

[embed]https://youtu.be/0p0HcLUyUCU[/embed]

Begitulah kira-kira urut-urutan peristiwa yang seharusnya terjadi setelah terungkap bahwa Pak Tito menyudutkan dan memburukkan ormas-ormas Islam di luar NU dan Muhammadiyah sebagai pihak yang tidak perlu bersinergi dengan mereka; bahwa mereka adalah ormas-ormas yang akan menghancurkan negara.

Di belahan dunia lain, para pejabat penting yang melakukan kesalahan fatal, bahkan terkadang kesalahan kecil sekalipun, seringkali mereka bayar dengan peletakan jabatan. Begitulah tingginya kesadaran mereka. Kesadaran bahwa kalau mereka tidak mundur, maka polemik di media akan berlanjut terus. Si pejabat penting akan menjadi beban pemerintah.

[irp posts="9382" name="Soal Pak Tito, Said Aqil Siradj Tak Perlu Menakut-nakuti Orang"]

Kepala pemerintahan, apakah itu perdana menteri (PM) atau presiden, akan dicecar terus dengan pertanyaan-pertanyaan menohok. Berhari-hari media membahas apakah si pejabat masih pantas bertahan atau tidak. Biasanya, seorang pejabat yang telah melakukan kesalahan fatal, langsung mengerti apa yang yang harus dilakukannya. Dan dia sudah tahu bahwa kalau dia tidak mundur, hampir pasti akan dipecat. Sebab, PM atau presiden tidak akan membiarkan kasus si pejabat mengambil alih perhatian media dan masyarakat.

Di negeri kita lain. Pejabat yang membuat kesalahan fatal, seperti yang dilakukan oleh Pak Tito, tidak bakalan mengambil langkah mengundurkan diri. Dan, kepala pemerintahan pun juga tidak merasa perlu memecat bawahannya yang jelas-jelas telah melakukan kekeliruan yang “irreparable” (tak bisa diperbaiki). Itulah Indonesia: yang seharusnya dianggap masalah menjadi bukan masalah, yang bukan masalah menjadi masalah.

Nah, sebesar apa kesalahan Pak Tito terkait penyataannya tentang ormas-ormas di luar NU dan Muhammadiyah yang beliau sebut akan meruntuhkan NKRI?

Sangat, sangat serius. Pernyataan seperti ini tendensius. Ormas-ormas di luar NU dan Muhammadiyah sekarang ini merasa terpojok dan menjadi tertuduh. Mereka dituduh sebagai ormas-ormas yang akan merontokkan Indonesia. Labelisasi seperti ini sangat destruktif. Character assassination, pembunuhan karakter.

Kesalahan ini masuk kategori “you are finished”. Alias, tak bisa dilanjutkan lagi. Tidak harus Pak Tito menjadi pejabat di Eropa, Amerika atau Jepang. Di sini pun sudah sangat mengganggu. Bagaimana mungkin Pak Tito memperbaiki hubungan dengan para pemimpin dan warga ormas-ormas yang telah beliau label sebagai “penghancur negara”?

Tidak mungkin! Sebab, pernyataan Pak Tito itu bukan keseleo biasa. Labelisasi beliau terhadap ormas-ormas non-NU dan non-Muhammadiyah sangat kental berkonten ideologi. Artinya, pernyataan Pak Tito itu adalah kesimpulan ideologis beliau bahwa ormas-ormas itu adalah “musuh negara”. Dari sini, Pak Tito sebagai Kapolri kemudian melembagakan sikap institusi Polri terhadap ormas-ormas yang dianggap berbahaya tersebut.

[embed]https://youtu.be/q1ssZRUQZzM[/embed]

Pak Tito masih mencoba melakukan “damage limitation exercise”. Melakukan langkah-langkah untuk memperkecil kerusakan. Beliau menjumpai pimpinan ormas-ormas yang terpojok itu. Boleh-boleh saja. Tetapi, ada lagi istilah “damage has been done”. Luka yang mereka alami membekas sangat dalam. Peluk-pelukan dan senyum lebar tidak mungkin menghilangkan luka “tusukan yang mematikan” itu.

Nasi telah menjadi bubur. Pejabat tinggi Polri bidang penerangan, Brigjen Mochammad Iqbal, mengatakan, video Pak Tito yang beredar itu dipotong dari 26 menit menjadi 2 menit. Kata Pak Iqbal, ini menyebabkan pesan yang terdengar menjadi tidak utuh.

Akan tetapi, video versi 2 menit itu sama sekali tidak menyesatkan orang yang mendengarkannya. Cukup jelas apa yang dikatakan Pak Tito bahwa hanya NU dan Muhammadiyah yang berjuang membangun Indonesia, sedangkan ormas-ormas lain bukan pendiri negara sebaliknya mau merontokkan negara.

Kaum muslimin itu pemaaf. Seratus persen benar. Pasti semua ikhlas memberikan maaf. Tetapi, pintu ini bukan untuk dieksploitasi oleh orang-orang yang telah memiliki rekam jejak yang sumbang terhadap kaum muslimin.

***

Editor: Pepih Nugraha