Masih Efektifkah Strategi Pencitraan Joko Widodo?

Rabu, 3 Januari 2018 | 19:28 WIB
0
283
Masih Efektifkah Strategi Pencitraan Joko Widodo?

Secara logika dan pengamatanku semenjak masa Pilkada Jakarta 2012, Joko Widodo pastinya tahu bener akibat dari pemakaian kaos oblong dan sneaker-nya itu di acara peresmian kereta bandara Soekarno-Hatta, 2 Januari 2018 kemarin.

Menimbulkan debat etis atau tidaknya, menjadi tema obrolan pujian, nyinyiran, nyonyoran di tengah-tengah masyarakat dan apalagi di medsos. Akan menjadi bahan pemberitaan utama media-media arus utama, khususnya oleh media-media pendukungnya.

Karena itu emang khas strategi dan taktik pencitraannya sedari awal, yang sampai saat ini belum kuketahui siapa otak di belakangnya. Apakah dari idenya sendiri, sosok konsultan atau dari tim khusus pencitraannya. Menciptakan citra sederhana, bersahaja, ndeso.

Melakukan aksi atau kebijakan yang nyeleneh seperti mengangkat menteri wanita lulusan SMP yang tattoan dan perokok, membedakan dus menonjolkan dirinya melalui cara berpakaian (kemeja kotak-kotak, stelan hitam putih, sandal jepit dan seterusnya).

Saya masih ingat persis ketika Jokowi mengundang 100 Kompasianer, di antaranya saya sendiri. Para peserta diharuskan mengenakan batik, padahal ia sendiri memakai kemeja putih dan celana panjang berwarna hitam. Sehingga, dirinya begitu menonjol di kerumunan peserta acara tersebut. Selain itu, foto-foto yang menonjolkan dirinya pun bertaburan di Internet.

Tujuannya apa?

Tujuannya menjadikan dirinya top of mind khalayak dan untuk konteks sekarang sekaligus sebagai upaya pengalihan isu yang bersifat negatif bagi citranya atau paling tidak mengurangi fokus masyarakat terhadap hasil kerja kepemimpinanya yang tidak bisa diandalkan, semisal utang negara yang meningkat drastis dan penurunan daya beli masyarakat yang sangat signifikan.

[irp posts="7131" name="PKL, Ranjau Populisme" Mematikan, Jangan Sampai Terinjak!"]

Strategi atau rekayasa pencitraan itu terbukti telah berhasil membawanya menjadi Gubernur DKI Jakarta hingga menjadi Presiden Indonesia. Sampai sekarang sepertinya Joko Widodo masih menggunakan teknik rekayasa pencitraan itu. Apakah strategi itu masih efektif digunakan untuk melanjutkan jabatannya hingga ke periode kedua?

Sepertinya sih tidak akan. Mengingat secara realitanya cukup banyak hal kontradiktif dari citra sederhana yang diciptakannya. Seperti memboyong kereta-kereta kencana di acara pesta pernikahan anaknya dan pelisiran mancing di laut dengan kapal pesiar.

Tapi ya entahlah ya, faktor penentunya ya rakyat sendiri. Apakah rakyat sudah semakin cerdas menilai dan memilih siapa yang akan memimpinnya berdasarkan pengalaman yang dirasakannya sendiri dan tidak mudah lagi dibuai oleh teknik-teknik rekayasa pencitraan, atau tingkat pendidikan politiknya masih begitu-begitu aja...

***