Saya dan Bu Mega (4): Merelakan Kursi RI-1 kepada Orang Lain

Senin, 24 September 2018 | 06:57 WIB
0
585
Saya dan Bu Mega (4): Merelakan Kursi RI-1 kepada Orang Lain

Lantas bagaimana aku menautkan ingatan “post festum” Pemilu 1999 dengan gagalnya Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden padahal partainya, PDI Perjuangan, memenangi pesta demokrasi puncak itu?

Sederhana. Adalah sebuah “meme” di media sosial Facebook yang baru kuamati beberapa waktu lalu tatkala tulisan ini kususun. “Meme” bergambar Gus Dur itu kelihatannya main-main, bunyinya kira-kira begini: “Orang-orang berambisi jadi Presiden dengan mengeluarkan biaya bermilyar-milyar rupiah, sedangkan modal saya jadi Presiden cukup modal dengkul, itupun dengkulnya Amien Rais”.

Kalau ingatan kuperpanjang dengan momen kegagalan Megawati merebut “hak”-nya sebagai Presiden RI hasil Pemilu 1999 di mana PDIP keluar sebagai pemenangnya, maka boleh jadi catatan ini akan lebih panjang lagi dan melelahkan untuk dibaca. Tetapi setidak-tidaknya aku mencatat, Megawati meski tidak secara langsung tersebut dalam “meme” jenaka itu, ia adalah “korban” kelicikan kalau tidak mau disebut kebuasan politikus Tanah Air!

Caranya? Dengan memanfaatkan celah konstitusi yang terlalu bolong, yakni tidak “nyambung”-nya antara Pemilu legislatif dengan Presiden/Wapres yang dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat peninggalan rezim lama. Pemenang Pemilu tidak lantas jadi Presiden, itulah bolong yang kumaksud.

Alhasil dengan manuver Amien Rais lewat “Poros Tengah”-nya itu, Megawati yang seharusnya berhak menjadi Presiden, cukup kecewa dengan “hanya” menjadi Wakil Presiden, mendampingi Abdurrahman Wahid yang dengan kendaraan Partai Kebangkitan Bangsa terpilih bersama Poros Tengah-nya menjadi Presiden lewat pemilihan di MPR.

Kelak, Amien Rais yang menjabat Ketua Umum Partai Amanat Nasional itu pulalah yang menggulingkan Gus Dur tahun 2002 untuk menjadikan Megawati sebagai Presiden RI, meski hanya dalam hitungan 2,5 tahun saja.

Manuver Amien ini mengingatkanku pada lirik lagu dangdut “kau yang mulai kau yang mengakhiri”. Wakil Megawati yang terpilih kemudian adalah “Si Peci Miring” alias Hamzah Haz dalam proses pemilihan Wapres di MPR yang juga diikuti Susilo Bambang Yudhoyono, yang kelak menjadi Presiden RI selama dua periode 2004-2009 dan 2009-2014.

Bagaimana perjalanan Megawati selanjutnya?

Tanpa harus googling, peristiwa besar tetaplah menjadi catatan pribadiku sebagaimana aku menulis catatan ini tanpa harus berinternet, cukup mengingat kembali saja. Pada Pilpres langsung pertama yang dilaksanakan tahun 2004, Megawati yang berpasangan dengan Hasyim Muzadi, gagal menjadi Presiden RI.

Pemenangnya adalah Susilo Bambang Yudhoyono yang melaju menggunakan kendaraan partai bentukannya, Partai Demokrat, berpasangan dengan wakil presiden Jusuf Kalla yang ironisnya saat itu tidak didukung Partai Golkar. Partai berlambang beringin rimbun ini mempunyai calonnya sendiri, yakni Wiranto yang lolos dari konvensi.

Pasangan SBY-Kalla adalah “dua menko” di bawah pemerintahan Megawati yang mengundurkan diri dari kabinet. Pun pada Pilpres berikutnya, 2009, Megawati yang berpasangan dengan Prabowo Subianto tidak cukup kuat membendung laju SBY yang ganti pasangan dengan Boediono. Megawati gagal lagi.

Menjadi Presiden RI yang hanya 2,5 tahun menggantikan Gus Dur yang dipaksa lengser dan gagal menjadi Presiden penuh di dua Pilpres dengan rentang waktu 10 tahun, mestinya cukup memurukkan mental Megawati selaku politikus. Kecewa berat, katakanlah demikian. Nyatanya tidak.

Pada Pilpres 2014 lalu di mana PDIP kembali keluar sebagai juaranya, popularitas yang dihasilkan berbagai lembaga sigi menjadi parameter “mematikan” bagi siapapun yang tersisih dari popularitas tersebut, termasuk Mega sendiri. Menurut berbagai lembaga sigi, Megawati tidak cukup populer di mata calon pemilih pada Pilpres 2014, kalah populer dibanding Jokowi yang sedang moncer dan menjadi “media darling”, yang popularitasnya head to head dengan Prabowo Subianto, meski saat itu masih terpaut jauh.

Lewat layar kaca dan media sosial semua orang tahu dan menyaksikan titik air mata Megawati yang jatuh usai Joko Widodo yang diusung PDIP miliknya terpilih sebagai Presiden RI, mengandaskan harapan Prabowo Subianto.

Tetapi jarang orang bertanya, apakah itu titik air mata bahagia atau titik air mata kecewa?

Bahagia karena Joko Widodo yang dibesut PDIP menjadi Presiden RI berikutnya setelah SBY. Atau, kecewa..... lagi-lagi ini harus terjadi lagi, Megawati kembali tidak menjadi Presiden RI lagi.

Berkali-kali partainya menang, berkali-kali pula dia tidak berhasil menjadi Presiden karena berbagai sebab yang sudah kuuraikan sebelumnya.

Bagaimana hubunganku dengan Megawati yang pernah “mendampingi”-nya di sejumlah pengadilan dan kegiatan politiknya?

Hubunganku dengannya praktis terhenti sejak Megawati terpilih sebagai Wakil Presiden mendampingi Gus Dur di tahun 1999. Kalau serdadu tidak pernah merasa “fade away”, aku justru memilih jalan itu.... menjauh dan memudar untuk kemudian menghilang dan tidak terlihat sama sekali olehnya.

Terlampau kecillah untuk menyesaki ruang ingatannya karena aku hanya berupa noktah atau sebuah zarah di pusaran kesibukannya yang luar biasa padat untuk kepentingan bangsa dan negara.

Aku tak mau mengganggunya, terlebih liputan dan tugasku bukan Istana. Aku bukan wartawan Istana, melainkan wartawan yang menggelandang dari satu peristiwa politik ke peristiwa politik lainnya. Biarlah Bu Mega berfokus pada pekerjaannya, pada tugas yang diembannya selaku Wapres saat itu.

Tetapi, ingatan berharga ini akan tetap kukenang dan kupelihara sebagai sebuah lukisan indah kehidupan. Bahwa, pada suatu masa, pada suatu rentang waktu tertentu yang tidak terlalu panjang, aku pernah mengenal dekat sosok perempuan politisi pemberani yang merelakan dirinya menjadi api pemantik runtuhnya sebuah rezim otoriter.

Dialah politikus perempuan pemberani yang kurang cukup beruntung mengambil posisi sebagai orang nomor satu negeri ini, sebab untuk kesekian kalinya harus “merelakan” kursi Presiden yang seharusnya menjadi “hak”-nya kepada orang lain.

Dialah Megawati Soekarnoputri.

EPILOG

Tiba-tiba tepukan keras membuyarkan ingatanku. Seorang perempuan belia dengan tubuh tipis, mata berbinar dan senyum menawan berlenggak-lenggok di depan Megawati. Bukan tidak sopan, tetapi demikianlah tugas si perempuan bernama Angel Karamoy itu. Sebuah ikon di belantara mode dan dunia keartisan. Ia mengenakan busana serba merah berlambang kepala banteng, lambang PDIP.

Hadirnya Angel yang rupawan ibarat "bidadari" turun dari langit itu, juga hadirnya Krisdayanti, dan sejumlah artis yang tidak perlu disebutkan di sini, menandai acara yang dibesut Sekjen Hasto Kristiyanto, yang hendak melekatkan PDIP dengan kaum milenial, generasi potensial pemilik suara baru.

Gedung berlantai lima bercat putih itu masih menjulang saat mobil yang kukendarai perlahan menjauh. Di gedung itu, darah dan air mata pernah tertumpah, darah anak-anak ideologis PDIP.

(Tamat)

Tulisan sebelumnya:

http://pepnews.com/2018/09/23/saya-dan-bu-mega-3-perempuan-pemberani-yang-harus-dihabisi/