Ziarah Kubur di Antara Tradisi Agama dan Citra Politik

Sabtu, 20 Januari 2018 | 19:07 WIB
0
427
Ziarah Kubur di Antara Tradisi Agama dan Citra Politik

Sudah menjadi hal lumrah, mungkin sejak berdirinya NKRI ini, setiap siapapun yang akan terjun dalam ajang kontestasi politik di manapun di Tanah Air, tradisi ziarah kubur menyambangi para mendiang ulama kharismatis, pahlawan nasional, atau tokoh-tokoh masyarakat menjadi pemandangan umum.

Seakan sulit dibedakan, mana tradisi keagamaan dan mana bentuk pencitraan politik, karena keduanya lebur dan masing-masing “muatan” ada dalam fenomena keduanya.

Jika saya mengatakan, ziarah menjelang kontestasi hanyalah pencitraan, tentu saja akan mendapatkan penolakan dari pihak-pihak yang berkayakinan, ziarah kubur adalah menjalankan tradisi agama, bukan bentuk pencitraan politik semata. Walaupun di sisi lain, jika memang ziarah kubur menjadi tradisi keagamaan, kenapa seringkali hanya dilakukan saat menjelang kontestasi?

Sejatinya, manusia adalah makhluk peziarah, karena hampir di setiap inci kehidupannya selalu bergerak dari satu titik ke titik yang lain. Kata “ziarah” yang berasal dari akar kata bahasa Arab, “zaara” yang memiliki konotasi “seseorang yang berpindah/berkunjung karena suatu tujuan, ingin bertemu dengan seseorang atau maksud tertentu”.

Hampir dipastikan, manusia bukanlah makhluk yang berdiam diri, namun selalu bergerak, “berziarah”, bertemu dengan banyak orang, bersosialisasi, bahkan dalam durasi waktu yang tak terbatas. Dalam konteks tradisi atau budaya—seperti dalam agama Islam—ziarah tidak selalu ditujukan bagi seseorang yang masih hidup, namun kepada mereka yang pernah memiliki jasa-jasa kemanusiaan, walaupun sudah meninggal.

Entah kenapa, tradisi ziarah kubur yang seringkali dilakukan para kontestan politik jelang digelarnya pemilihan umum, sepertinya sekadar ingin mendapatkan “pengakuan” dari masyarakat, bahwa mereka adalah bagian dari pemelihara dan penjaga tradisi ziarah tersebut. Seringkali para kontestan takut mendapatkan sangsi sosial dari perlakuan hukum moral yang ada dalam sebuah masyarakat.

Kita tentu seringkali menyaksikan, dari seseorang yang menjadi kontestan politik lokal, seperti bupati, walikota, atau gubernur, terlebih dalam sebuah ajang kontestasi politik nasional, seperti presiden, tradisi ziarah kubur seperti hendak memperkuat “citra politik” sehingga mereka mampu terhindar dari beragam sangsi sosial yang berdampak pada sisi elektabilitas mereka.

Ziarah kubur, tentu saja merupakan salah satu dari ajaran Islam dalam rangka menjalin silaturrahim antara “yang hidup” dan “yang mati”. Berkunjung kepada yang hidup, tentu saja jelas tujuannya, bertemu langsung dan mengetahui secara pasti tempatnya.

Adapun berkunjung kepada “yang mati” selalu diidentikkan dengan mendatangi pusaranya, walaupun sesungguhnya jiwa yang sudah terpisah dari raga, tentu saja bisa berada dimana saja, bahkan dapat “dikunjungi” atau “dihadirkan” setiap saat kita menginginkannya.

[irp posts="7188" name="Masih Efektifkah Strategi Pencitraan Joko Widodo?"]

Seorang muslim yang berharap ingin bertemu dengan Rasulullah, maka tidak harus datang ke pusaranya di Masjid Nabawi, Madinah, tetapi cukup melakukan “tirakat”, seperti berdoa secara khusus dan menjalankan sholat sunnah, maka jika Allah mengizinkan, Rasulullah dapat hadir dalam setiap mimpi kita.

Menariknya, soal ziarah kubur saja, masih saja ada segelintir kelompok muslim yang mempermasalahkannya, karena ziarah kubur dengan memohon sesuatu kepada yang sudah “mati” jelas dianggap sebagai perbuatan syirik yang dosanya sulit terampuni.

Sulit juga rasanya kita membedakan, mana sebuah ziarah kubur yang bermakna silaturrahim dengan mendoakan dan memohonkan ampunan bagi mereka yang telah terlebih dahulu meninggalkan kita, dengan dorongan dan muatan niat kita untuk mendapatkan “barokah” dan mungkin saja meminta “restu” agar segala yang kita rencanakan diberikan kelancaran dan kesuksesan. Bukankah berdoa untuk segala kemudahan dan kesuksesan hidup itu mestinya langsung saja kepada Tuhan?

Akan semakin kabur lagi makna ziarah kubur jika dilakukan menjelang kontestasi politik: silaturrahim kepada “yang mati” dengan mendoakan dan memohonkan ampunan, mencari restu dan keberkahan, ataukan pencitraan karena khawatir akan sangsi sosial?

Di Indonesia, tradisi ziarah kubur beserta fenomena “ngalap berkah” telah menjadi warisan tradisi turun temurun yang mengakar dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU). Ormas Islam terbesar ini disebut sebagai penganut tradisionalisme, karena memang penjagaannya atas nilai-nilai kultur masyarakat dan budaya Islam Nusantara hingga saat ini.

Membedah fenomena ziarah kubur dalam tradisi NU ini juga sulit dibedakan, mana yang benar-benar memiliki tujuan “lurus” dalam berziarah, sekadar “ta’dzim” (penghormatan) atas jasa para ulama yang senantiasa berjuang demi umat, mendoakannya dan memohonkan ampunan untuknya, atau ada juga yang terkadang melampaui batas, “meminta” dan bahkan “meyakini” bahwa merekalah yang dapat mengabulkan seluruh keinginannya, termasuk keinginannya memenangi sebuah kontestasi politik.

Bagi saya, tanpa ziarah kubur sekalipun, manusia memang mahluk peziarah, tak pernah berhenti untuk bergerak dan berpindah. Bahkan, ketika tidurpun, manusia tetap bergerak, di mana jantung dan aliran darah tetap berfungsi dan bergerak sesuai jalurnya.

Menarik dalam sebuah artikelnya, Prof Komarudin Hidayat, menyebutkan unsur manusia yang memiliki emosi, yakni “energy” dan “motion”—sebuah jiwa yang bergerak dan menggerakkan, sehingga lahir nuansa suka-duka, senang-sedih, dan banyak perasaan lain yang hadir yang senantiasa menggerakkan manusia. Bahkan tanpa sadar, sesungguhnya bumi yang selama ini kita pijak, selalu bergerak tak pernah diam.

[irp posts="8376" name="Ziarah ke Makam Presiden Nahdlatul Ulama Pertama"]

Ziarah kubur, barangkali adalah “motivasi” yang dapat menggerakkan, tidak hanya “yang hidup” tetapi juga “yang mati” karena doa-doa yang disampaikan oleh yang masih hidup, berdampak kepada mereka yang sudah tiada. Doalah yang dapat “menghidupkan” yang mati, bukan ziarah itu sendiri, karena doa jelas melahirkan nuansa emosi yang pada akhirnya saling terhubung dan menjalin silaturrahim.

Itulah kenapa, suasana ziarah kubur yang dilakukan para kontestan politik yang kemudian diekspose banyak media, tak lebih dari sekadar bentuk “pencitraan” berharap tak jatuh kepada mereka sangsi sosial karena melanggar hukum moral dari masyarakat.

Lalu apa masalahnya dengan ziarah kubur? Ziarah kubur jelas tak pernah dimasalahkan, karena ajaran Islam pun mengabadikannya melalui tradisi yang berasal dari Rasulullah, hanya saja ziarah kubur yang dilakukan jelas dengan tujuan, mendoakan, memohonkan ampunan, dan bagian dari penghormatan atas jasa-jasa seseorang selama dirinya masih hidup, tak lebih!

Jangan sampai, seakan-akan secara sadar, para kontestan malah mengeksploitasi yang sudah mati, seakan-akan dengan berziarah ke pusaranya mereka mendapat “restu” dan “dukungan” dari mereka.

Pertanyaannya, jika memang para kontestan politik ini tidak melakukan ziarah kubur kepada orang-orang tertentu, akankah gugur pencalonannya? Atau gagalkah nanti dalam ajang kontestasi politik?

Di sinilah uniknya politik, tidak ramai di dunia nyata, dunia maya, bahkan mungkin dunia alam ghaib!

***

Editor: Pepih Nugraha