Menguping Rembuk Nasional Dua Tahun Pemerintahan Jokowi-JK

Selasa, 25 Oktober 2016 | 14:30 WIB
0
443
Menguping Rembuk Nasional Dua Tahun Pemerintahan Jokowi-JK

Berada di Hotel Grand Sahid Jaya, Selasa 24 Oktober 2016, ada kebanggaan membuncah di dada saya pribadi. Pasalnya di sana berlangsung sebuah acara rembuk bertajuk Rembuk Nasional: Dua Tahun Pemerintahan Jokowi-JK.

"Kamu ingin memilih ruangan mana?" kata teman saya, Erri Subakti, yang menjembatani saya untuk dapat hadir di acara di mana para pemikir negeri ini berkumpul. Walaupun, iya, di sana saya pribadi lebih banyak melamun.

Lha, bagaimana saya tak melamun, di sana bertemu lagi dengan Budiarto Shambazy, sosok yang memang saya kenal sekali lewat tulisan dan beberapa kali berpapasan saat bertandang ke kantor Kompas di Palmerah.

Dia menjadi moderator. Maklum, ruangan yang saya pilih untuk "menguping" di acara ini memang berkaitan dengan Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan.

Tampaknya terpilihnya salah satu dedengkot Kompas itu lantaran dia sendiri sering mencereweti pemerintah dengan gaya --yang entah dia belajar dari mana-- sangat mencubit, namun belum pernah saya dengar dia didamprat pemerintah. Jika, katakanlah di belakang layar, dia pernah mengalami itu, alhamdulillah, bukan saya yang mengalaminya (sori, Mas Baz).

Ya, sesuai judul rembuk di ruangan di mana saya berada, memang judul yang berat. Mencoba saya ukur-ukur, jauh lebih berat dari badan saya sendiri yang masih dalam takaran 60-an kilogram. Tapi justru di sini yang menarik, lantaran terasa sekali ada wakil-wakil dari Aceh hingga Papua di sana.

[irp]

Shambazy yang saya sebut sering "cerewet" pada pemerintah tadi, mampu mengatur jalannya diskusi itu dengan ringan. Dia membagi kue-kue kesempatan sharing pada para panelis yang ada di sana. Tapi jujur saja, tak tertarik buat saya menulis nama mereka, cuma gara-gara nama-nama itu justru lebih dulu dihafal kolumnis politik Kompas tersebut (maaf, sedikit ngelantur alasan saya).

Yang paling saya hafal dan paling akrab dengan saya di antara nama-nama di sana, selain Mas Baz yang saya kenal tapi tak mengenal saya, juga ada Saifuddin Bantasyam.

Kenapa Saifuddin? Eh, dia Aceh, sama seperti saya. Lalu apa urusannya dengan Aceh?

Jangan lupa, Aceh itu pernah jadi "laboratorium perang". Di sana pernah terjadi berbagai "uji coba" yang membuat kening pemerintah mengerut (perhatian garis kening Pak Harto sampai ke Pak Esbeye).

Ya, ada masalah keamanan yang membuat pemerintah tak leluasa tidur malam --dan tentu saja tak leluasa untuk dekat dengan istri sendiri. Ada riwayat pemberontakan di sana, memakan korban jiwa yang konon mencapai ribuan, yang menjadi tragedi yang terkadang direkam hanya lewat memori dalam kepala.

Tak ada yang merekam tragedi itu secara detail, kecuali apa yang dapat direkam oleh kepala setelah berjuta mata rakyat di sana melihat berbagai realita. Kalaupun ada yang lebih utuh secara nekat merekam tragedi itu dan betul-betul mem-film-kannya, saya kira hanyalah William Nessen.

Nessen memang tipe jurnalis lepas yang memiliki jiwa merdeka yang betul-betul lepas. Maka itu dia dapat membuat satu film bertitel The Black Road, berisikan pengamatannya atas kondisi di Aceh, dari bagaimana rakyat meratapi perang, ibu yang menjerit dengan suara menyanyat saat anak yang dilahirkan dengan taruhan nyawa justru lebih dulu kehilangan nyawa.

Ah, Anda cari saja film itu, sebab jika saya bicara terlalu jauh maka jiwa saya sebagai orang Aceh bisa mendadak sakit. Dan, jika saya sakit jiwa, artikel ini takkan bisa saya tuntaskan.

Kembali ke Hotel Sahid.

Ya, di sana mereka beradu pikiran dan argumen. Ada banyak sanjungan yang diberikan kepada Presiden Jokowi atas kinerjanya sepanjang dua tahun ini. Dari bagaimana seorang Jokowi berusaha menjahit tepi-tepi "kain" bernama Nusantara yang terancam koyak agar kembali utuh, hingga ancaman radikalisme beraroma agama.

Tapi sedikit sekali kritikan yang muncul di acara Rembuk Nasional tersebut. Acara itu terasa "terlalu Jokowi", alias ber-atmosfer hanya berasal dari kalangan yang pro ke pemerintah.

[irp]

Ada beberapa yang berusaha memberikan kritikan, dan itu cenderung dari kalangan LSM, dan itu pun adalah hal-hal yang telah sering terpampang di berbagai media massa; persoalan di perbatasan, geopolitik, hingga persoalan yang berhubungan dengan warisan masalah dari orde-orde sebelumnya; Orde Lama ke Orde Baru, hingga ke Orde Paling Baru.

Maklum, yang ada di sana memang kelas-kelas pemikir yang berasal dari lintas profesi. Todung Mulya Lubis, mungkin pantas dikatakan sebagai seorang pemikir seksi di sini. Latar belakangnya sebagai praktisi hukum dan terkenal sangat kental jiwa aktivis, membuatnya mampu bersikap sinis tanpa menghilangkan senyum manis.

Ya, maksud saya, dia memang membeberkan beberapa hal yang menjadi tren sepanjang pemerintahan Jokowi dengan kupasan dan kritikan pedas --mungkin dia memang adik-kakak dengan Mas Baz?-- namun dia terlihat mampu memberikan sudut-sudut pandang jelas, apa yang menjadi masalah dan dari mana harus menyelesaikannya.

Entah karena kedekatannya dengan kalangan aktivis kemanusiaan, tapi persoalan kemanusiaan menjadi satu garis besar yang ditonjolkan olehnya. Tak terkecuali persoalan kematian Munir, pelanggaran HAM di beberapa daerah, hingga adanya aturan-aturan yang menabrak nilai toleransi.

Kerisauan. Ya, Todung di sini memang terlihat risau, dan dia berusaha menyampaikan itu sejernih mungkin. Terutama yang berhubungan dengan masalah keberadaan agama yang  --saya sependapat dengan ini-- yang kerap kali dijadikan bahan yang dibenturkan dengan pemerintah dan dengan masyarakat minoritas.

Bagi saya pribadi, sebagai tukang simak di acara berskala nasional itu, persoalan disebut terakhir itu sejatinya memang membutuhkan penanganan cepat, tegas, dan konkret dari pemerintahan Jokowi.

Selama ini, pemerintahan Jokowi terkesan terlalu lembut dan santun sekalipun kepada kalangan yang secara telanjang berusaha menularkan pikiran-pikiran radikal, intoleran, hingga virus-virus yang menjurus pada perpecahan.

Jokowi terlalu hati-hati. Itu bukan kata Todung Mulya Lubis, tapi kata saya pribadi.

Apalagi, saat para peserta di acara Rembuk Nasional tersebut, diberikan kesempatan oleh Mas Baz untuk berbicara, sebanyak empat dari sepuluh penanggap cenderung menyorot perihal tersebut. Walaupun ada juga yang berbicara lebih melangit, termasuk membahas korelasi pertahanan keamanan dengan urusan satelit --itu di luar jangkauan saya yang hanya sekadar pengguna hape dan internet.

Artinya, perihal isu-isu keamanan memang menjadi isu sangat memikat, dan paling mendapatkan perhatian dari masyarakat. Tapi banyak isu yang kemudian justru menguap begitu saja, yang diibaratkan seperti cerita bersambung, namun belum selesai cerita disajikan justru penulisnya dikabarkan meninggal dunia cuma karena perut kembung. Begitulah kira-kira.

[irp]

Itu juga yang sempat disentil oleh sahabat  saya, Saifuddin Bantasyam, "Terkesan ada berbagai kasus yang sejatinya sangat diperhatikan oleh masyarakat dan mengundang rasa penasaran mereka, tapi terbiarkan mengendap begitu saja dan bahkan hilang."

Itu hanya gambaran kasar dari berbagai catatan yang hanya saya rekam dalam kepala, dengan pita yang terkadang bergulung-gulung saat harus mengerjakan pekerjaan saya sehari-hari dengan "kaset" yang sama. Paling tidak, karena setelah rembuk itu memang ada banyak catatan yang dipastikan sebagai catatan yang menjadi rekomendasi peserta rembuk kepada presiden, mudah-mudahan saja ke depan tak ada lagi cerita misteri.

Cukuplah cerita misteri diwakili oleh Suzanna di masa lalu. Dia sudah tak cantik lagi, dan orangnya pun telah tiada. Jadi, mudah-mudahan kebijakan Jokowi pun kelak tak lagi menjadi misteri meski sepanjang pemerintahannya berjalan dilingkari oleh begitu banyak cerita misteri tadi.

Jika dulu ada sineme "Beranak dalam Kubur", mudah-mudahan tren baik dan membangun di era pemerintahannya dapat "beranak di luar kubur" karena dipastikan lebih lapang, dan tak kesulitan untuk bernapas bagi mereka yang ingin menetaskan "bayi-bayi" kemajuan.

***

[irp]