Cinta Menurut Al Quran dan Sebab Kenapa Tidak Mencintai (Lagi)

Rabu, 10 Januari 2018 | 08:41 WIB
0
1020
Cinta Menurut Al Quran dan Sebab Kenapa Tidak Mencintai (Lagi)

Membicarakan soal “cinta” seakan merujuk pada sesuatu yang bersifat abstrak, melangit, penuh imajinatif, dan sulit sekali membuat sebuah definisi yang tepat. Terminologi “cinta” atau “love” atau “mahabbah” sepertinya hanya dapat dipahami secara subjektif, hanya dirinyalah dan Tuhan yang paling mengetahuinya.

Padahal, cinta sesungguhnya yang seringkali dapat “menyatukan” beragam perbedaan, bahkan sesuatu yang saling bertentangan seringkali dapat disatukan oleh sesuatu yang disebut “cinta”. Lalu, kenapa tiba-tiba cinta dapat memecah-belah, memisahkan, menceraikan, setelah sebelumnya sebuah “ikatan” berdasarkan cinta dirajut?

Saya mencoba menelusuri definisi “cinta” yang secara khusus banyak disebutkan dalam kitab suci Al-Quran, yang sepertinya memang beragam. Untuk menyebut beberapa istilah saja, kitab suci Al-Quran menyebut istilah cinta dalam berbagai kata yang berbeda-beda. Kadangkala “cinta” didefinisikan dalam kata “hubb”, atau “mawaddah”, dan yang paling umum adalah “rahmah”.

Lalu, dimana letak perbedaan sesungguhnya? Untuk mendefinisikan soal cinta saja, Al-Quran memberikan begitu banyak istilah yang merujuk pada makna cinta secara konotatif. Itulah karena istilah “cinta” sulit didefinisikan secara objektif, mengingat terkait dengan beragam faktor, baik yang berasal dari dalam diri seseorang maupun di luar dirinya sendiri.

Saya secara lebih khusus, tertarik untuk memulai melihat arti cinta yang kemudian mewujud dalam sebuah ikatan pernikahan. Secara umum, pernikahan yang terjadi diantara dua orang yang berlawanan jenis, tentu saja tidak hanya sepakat bersama dalam ikatan cinta, tetapi lebih jauh dari itu, pernikahan secara khusus merupakan bersatunya dua insan dalam sebuah “ikatan Tuhan”.

Menikah, tidak semata urusan sosial, tetapi juga urusan tradisi, budaya, bahkan agama. Sudah sejak zaman dahulu, pernikahan itu “sakral” dan secara langsung menghadirkan para tetua, tokoh-tokoh adat, atau para rohaniwan keagamaan.

Pernikahan, disebut dalam kitab suci Al-Quran, sebagai bagian dari tanda-tanda Kemahakuasaan Tuhan yang sulit untuk dijangkau rasionalitas, karena akibat kekuatan sebuah cinta—padahal sebelumnya tidak—lalu kemudian mampu menyatukan dua hal yang berbeda: laki-laki dan perempuan. Bahkan, dalam diri laki-laki dan perempuan sudah pasti memiliki dua perbedaan yang mungkin saja saling bertentangan, tetapi mampu disatukan karena cinta.

Siapa yang mampu mendatangkan cinta selain Allah? Inilah barangkali yang dimaksud bahwa pernikahan adalah salah satu rahasia Tuhan yang terkadang kita sendiri sulit memahaminya.

Dalam soal pernikahan yang “menyatukan” dua insan yang berlainan jenis, Al-Quran menggambarkan begitu indah, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram (sakinah)  kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih (mawaddah) dan sayang (rahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (QS. Arruum: 21).

Terdapat tiga kata yang saya garis bawahi dalam ayat tersebut, yang seringkali terbiasa kita dengar ketika mendoakan mereka yang telah menikah, agar menjadi keluarga yang “sakinah”, “mawaddah” dan “rahmah”.

Kata “sakinah” tentu saja disebut terlebih dahulu, mengingat kata ini yang berkonotasi “cenderung mentramkan” seseorang ketika sudah bertemu pasangan hidupnya. Kecenderungan nyaman seseorang, tentu saja merupakan level cinta yang paling bawah, karena jika sudah merasa tidak lagi nyaman, cinta pasti tercerabut dari hatinya dan yang muncul justru kebencian dan ketidaksukaan.

Oleh karena itu, kenyamanan harus diperkuat melalui sebuah kondisi yang disebut dengan “mawaddah” (rasa kasih) dimana ketentraman akan lebih bertenaga, ketika rasa mengasihi satu dan yang lainnya selalu hadir dalam suasana kenyamanan mereka yang telah menikah.

Mawaddah” merupakan pra-kondisi yang akan mengantarkan pada level cinta tertinggi, yaitu “rahmah”, karena kata ini memiliki konotasi “conditional love” atau “cinta kerena”, yang memang biasanya terjadi diantara manusia. Seseorang mencintai karena kecantikan, kekayaan, kecerdasan, atau karena terkenal, publik figur, keturunan “darah biru”, keluarga kaya, dan masih banyak lagi.

Jika level cinta hanya berhenti pada “mawaddah”, maka dipastikan, “cinta karena” akan banyak menimbulkan masalah dibelakang hari, sebab kondisi itu fluktuatif, berubah-ubah secara dinamis.

Oleh karena itu, Tuhan mengajarkan agar setiap manusia mampu mencapai puncak rasa cinta yang dalam bahasa Al-Quran disebut sebagai “rahmah”. Istilah ini mengandung konotasi “unconditional love” yang dalam terminologi umum disebut, “cinta walaupun”.

Seseorang yang sudah dihiasi oleh cinta yang “rahmah”, akan tetap merasakan cinta, walaupun orang lain tidak mencintai dirinya, walaupun sudah tidak seperti dulu, walaupun sudah berumur lanjut, walaupun sudah tidak lagi memberikan kehangatan, walaupun dan walaupun, karena sesungguhnya “rahmah” merupakan puncak tertinggi dari kenyataan cinta yang tanpa syarat. Betapa indah Al-Quran mengajak setiap manusia untuk memahami dan mendalami apa itu cinta yang sesungguhnya.

Belakangan kita seringkali dikejutkan, oleh semakin banyak publik figur yang secara tiba-tiba “bercerai” dengan pasangan hidupnya, karena tentu saja cinta yang mereka rasakan dan pahami, hanya berkutat pada level satu atau dua, sekadar “sakinah” dan “mawaddah” atau hanya merasa “tentram” dan timbul rasa “kasih” belum sampai pada tingkat rasa menyayangi tanpa syarat.

Itulah kenapa, dalam ajaran Islam, bercerai atau berpisah (tafarraquu) itu dilarang dan diharamkan, seraya diperintahkan Tuhan untuk “bersatu” dalam “ikatan Tuhan” yang kokoh (wa’tashimuu bi hablillahi). Jika saja pernikahan disadari oleh setiap manusia sebagai sebuah “ikatan kemanusiaan yang dipersatukan Tuhan”, maka seharusnya tidak mudah terjadi perceraian, karena Tuhan dipastikan akan marah, karena ikatan-Nya “dirusak” oleh perceraian.

Berbahagialah, jika sebagian diantara kita diberikan oleh Tuhan rasa cinta berupa “rahmah” yang secara lebih luas, tidak saja mewujud dalam sebuah ikatan pernikahan, namun lebih jauh dari itu, mencintai siapapun tanpa syarat, karena cinta yang demikian pada akhirnya selalu “mempersatukan” dan menolak untuk “memecah-belah” apapun kondisinya.

Inilah “rahmah” yang ditanamkan kedalam diri Nabi Muhammad SAW, sehingga secara gamblang Al-Quran menyebut, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu..” (QS. Ali Imran: 159). Disini kita bisa mengukur, kenapa cinta itu selalu hadir dalam diri sesorang dan kenapa kemudian orang-orang tidak mencintai (lagi) kepada orang lain atau pasangan hidupnya.

***