Kekeliruan Menteri Susi di "Hari Korupsi Internasional"

Selasa, 12 Desember 2017 | 08:07 WIB
0
337
Kekeliruan Menteri Susi di "Hari Korupsi Internasional"

Bu Menteri KKP, Susi Pudjiastuti, pada diskusi panel ini tak menjadi pembicara, namun ia aktif menyela dan meramaikan dialog. Kocak betul cara bicaranya, blak-blakan tanpa basa-basi. Karena sering terburu-buru dalam bicara (mungkin karena terlalu bersemangat), ia beberapa kali salah menyebut, misalnya, "Hari Anti Korupsi Internasional" disebut "Hari Korupsi Internasional", atau Pak Busyro Muqoddas yang menjadi salah satu pembicara saat itu, dipanggil "Pak BUSIRO..". Haha..

Betapa pun kocak dalam mengemukakan, banyak point yang menurut saya penting disimak dari pembicaraan Bu Susi. Ia secara terbuka mengatakan betapa sulitnya mengubah pola kerja di kementriannya karena begitu banyak aturan yang menurutnya tak masuk akal. Ia tak ragu mengutarakan keheranannya mengapa ia tak digubris Menteri Keuangan Sri Mulyani saat mengupayakan insentif kenaikan gaji pegawainya, padahal ia telah berhasil melakukan efisiansi anggaran hingga Rp. 8 Triliun.

Bu Susi percaya bahwa dengan memberi gaji lebih baik, praktik "corruption by need" dapat dikurangi. Lagi pula, bila pegawai dapat gaji memadai, mereka akan bekerja lebih efisien dan tak akan akal-akalan cari celah menambah penghasilan dengan cara tak wajar, misalnya cari tambahan uang dengan membuat rapat di luar kota. "Ini kan merepotkan," kata Bu Susi.

Dengan gaya kocak, dia proaktif menyela dari floor menanggapi seluruh obrolan dalam peringatan Hari Anti Korupsi Internasional pada 7 Desember 2017 lalu. Para stafnya juga ikut komentar dan tanpa ragu mengeluarkan unek-uneknya. Mereka sudah lama ingin agar ada perbaikan sistem penggajian yang selama ini dirasakan tak adil.

Ada kementrian yang gaji pegawainya jauh lebih besar dibanding kementrian lain. Ketimpangan semakin terlihat bila dibandingkan dengan gaji para pimpinan dan pegawai BUMN, walaupun perusahaan itu selalu merugi. Memang kacau negeri ini. Membangun "single salary system" agaknya harus segera direalisasikan.

Kesimpulan singkat dalam diskusi ini adalah, di sebuah negeri abnormal memerlukan langkah penyelesaian abnormal pula. Hanya saja, berapa banyak aturan yang harus ditabrak agar cara kerja lebih efektif, efisien, dan bebas dari korupsi sistemik dapat dilakukan segera?

[irp posts="3334" name="Sambal Mantaraman Pak Dwikoen dan Menteri Susi Pudjiastuti"]

Tapi...Bu Susi, birokrasi memang sering menjadi penghambat. Hanya saja, tetap perlu hati-hati karena para auditor dan penganut mazhab "patuh aturan" di Republik ini agaknya masih sangat dominan. Pekerjaan baik dengan hasil baik sekalipun, kalau melanggar aturan tetap akan disalahkan.

Ibarat permainan sepakbola, kiper di Indonesia harus taat pada "tugas pokok dan fungsi" (Tupoksi).

Hingga pertandingan berakhir, penjaga gawang tetap harus tak jauh dari kotak pinalti. Jangan coba-coba berani ikut menyerang ke depan sebagaimana sering dilakukan para keeper kesebelasan luar negeri di saat kritis menjelang akhir pertandingan. Penyerang sayap kanan, jangan coba-coba pindah tempat untuk menyerang dari sebelah kiri lapangan. Semua sudah ada aturan yang ditetapkan. Patuh aturan lebih penting daripada memasukkan goal, memenangkan pertandingan.

***