Mengamati riak dan gejolak media sosial terutama Facebook dan Twitter, belum nampak adanya polarisasi yang mendikotomikan dua kutub yang saling bertentangan dari "jamaah" situs pertemanan itu terkait dukungan terhadap calon gubernur DKI Jakarta. Ini disebabkan masih adanya tiga pasang gubernur, sehingga dukungan menyebar kepada tiga pasang calon gubernur tersebut.
Berbeda jika Pilkada DKI Jakarta 15 Februari 2017 itu berlangsung dua putaran, dipastikan polarisasi dua kutub yang saling berseberangan akan segera terbentuk. Sudah dapat dipastikan pula, media sosial pun akan dijadikan palagan peperangan paling seru dan menakutkan, kadang juga menggelikan, bagi kedua kubu, sebagaimana yang terjadi pada Pilpres 2014 yang hanya ada dua pasang calon presiden beserta wakilnya.
Karena masih terdapat tiga pasang calon gubernur dan wakilnya itulah polarisasi antara dua kutub belum terasa. Perang sesungguhnya di media sosial belum benar-benar berkobar, baru sekadar pemanasan saja.
[caption id="attachment_1023" align="alignleft" width="330"] Ahok, Anies, Agus (Foto: Tribunnews.com)[/caption]
Publik sudah mengetahui, ada tiga pasang gubernur dan wakilnya yang sudah terbentuk, yakni Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan Djarot Saiful Hidayat, Agus Harimurti Yudhoyono dengan Sylviana Murni, dan Anies Baswedan dengan Sandiaga Uno. Masing-masing pasangan dimajukan oleh koalisi sejumlah partai. Ahok-Djarot didukung PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura; Agus-Sylvi didorong PD, PPP, PKB, PAN; dan Anies-Sandiaga dimajukan Gerindra, PKS.
Terlebih lagi bagi kelompok warga yang sering disebut "Ahok Haters" alias pembenci Ahok, mereka masih bingung menentukan sikap atau pilihannya terhadap dua pasang non-Ahok, yakni antara mendukung Agus-Sylvi atau Anies-Sandiaga. Dalam hal menentukan antara dua pilihan yang non-Ahok ini, para "Ahok Haters" benar-benar menderita galau tingkat "dewa".
Hal ini terlihat dari masih dinginnya media sosial Facebook dan Twitter. Belum nampak perang meme yang lucu-lucu dan menggelikan itu. Akan tetapi yang tidak berubah, "Ahok Haters" tetaplah akan membenci Ahok sampai kapanpun. Ini nyata.
Hanya saja, kebencian yang tertumpah masih sedikit tertahan akibat kegalauan mereka menentukan siapa pasangan yang layak untuk melawan Ahok. Berbeda kalau salah satu dari pasangan itu terjungkal di putaran pertama, maka Ahok Haters akan mati-matian mendukung pasangan lawan Ahok tersebut, siapapun dia!
Akibat kegalauan "Ahok Haters" yang belum bisa menentukan lawan tangguh bagi Ahok itulah media sosial tidak seriuh dan seheboh Pilpres 2014 yang langsung dihadapkan pada dua pasang calon presiden. Kebetulan pula, kedua pasang calon tersebut saling bertentangan secara diametral.
Saat Pilpres 2014 misalnya, peta dukungan sangat jelas terlihat; mana yang pro Jokowi, mana yang pro-Prabowo, mana haters Jokowi, mana haters Prabowo. Kata "haters" ini sungguh tidak mengenakan, tetapi realitas sosial dan kenyataan politiknya memang demikian. Kata "haters" sungguh menenggelamkan lawan katanya, "lovers".
Pada posisi bagaimana media sosial akan terus tenang seperti sekarang ini, seperti saat masih terdapat tiga pasang calon gubernur? Jawabannya sederhana; ketika pasangan Ahok-Djarot terlempar pada putaran pertama Pilkada!
Jika kemungkinan ini terjadi, dan segala kemungkinan itu bisa terjadi, niscaya media sosial juga akan tenang seperti ini, bahkan jauh lebih tenang lagi. Sebab, belum ada cerita perang kata-kata antara pendukung Anies-Sandiaga melawan Agus-Sylviana, bukan?
Kemungkinan lainnya jika Ahok-Djarot yang justru menang satu putaran, mengingat segala kemungkinan bisa terjadi, maka keriuhan serta kegaduhan di media sosial pun akan hilang dengan sendirinya.
Believe it or not!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews