Mengapresiasi Oposisi Pop ala Duo Pimpinan DPR RI Fahri-Fadli

Selasa, 8 November 2016 | 05:38 WIB
0
368

Sejak Koalisi Merah Putih (KPM) sering kesepian akibat keluarnya beberapa anggota partai koalisi, kondisi itu nyaris membuat KMP kehilangan gigi sebagai oposisi pemerintahan Jokowi-JK. Terlebih komunikasi politik akomodatif ala Jokowi yang mengonsolidasikan kekuatan di parlemen, berhasil mencerai-berai soliditas KMP.

Pasca ditinggal Partai Amanat Nasiona (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Golongan Karya (Golkar), praktis gerbong KMP hanya menyisakan dua sejoli Gerindra dan PKS yang engap-engapan meladeni komposisi kekuatan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) di parlemen.

Hingga memasuki tahun ke tiga yang sebentar lagi, pemerintahan Jokowi-JK nyaris tanpa perlawanan berarti dari pihak oposisi yang dikomandoi Gerindra. Penyebabnya jelas, yakni tidak adanya agenda bersama yang menyatukan platform politik parpol koalisi, kacau-balaunya dinamika internal masing-masing parpol koalisi, dan mantapnya manuver politik Jokowi.

Alhasil, kekuatan koalisi KMP yang  semula diharapkan mampu memainkan peran oposisi demi terwujudnya konsolidasi demokrasi di Indonesia, nampak masih belum bisa memberi perubahan apa-apa. Kehadiran pressure group KMP pun semakin jauh dari harapan, yang dalam pandangan Dahl disebut sebagai juri tentang baik-buruknya suatu pemerintahan.

Apa boleh buat, memang tak ada pertemanan sejati dalam koalisi dan nasi pun sudah menjadi bubur. Kita tak bisa berharap banyak dari kekuatan koalisi KMP yang secuil itu. Apalagi, Prabowo Subianto yang dianggap sebagai simbol perekat pun kerap diam menyoal wacana politik dan cenderung memosisikan dirinya sebagai "politisi bangsawan".

[irp]

Untunglah, seiring pesatnya kemajuan teknologi komunikasi dan munculnya evolusi internet 2.0, gerakan oposisi tak lagi terbatas di ruang-ruang parlemen dengan mekanisme keterwakilan partai politik. Hal ini terbukti dengan geliat manuver politik "dua sejoli" pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) Fahri Hamzah dan Fadli Zon yang kerap kali merepotkan pemerintahan Jokowi, terutama menyoal diskursus politik publik yang dimainkan lewat media mainstream dan social media.

Kita bisa melihat sendiri betapa lakunya tanggapan-tanggapan politik dari kedua pimpinan DPR ini dalam hal yang berseberangan dengan pemerintah. Bahkan hampir semua kebijakan Kabinet Kerja tak luput dari kritik keduanya. Level public trust untuk kedua tokoh ini juga tak bisa diremehkan, terbukti dari massifnya mereka menggerakkan oposisi sosial secara virtual.

Contoh paling sederhana, selain dari komentar keduanya terkait demonstrasi 411 kemarin, Fadli Zon juga menggelar lomba baca puisi "Sajak Tukang Gusur" lewat media sosial youtube dengan hadiah utama senilai 10 juta rupiah. Tentu saja, ini adalah cara Fadli membangun gerakan oposisi dengan memanfaatkan media sosial. Nah, gerakan oposisi semacam ini juga bisa disebut oposisi pop.

Apa itu oposisi pop? Saya sendiri cenderung mendefinisikannya sebagai budaya interaktivitas publik lewat kanal-kanal teknologi komunikasi yang menciptakan mekanisme informal terkait kontrol sosial akan diskursus dan politik kebijakan pemerintah.

Lebih absah lagi, Mayer (2005) berpandangan bahwa oposisi pop merupakan sikap ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi politik formal (parpol, parlemen dll) yang tak mampu menjalankan mandat pengawasan publik, serta adanya gerakan politik nonkelembagaan yang berhasil menggugah nurani kebenaran publik.

Tentu saja definisi oposisi pop di atas sangat dipengaruhi oleh kajian studi budaya yang sering disebut budaya populer (pop culture). Stuart Hall dan Douglas Kellner melihat budaya pop sebagai perhatian komunikasi terhadap realitas simbolik, teks, dan perilaku modern dalam ruang pemaknaan seperti melek media dan teknologi.

Jadi, kita yang sering mengakses jejaring sosial lewat gawai pintar, sejatinya telah menjadi bagian dari budaya populer itu sendiri. Apa pasal? karena kepercayaan kita terhadap lembaga politik formal kian menurun dan merasa penting menyuarakan protes-protes itu lewat media yang bebas dominasi seperti media sosial.

Hanya saja, ada sedikit kelemahan, dimana oposisi pop pun akhirnya kudu menempuh jalur-jalur pelembagaan demi keabsahan konstitusional. Misalnya, gerakan demo 411 yang bermula dari riuhnya protes keadilan lewat jejaring sosial akan dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok, akhirnya harus diserahkan ke meja hukum.

Massa virtual yang tumpah ruah di Jalan Medan Merdeka kemarin, tak bisa berbuat lebih kecuali menanti proses hukum. Nah, di sinilah, oposisi pop membutuhkan Fahri dan Fadli agar menyuarakan keresahan mereka lewat lembaga negara yakni DPR.

Lantas, apakah Fahri-Fadli memainkan perannya dengan baik?

Yes, saya pikir mereka sangat baik memainkan perannya sebagai oposisi yang juga meraih dukungan virtual yang tak sedikit. Sementara politisi lain cenderung diam, duo ujung tombak DPR ini terus berkicau. Tanpa Fahri dan Fadli, gerakan demonstrasi 411 ini akan sepi dari pemberitaan dan berpotensi dicueki pemerintah. Kalau sudah sepi pemberitaan, otomatis demonstrasi 411 akan luput dari perhatian publik.

Hasilnya, DPR membuka ruang bagi ormas-ormas yang mempersoalkan masalah penistaan agama tersebut untuk datang dan berdialog di DPR. Para pimpinan DPR juga menyetujui pengusutan kasus Ahok secara hukum dan mengancam memanggil polri apabila kasus ini lamban ditangani. Bahkan, DPR juga menyurati Presiden Jokowi terkait aksi demo 411 dan meminta presiden mengusut tuntas kasus tersebut tanpa intervensi.

[irp]

Sikap Fahri dan Fadli yang kerap mendapat ruang lewat media mainstrem juga gemar mengampanyekan gagasan-gagasan kontra pemerintah lewat media sosial, telah menjadikan dinamika oposisi di Indonesia nampak tak terbatas lagi pada Gerindra dan PKS yang mandul di parlemen.

Selain itu, gara-gara Fadli Zon, politik kita berubah sedikit feminin dengan pendekatan-pendekatan sastra. Puisi-puisi politik Fadli yang terinspirasi dari riak-riak situasi politik kekinian membuat rileks dan mampu menggeret perhatian publik yang lebih besar.

Dahulu, publik tak terbiasa memandang politik dari sudut sastra. Hanya orang-orang tertentu saja, seperti So Hok Gie, Rendra, dan Wiji Tukul yang rajin memprotes pemerintah lewat puisi-puisi mereka. Tapi lihat sekarang, publik mulai terbiasa menuangkannya dalam sajak-sajak kritis. Termasuk saya, yang juga berhasil menelurkan sebuah puisi politik "Gara-Gara Ahok".

Begitupun Fahri Hamzah, sebagai politisi yang vokal di parlemen, ia kerap membuat PKS kegerahan. Puncaknya, sebab dianggap "nakal", ia pun didepak PKS.

Lalu apakah Fahri kehilangan power? Sabar dulu, buktinya ia masih jadi wakil pimpinan DPR. Soal oposisi pop yang dilakukannya, itu pun cukup ramai. Ia kerap melontarkan hestek-hestek (hashtag) politik yang riuh di linimasa. Salah satu yang akhirnya membuahkan petisi TV khusus umat Islam adalah twit Fahri dengan hestek #kudetaduniamaya.

Sekarang, gara-gara Fahri dan Fadli, pemerintah tidak imun lagi dari kritik meski menguasai koalisi di parlemen. Kritik tetap meluber, kalau tidak di ruang DPR, ya di dunia maya tentunya.

***